"Datanglah di tempat anu pada jam anu," katanya.
Pada waktu dan di tempat anu tersebut, akhirnya si pemuda sungguh jadi duduk bersanding dengan jantung hatinya. Lalu, ia merogoh saku dan mengeluarkan seberkas surat-surat cinta, yang telah ia tulis selama berbulan-bulan, sejak ia mengenal si jantung hati. Surat-surat itu penuh kata-kata asmara, mengungkapkan kerinduan hatinya dan hasratnya yang membara untuk mengalami kebahagiaan karena dipersatukan dalam cinta. Ia mulai membacakan semua suratnya itu untuk jantung hatinya. Berjam-jam telah lewat, namun ia masih juga terus membaca.
Akhirnya si jantung hati berkata:
"Betapa bodohnya kau! Semua suratmu hanya tentang aku dan rindumu padaku. Sekarang aku di sini, bahkan duduk di sampingmu. Dan kamu masih juga membacakan surat-suratmu yang membosankan itu!"
"Inilah Aku, duduk di sampingmu," sabda Tuhan kepada penyembahnya, "Dan engkau masih juga berpikir-pikir tentang Aku di dalam benakmu, berbicara tentang Aku dengan mulutmu, dan membaca tentang Aku dalam buku-bukumu. Kapankah engkau akan diam dan mulai menghayati kehadiranku?" [Elisabeth Wang / Banda Aceh]