***
"Baby. Dah siap?" tanya Iqmal Zyad sambil memandang file yang berlambak di depan matanya. Sebelah tangannya sibuk memutar ligat pen yang dipegangnya tanda dia berpikir. Sesekali kening yang tebal hampir saja bergabung.
"Not yet bie. Colud you please come here and wait for me?" tanya Syaeqa umaira manja saja bunyinya disana.
"I can't baby. Baby siap dulu, dah siap nanti, give me a call. Ok sayang? Bie banyak kerja sangat ni." Beberapa ayat diturunkan di atas kertas yang menjadi perhatian matanya kala itu. Pen berdakwat basah itu mulai menjalankan kerjanya.
"Fine. Setengah jam lagi baby call. Bye bie. halooo....." Masih lagi manja dan lembut suara suaranya.
"Aloha....." Telepon seluler lipatnya sekadar ditempatkan tepi. Lembar di depan mata diselak lagi mencari apa yang dimahukan.
Dalam asyik dia mentelaah kertas kerjanya, pintu kamar kantornya diketuk.
"Come in."
"Bapak Iqmal Zyad. Tak nak balik lagi?"
"Oh Lisa. Tak. Saya banyak kerja lagi ni. Kalau kamu nak balik, baliklah dulu." Wajah tidak diangkatnya lansung.
"Bapak Iqmal Zyad."
"Nak apa Lisa?"
"Hai. Sibuk sangat sampai suara akak dengan secretary Zyad pun, Zyad tak dapat nak beda ke?"
Iqmal Zyad mengangkat wajahnya. Terpampang wajah berkerut kakaknya di depan meja.
"Akak. Bila waktu sampai?" tanya Zyad kembali sambil mengulurkan salamnya setelah pen diletakkan.
"Bagaimana umaira nanti bila kamu sudah menikah dengan dia. Tak ada waktu lansung. Jangan sampai suara istri dengan suara orang gaji, kamu tak dapat bedakan. Sudah. Akak tak jamin." Sekedar berseloroh dia duduk mengambil tempat di kursi depan meja besar yang bertanda 'Iqmal Zyad bin Dato' Ghanni - Direktur Lembayung Corp. ' itu.
"Ke situ pula akak ni. Bila balik? Proyek dekat Ipoh dah ok ke?" Wajah Khaisara Mayisya yang terlihat tenang itu Ditatapnya.
"Lihat tu. Akak datang sini je, tak ada benda lain yang dibilangnya. Proyek, meeting, client. Tak bisa ke akak nak kunjungi adik akak sesekali dekat kantor ni? As your sister. Not as your bussines partner." Sesekali mata di balik kaca mata berbingkai penuh itu dibulat-bulatkan.
Senyuman lebar dipamerkan di bibir nipisnya.
"Hari ni pergi toko pengantin untuk comfirmkan pasal baju yang dipesan tu. Mama dah bilang belum?"
Iqmal Zyad mengangguk. Pandangannya ditujukan pada bingkai kaca berbentuk hati di tepi mejanya. 'My sweet baby - Syaeqa umaira'. Cantik gadis berwajah bujur sirih dan bertudung litup itu dengan senyuman menguntum ceria di bibir munggilnya. Sering kali wajah di dalam bingkai itu Ditatapnya jika ada kelapangan dan memerlukan ketenangan seketika.
"Umaira tak bilang apa ke?"
"Bicara?"
"Yah. Lagi 5 hari nak kahwin, kamu tu dapat duduk melekat lagi dengan document and your proposal tu. Tak pergi teman dia shopping or pergi spa or something?"
"Dia bisa pergi dengan ibu dia kak. Mama pun selalu temankan dia. Tu adik dia dua orang tu. Sibuk juga nak cantik-cantik. And also, tak nak kalah adik akak yang dua orang dekat rumah tu."
"Yah. Ada je jawabnya direktur besar ni. Tak kesian lansung ke dengan buah hati kamu tu? Sabar memanjang. Kalau akak, mau kena abang Taufiz tu akak kerjakan." Ujung tutupnya diperbaiki posisinya.
