Sejak awal kusadari bahwa hidup adalah perjuangan, memecahkan teka-teki hingga ajal akhirnya menjemput. Seperti halnya yang menimpa diriku saat ini. Namaku Lena (bukan nama sebenarnya), ibu dari empat orang anak yang saat ini berdomisili di kota X. Seharusnya menginjak usia setengah abad ini aku tinggal memetik buah dari perkawinana kami. Namun kenyataanya takdir menentukan lain. Aku dan keempat anakku harus menderita karena ditinggal suami yang kini pergi bersama wanita lain.
Sejak awal pernikahanku dengan suamiku, sebut saja namaya M, memang telah menghadapi sandungan yang cukup berat. Hubungan kasih kami mendapat tantangan dari keluarganya. Mereka tidak bisa menerima aku sebagai menantu karena latar belakang keluargaku yang miskin. Karenanya aku sangat sadar bila mereka berusaha manjauhkan aku dari M.
Namun aku dan M saat itu merasa sangat yakin kalau cinta kami tak dapat dipisahkan oleh siapapun juga. Akhirnya kami nekat menikah di rumah keluargaku, meski pada akad nikah itu kelurga M tidak ada yang hadir. Tapi aku tetap bersyukur semuanya berjalan tanpa ada hambatan yang berarti.
Bagaimanapun sikap keluarga M, tak mengubah sikap suamiku. Dan aku beruntung mendapatkan suami yang baik dan penuh perhatian. Meski kami harus merangkak hidup dari nol, aku tetap menjalaninya dengan penuh kebanggaan. Maklumlah sebagai pegawai negeri golongan bawah, penghasilan suamiku hanya cukup untuk makan. Hingga akhirnya kami dikaruniai empat orang anak.
Ternyata kebahagiaan itu tak bertahan lama. Aku dan anak-anak terpaksa harus berpisah dari suami demi mengejar kehidupan yang lebih baik. Suamiku mendapat kesempatan dari kantor untuk menyelesaikan pendidikan D3-nya di kota K yang nota bene adalah tempat orang tuaku dan keluarga M tinggal. Sebagai pendamping hidupnya, meski berat aku harus merelakan kepergiannya untuk tinggal di tempat kakaknya yang dulu sangat menentang pernikahan kami
Hingga tak terasa perpisahan kami telah menginjak usia setahun. Anehnya anak-anak sama sekali tak merindukan sosok sang ayah. Aku sendiri sedikit bingung dengan sikap mereka, tapi kemudian kupikir bahwa hal itu mungkin wajar karena selama kepergiannya, anak-anakku jarang sekali bertemu ayahnya.
Entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba saja M memintaku dan anak-anak untuk tinggal di kota K, tentu saja aku menerima ajakannya dengan suka hati. Sebagai istri aku ingin menjaga keutuhan keluarga ini, walau dengan itu aku harus tinggal bersama kedua orang tuaku. Karena aku tak mungkin tinggal bersama keluarga kakaknya. Namun di sinilah aku menemukan kemandirianku, karena aku bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan hingga dapat membantu ekonomi keluarga.
Celakanya kemandirianku disalahartikan oleh M, semakin lama ia makin melupakan kewajibanya sebagai seorang suami, bahkan ia cenderung lebih memanfaatkan aku sebagai penopang hidupnya. Memang sikap suamiku berubah sejak studinya itu. Sepertinya ia menganggap dirinya masih perjaka dan dengan alasan macam-macam ia menghindari kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah dari anak-anaknya.
Mungkin Tuhan sayang padaku dan anak-anak. Dia membuka mataku bahwa pengorbanan kami selama ini dibalas dengan tuba oleh suamiku. Pada suatu hari aku seperti dituntun oleh malaikat utnuk melihat perbuatan tak bertanggung jawab suamiku. Di suatu toko aku memergokinya saat ia sedang berduaan dengan seorang perempuan belia.
Aku pulang ke rumah dengan hati yang hancur. Aku hanya bisa menangis, sementara anak-anak tampak bingung melihatku. Kini baru kutahu kelakuan suamiku yang sebenarnya. Mati-matian aku bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dia malah berkhianat dengan menjalin cinta dengan perempuan lain.
Sejak saat itu aku sudah teramat yakin kalau ia bukanlah figure suami yang kuidamkan dulu. Dan untunglah aku dulu memiliki tekad bulat untuk meninggalkannya, padahal saat itu ia sempat memintaku kembali dan berjanji tidak melanjutkan hubungan itu. Untunglah saat itu aku tidak mengindahkan ucapannya, karena terbukti setelah hampir setahun sejak kupergoki, ia lagi-lagi menjalin hubungan dengan perempuan belia lainnya.