"Kasian. But, mama pesan, tak elok jumpa selalu kalau dah nak kahwin ni. Better Zyad buat kerja. Kan? Bukan Zyad tak nak kak. Zyad tahu umaira tu tahu nak sabar dengan Zyad ni, that's why I choose her to be my wife. Not perempuan perangai macam akak. Tak sabar. "
"Menjawab lagi dia. Zyad. Kutuk akak pula. Ni. Pukul berapa nak pergi toko pegantin tu? Mama kata dia tunggu Zyad dengan umaira dekat sana. Tahu kan?"
"Akak dah beritahu dua kali masuk ni. Zyad tahu."
"Malas akak nak layan kamu. Akak pun nak gerak ni. Jumpa dekat sanalah."
Iqmal Zyad mengangguk sambil punggungnya diangkat.
Khaisara Mayisya menggeleng dengan senyuman sebelum berlalu meninggalkan Zyad yang mengambil langkah ke kamar mandi di bagian ujung kamarnya itu untuk mengerjakan shalat Ashar sebelum melakukan hal lain.
Selesai shalat, Telepon seluler di atas mejanya menjerit pinta diangkat.
"Hallo...."
"Aloha... bie. Ayah suruh baby ikut dia. So, kita jumpa dekat toko tu jelah. Baby dah nak berpergi ni. Bie pun bisa keluar juga."
"Ayah dah balik outstation?"
"Bie ni. Kemarin lagi baby dah beritahu, ayah dari hari Kamis dah balik. Lupa ke?" Ketawa kecil Syaeqa umaira yang memang mampu menambat hati lelakinya itu sejak pertama kali mendengarnya, mengusik gegandang telinganya.
"Sorry lupa. Oklah bie gerak ni. See you there. Hallo."
Salamnya bersahut sebelum online dinonaktifkan. Telepon seluler ditempatkan dalam kantong celananya sebelum berkemas.
Kot coklat kehitaman yang dikenakan dengan kemejanya digapainya. Sekedar disangkutkan ditangan, dia berlalu meninggalkan ruangan kantornya.
***
'Mana satu nak pilih ni? Kak Mayi ni memang tak mengerti dengan aku yang tak pandai nak pilih barang perempuan ni, 'getus hati Iqmal Zyad sambil membelek beberapa tudung yang bergantungan dengan corak yang bermacam warna.
Dia mengeluh kecil. Sesekali tangannya bermain di lembar itu. Memilih kalau-kalau ada yang berkenan di matanya.
Masih buntu. Tidak ada sehelai pun yang menarik perhatiannya. Dia berpaling pada gantungan yang lain.
'Warna tu sesuai ke dengan mama?' getus hatinya dengan senyuman di bibir melihat tudung yang cantik warnanya tergantung tidak jauh dari tempat dia berdiri.
Kakinya menapak. Matanya terus-terus melekat pada lembar tudung berwarna kuning cair dan dihiasi batu-batuan di tepi-tepinya.
Mendarat saja tangan kasarnya di tudung itu, satu tangan kecil terlebih dahulu menyentuhnya membuat tangannya berada di atas tangan itu.
Zyad menoleh. Terpaku seketika anak matanya pada wajah mulus yang berada di sisinya itu. Tinggi sekedar sebatas bahunya saja.
"Bapak. Tangan saya," getus gadis itu dengan muka yang kian merah. Bibirnya yang munggil berkilat itu diketap seakan menahan kesakitan.
"Sorry. I don't mean it." Tangan ditarik dan terus dimasukkan ke dalam kantung celananya. Jantungnya berdegup cepat memalu perasaan.
Gadis itu tersenyum tipis sambil memijit tangannya. Sakit barang kali karena genggaman tangan besar Zyad.
"Sakitkah?"
"sedikit."
'Merah. Kuat sangat ke aku pegang? Tak pasal-pasal tangan anak dara orang aku pegang. ' Hatinya diasak rasa bersalah melihat tangan berjari runcing itu.
"Cik nak tudung ni ke?"
Gadis itu mengangguk kecil.
"But, kalau Bapak nak, ambillah. Saya bisa cari yang lain." Dia menundukkan sedikit wajahnya dan mulai ingin berlalu. Lemah-lembut tutur gadis berkerudung merah jambu itu membawa lari hatinya yang tidak pernah terbuka lagi untuk mengenali apa itu cinta.
"Nona."
Gadis itu berhenti dan berpaling seakan tahu dirinya yang disebut.
"Tudung ni."
"It's ok. I can buy it next time." Tuturnya lembut, selembut wajah bujur sirih yang kemerah-merahan itu.
Zyad mengganguk.
"Bapak. Nak beli ke?" tanya juru jual yang baru menghampirinya secara lansung menarik perhatiannya dari terus-terus memperhatikan gadis kecil cantik berbaju kurung dan bertudung itu.
Zyad mengangguk lagi. Sekilas matanya terpandang tas berwarna merah jambu di atas timbunan kerudung yang berada tepat di bawah gantungan tudung yang dipilih Zyad tadi.
'Miss tudung pink tu ... Dia teringgal handbag ke? ' Teringat dia pada kakaknya yang suka mengenakan tas dengan baju yang dipakainya.
"Bapak. Ada lagi ke yang Bapak nak?"
Zyad menggeleng.
"Bayar dekat sana ye." Kaunter ditunjuk.
Tangannya menggapai tas itu karena dilihatnya tidak pelanggan lain lagi di situ. Sepanjang di counter, juru uang asyik memerhatikannya yang membawa tas itu. Mungkin terlihat aneh tambahan lagi kena pula dengan baju kemeja yang dipakainya waktu itu.
Berputar-putar dia di dalam pusat perbelanjaan itu mencari kelibat gadis tadi. Dari satu toko ke satu toko. Dari toko baju, ke toko sepatu. Login pula ke toko pakaian wanita. Namun kosong. Tidak pernah hatinya keluh kesah seperti waktu itu.
Jam tangan dipandang sekilas. Waktu mulai menginjak jam 10 malam. Sejam lebih dihabiskan hanya untuk mencari gadis itu. Benak hatinya dipenuhi tanda tanya. Bagaimana gadis itu pulang? Bagaimana gadis itu dengan ketiadaan Telepon bimbitnya? Bagaimana dan bagaimana.
Kepenatan mencari membawa dia terus ke tempat parkir bawah tanah. Dari jauh. Dilihatnya ada sekelompok orang berbaju serba hitam berdiri di sisi mobilnya.
Semakin dekat dia melangkah, baru dia perasan ada satu mobil Myvi putih di sebelah mobil mewahnya itu. Di balik beberapa pria yang berdiri itu, terlihat seorang gadis berkerudung merah jambu yang mukanya merah dan pipi dibasahi tetesan jernih.
"Oi!" jerkah Zyad sekadar menarik perhatian 5 pria itu.
Seperti apa yang difikirannya, lima pria itu berpaling. Masing-masing mengangkat kening dan gadis itu terkebil-kebil.
"Korang buat apa dengan dia?" tanya Zyad kasar sambil mendekati grup itu.
"Nak ..." Belum sempat pria berbaju tanpa lengan itu menjawab, penumbuk besar Zyad mendarat di tulang pipi pria itu.
"Bro. Wait. Sabar," getus seorang temannya dan memabantu rekannya yang sudah terjelepuk karena penumbuk Zyad itu.
"Apa sabar? Korang kalau nak buat kerja tak senonoh, bukan pada dia. Kau tahu tak dia istri aku?" Selamba dia berkata dengan muka yang sudah merah karena marahnya. Sekedar membuat alasan untuk menakutkan dan membela gadis yang mulai hinggap dan bergayut di tangkai hatinya itu.
"Bro. Kitorang tak buat apa dengan istri lu ni. Dia hilang handbag. So, all the stuff are in her handbag. Termasuk kunci mobil dia ni. So ..."
"Diorang nak tolong saya," sambung gadis itu dengan wajah kasihannya. Air mata yang menapak di wajah mulusnya dikeringkan.
Zyad mengangkat keningnya. Silap tindakan.
"Dekat tangan kamu tu ..."
"Oh. Ni. Beg kamu, sayang. Kamu tinggal dekat toko tutup tadi," lakon Zyad menutup malunya yang mulai menyerbu mukanya.