Kini aku hanya bisa merenungi derita hidupku. Aku hanya memohon kepada Tuhan agar mau mengampuni dosanya dan dosaku. Dalam doa tak henti-hentinya aku meminta agar melepaskan belenggu yang menyiksa batinku selama ini. Tuhan izinkanlah disisa umurku ini aku bisa tersenyum sebentar saja bersama buah hatiku. Semoga aku dapat menjadi lentera bagi hidup mereka, meski tanpa nahkoda kapal lagi. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: My-story
Sejak awal pernikahanku dengan suamiku, sebut saja namaya M, memang telah menghadapi sandungan yang cukup berat. Hubungan kasih kami mendapat tantangan dari keluarganya. Mereka tidak bisa menerima aku sebagai menantu karena latar belakang keluargaku yang miskin. Karenanya aku sangat sadar bila mereka berusaha manjauhkan aku dari M.
Namun aku dan M saat itu merasa sangat yakin kalau cinta kami tak dapat dipisahkan oleh siapapun juga. Akhirnya kami nekat menikah di rumah keluargaku, meski pada akad nikah itu kelurga M tidak ada yang hadir. Tapi aku tetap bersyukur semuanya berjalan tanpa ada hambatan yang berarti.
Bagaimanapun sikap keluarga M, tak mengubah sikap suamiku. Dan aku beruntung mendapatkan suami yang baik dan penuh perhatian. Meski kami harus merangkak hidup dari nol, aku tetap menjalaninya dengan penuh kebanggaan. Maklumlah sebagai pegawai negeri golongan bawah, penghasilan suamiku hanya cukup untuk makan. Hingga akhirnya kami dikaruniai empat orang anak.
Ternyata kebahagiaan itu tak bertahan lama. Aku dan anak-anak terpaksa harus berpisah dari suami demi mengejar kehidupan yang lebih baik. Suamiku mendapat kesempatan dari kantor untuk menyelesaikan pendidikan D3-nya di kota K yang nota bene adalah tempat orang tuaku dan keluarga M tinggal. Sebagai pendamping hidupnya, meski berat aku harus merelakan kepergiannya untuk tinggal di tempat kakaknya yang dulu sangat menentang pernikahan kami
Hingga tak terasa perpisahan kami telah menginjak usia setahun. Anehnya anak-anak sama sekali tak merindukan sosok sang ayah. Aku sendiri sedikit bingung dengan sikap mereka, tapi kemudian kupikir bahwa hal itu mungkin wajar karena selama kepergiannya, anak-anakku jarang sekali bertemu ayahnya.
Entah mendapat ide dari mana, tiba-tiba saja M memintaku dan anak-anak untuk tinggal di kota K, tentu saja aku menerima ajakannya dengan suka hati. Sebagai istri aku ingin menjaga keutuhan keluarga ini, walau dengan itu aku harus tinggal bersama kedua orang tuaku. Karena aku tak mungkin tinggal bersama keluarga kakaknya. Namun di sinilah aku menemukan kemandirianku, karena aku bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan hingga dapat membantu ekonomi keluarga.
Celakanya kemandirianku disalahartikan oleh M, semakin lama ia makin melupakan kewajibanya sebagai seorang suami, bahkan ia cenderung lebih memanfaatkan aku sebagai penopang hidupnya. Memang sikap suamiku berubah sejak studinya itu. Sepertinya ia menganggap dirinya masih perjaka dan dengan alasan macam-macam ia menghindari kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah dari anak-anaknya.
Mungkin Tuhan sayang padaku dan anak-anak. Dia membuka mataku bahwa pengorbanan kami selama ini dibalas dengan tuba oleh suamiku. Pada suatu hari aku seperti dituntun oleh malaikat utnuk melihat perbuatan tak bertanggung jawab suamiku. Di suatu toko aku memergokinya saat ia sedang berduaan dengan seorang perempuan belia.
Aku pulang ke rumah dengan hati yang hancur. Aku hanya bisa menangis, sementara anak-anak tampak bingung melihatku. Kini baru kutahu kelakuan suamiku yang sebenarnya. Mati-matian aku bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dia malah berkhianat dengan menjalin cinta dengan perempuan lain.
Sejak saat itu aku sudah teramat yakin kalau ia bukanlah figure suami yang kuidamkan dulu. Dan untunglah aku dulu memiliki tekad bulat untuk meninggalkannya, padahal saat itu ia sempat memintaku kembali dan berjanji tidak melanjutkan hubungan itu. Untunglah saat itu aku tidak mengindahkan ucapannya, karena terbukti setelah hampir setahun sejak kupergoki, ia lagi-lagi menjalin hubungan dengan perempuan belia lainnya.
Kini aku hanya bisa merenungi derita hidupku. Aku hanya memohon kepada Tuhan agar mau mengampuni dosanya dan dosaku. Dalam doa tak henti-hentinya aku meminta agar melepaskan belenggu yang menyiksa batinku selama ini. Tuhan izinkanlah disisa umurku ini aku bisa tersenyum sebentar saja bersama buah hatiku. Semoga aku dapat menjadi lentera bagi hidup mereka, meski tanpa nahkoda kapal lagi. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: My-story
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id