"Lah. Handbag kamu dekat suami kamu tu ke?"
"Tak pasal-pasal makan penumbuk suami orang."
"Kau tinggalkan istri kau yang cantik ni sorang-sorang dekat underground parking ni kenapa bro? Masalah lah lu ni."
Satu-satu ayat keluar dari mulut mereka yang bertahap meninggalkan tempat itu.
Zyad menyentuh belakang lehernya. Malu semakin membahang. Tidak pernah dia bertindak sebegitu rupa. Entah kenapa air mata di wajah putih gebu itu menyentap rasa dalam jiwa lelakinya.
"Thanks." Lunaknya suara gadis itu mengetuk gegendangnya.
Zyad mengangguk dengan senyuman tipis yang terpaksa dia ukir untuk menutup malunya.
"Bisa saya nak kantong saya? Dah malam sangat ni. Nanti ayah dengan ibu saya kuatir."
"Oh. Ni. Lain kali jangan tinggal merata-rata ok." Sempat dia berpesan.
"Thanks." Kantong dibuka dan kunci mobil dikeluarkan.
"Nona." Tangan gadis itu terhenti dari membuka pintu mobil.
"Can I know your name and your phone number?"
Gadis itu terdiam. Mata bundar berbulu mata lentiknya terkebil-kebil memandang wajah bersih Zyad.
"Or maybe kita bisa jumpa lagi?"
Gadis itu mengetap bibirnya seakan berpikir ayat yang terbaik untuk diberikan pada Zyad.
"Saya milik ayah dan ibu saya. I think, better Tuan minta pada diorang dari minta dari saya. Saya dah lambat ni. Saya balik dulu. Thanks and Hallo."
***
Ketukkan di pintu mobil mengejutkan Zyad dari lamuannya tentang pertama kali dia bertemu gadis bernama Syaeqa umaira, tiga bulan lalu. Seorang guru tadika yang lemah-lembut kelakuannya.
Tingkat tingkapnya diturunkan karena seorang gadis berbaju kurung sutera sedang berdiri di luar seakan menantinya. Menjongol wajah bujur sirih kemerahan umaira dengan senyuman mekarnya.
"Mama tanya. Bie tak nak keluar ke?"
"Hmm."
"Dije tanya. Nak try baju pengantin dan ambil gambar tak? What you think?" bicara umaira sementara mereka menapak ke toko pengantin yang bertentangan dengan tempat dia letakkan mobil itu.
"Tak perlu. Sebab lagi 5 hari je lagi bie dapat lihat baby pakai baju pengantin kan?"
"But, I want to. Yelah. Manalah tahu, baby tak sempat nak pakai baju pengantin yang kita tempah tu." Perlahan dia berkata seakan berbisik tapi mampu lagi telinga Zyad menangkapnya.
"Why are you talking like that? Tak baik tau." Seakan lain macam saja suara suara itu.
Syaeqa umaira berpaling dan secalit senyuman diberikan pada tunangnya itu.
"Fine. Kita try and take some picture untuk kenangan beli baju pengantin. Ok?" Seperti apa yang dikata Kak Mayinya. Sesekali, apa salahnya dia ikutkan saja permintaan umaira karena selalu saja gadis itu bersabar dengan dirinya itu.
Itulah sifat umaira. Dia akan meminta sekali saja. Jika tidak diberi, dia tak akan meminta lagi. Sabarnya sifat umaira memang dia kagumi. Sekali pun tidak terbakar marahnya jika Zyad lupa janjinya. Cuma sifat manjanya itu kadang-kadang terlahir walaupun dia anak pertama dalam keluarga. Sifat yang baru ditonjolkan pada Zyad sejak hari bahagia mereka hampir.
Melebar senyumannya dan mengangguk.
"Ibu, mama. Bagaimana?" tanya umaira sambil tersenyum.
Zyad yang asyik membelek gaun pengantin juga berpaling memberi perhatian pada suara itu. Terkesima sebentar dia melihat wajah itu yang sudah cantik dirias dengan pakaian pegantin bertudung yang berwarna krim keemasan. Naik imbang wajahnya ketika itu.
"Bie?" Panggilan itu menarik Zyad kembali ke alam nyata. Umaira yang berdiri di hadapannya Ditatapnya terus. Senyuman manis di bibir munggil itu tidak pernah lekang.
"Bagaimana?"
"Hmm?"
"How do I look?"
"Cantik."
"Sementara je tau cantik ni."
"Saya tahu." Suka benar diri itu mengingatkannya. Kata umaira, 'Kalau cantik umaira yang Zyad sayang? Zyad kena ingat. Cantik ni hanya sementara je. '
Memang kecantikan wajah itu menarik perasannya. Tapi hati bersih milik gadis itulah yang membuat dia mampu nafikan yang kecantikan itu adalah yang kedua setelah hatinya.
"Macam ni bisa ke?" tanya umaira seronok ingin mengambil gambar dengan pakaian pengantin sedondon yang disarungnya bersama Zyad di sisi.
"Cantiklah Kak Umai. Adik pun nak lalu ni bisa?" seloroh Faiqa. Adik kedua umaira yang berdiri di belakang kamera.
"Tunggu Iqa cukup umur dululah. Kak Mira pun tak kahwin lagi. Gatal," getus Miralya, adik bawah umaira, anak kedua Dato 'Farid.
"Bergaduh pula," getus umaira dengan senyuman. Peringkat selendang yang dikenakan dengan tudung kosong itu diperbaiki sedikit.
"Ok Zyad. Dekat-dekat sedikit. Bukan macam tu ..." Membebal mulut dije menyuruh Zyad memperbaiki posisi dia berdiri.
"Zyad. Diri belakang umaira. Baru nampak mesra," cadang Kak Mayi pula. Tersenyum setiap wajah itu.
"Macam ni?"
Dije dan Kak Mayi mengangguk serentak.
***
"Umaira. Dah suruh Zyad ambil baju untuk khatam malam nanti?" tanya Datin Marisa, mama Iqmal Zyad sementara lalu di kamar tamu, tempat dimana saudara berkumpul dan turut memeriahkan acara berinai itu.
"Belum ma." Tersenyum bibirnya melihat keletah anak-anak saudara dan saudara dia dan Zyad yang sibuk mengulurkan tangan ingin mengenakan inai di jari masing-masing.
"Mana pergi budak ni. Dipesan. Entah dia ingat ke tidak malam ni dah start majlis. Orang sibuk dekat rumah ni, dia tak sudah-sudah dengan kerja dia."
"Biar umaira yang call dia ma." Tidak ingin dilihatnya Datin Marisa terus-terus kuatir tentang anaknya yang satu itu.
"Yah." Datin Marisa berlalu.
"Kita orang nak pekat macam Kak Umai tu ..." Terdengar suara kecil Maya, anak saudara Zyad yang tangannya dirias Salwa, penata yang disebut untuk majelis yang akan diadakan.
"Ish budak ni. Itu pegantin. Kamu tu duduk tepi je tau," bidas Salwa sambil dicubitnya pipi Maya yang banyak bicaranya itu.
Keletah mereka semakin membuat bibir umaira tersenyum. Tangannya yang cantik berinai itu dipandang dan dibeleknya beberapa saat. Dari siang tadi lagi majlis berinai itu berlansung dan umaira lah orang pertama yang dipakaikan. Jadilah, sore, mereka mulai menyerbu Salwa meminta dipakaikan karena dilihatnya cantik hasil di tangan putih gebu umaira yang dihiasi inai itu.
"Tepi Bentar. Kak Umai nak keluar ni," pinta umaira sambil memperbaiki selepang tutup yang terjatuh.
Mereka ke tepi memberi sandi. Kebingitan di dalam ruangan itu memaksa umaira keluar agar senang dia ingin berbicara dengan Zyad.
***
"Bapak Iqmal Zyad, tak nak balik ke?" tanya Lisa yang baru saja menjengul setelah diizinkan masuk sebentar tadi.
"Bentar lagi Lisa. Kalau kamu nak balik, baliklah," jawab Zyad tanpa mengangkat wajah.
Lisa mengangguk.
"Saya balik dulu."
Zyad mengangguk. "Hallo."
Karena terbiasa dengan cara umaira, dia pasti akan mengucapkan kata itu apakah baru bertemu atau ingin berpisah.
Lisa mengangguk lagi sebelum menjawab salam.
Seketika Lisa keluar, Telepon bimbitnya bergetar. Tanpa melihat siapa penelpon dia menjawabnya.
"Halo....."
"Aloha... bie. Mama tanya. Bie dah ambil baju untuk majlis khatam malam ni?" tanya umaira disana.
"Baju khatam?" Pen berputar-putar di jarinya seperti selalu.
"Hmm. Bie dah ambil?" Lembut suara itu bertanya
"Ya Tuhan. Belum lagi sayang." Dalam dia memutar pennya, pen itu tersasar dan jatuh terpeanting jatuh dari mejanya membuat berkerut dahinya. Tidak pernah tangannya terlepas memusingkan pennya.
"Bie dekat mana tu?"
Zyad bangun untuk mengambil pennya. "Office sayang. sedikit je lagi benda ni. Nanti bie balik, bie ambil baju tu ye."
"Dah jam 5.45 ni. Takut tutup toko tu. Biar baby pergi ambil jelah ye," pinta umaira.
"Bisa juga. Ouch," getus Zyad ketika sikunya terantuk pemegang kursi sewaktu dia ingin bangun dari mengambil pennya.
"Bie. Are you ok?" Terdengar kuatir suara lunak itu.
"Ok. Bie terlanggar kursi je."
"Ok bie. Take care ok. Jangan balik lewat sangat."
"Hmm. Hallo sayang."
"Bie," panggil umaira tidak manjawab salamnya.
"Jangan lambat balik ye. Baby takut tak sempat nak jumpa bie."
"Sempat baby. Jangan kuatir ye. Bentar lagi bie balik. Bie nak siapkan kerja ni. Bie letak ye."
"Bie wait."
"Apa lagi baby?"
"I think it's too early to say this. But, I want you to know, I love you. Kalau tak ada jodoh antara kita ..."
"Kenapa baby bilang macam ni?"
Umaira disana diam.
"Baby?"
"Hmm."
"I love you too. Jangan nak buat saya fikir bukan-bukan ok. Saya letak ni. Hallo...."
"Aloha..."
Zyad mengerutkan dahinya. Kenapa lain macam saja kelakuan umaira sejak kebelakangan itu. Tidak pernah dia mengucapkan kata itu. Katanya ingin dihadiahkan ucapan itu setelah akad nikah nanti. Ucapan salamnya juga terdengar lain saja. Seakan berat hati Zyad waktu itu.
Dia duduk menghubungkan kerjanya. Berkira-kira hendak pulang sebelum jam 7 karena majlis khatam berlansung pukul 9 malam nanti.
Satu-satu file dibuka dan diperiksa seperti selalu. Selesai di atas meja, dia bangun mencari file di rak belakang mejanya. Tarik saja file yang dikehendakinya, bersepah kertas-kertas dari dalam berkas terbang berterabur di lantai. Seakan ada benda yang tak kena dengannya sepanjang hari itu.
Kertasnya dikutip. Tidak sampai separuh, Teleponnya menjerit pinta diangkat. Diletakkannya saja kertas di lantai dan berlalu mendapatkan Teleponnya yang seakan menggamitnya untuk cepat menyambutnya.
'RUMAH'. Berkerut seketika dahinya sebelum melekat Telepon berwarna putih itu di telinganya.
"Hallo Zyad. Kembali sekarang. Umaira, Zyad. Umai ..." Terdengar tangisan mamanya di hujug online belum sempat pengucapannya diteruskan.
"Ma. Kenapa ni? Kenapa umaira?"
"Umaira accident depan toko baju pengantin."
Bagai ditarik kasar detak jantungnya waktu itu. Kakinya lemah untuk berdiri.
"So, sekarang. Umaira dekat mana ma?" Tubuhnya disandarkan di dinding. Menampung kakinya yang kian lemah menerima berita itu.
"Darurat. Tapi ..." Sekali lagi suara tua itu terhenti.
Air matanya mengalir lambat bersama sorotan tubuhnya yang hampir terduduk.
"Umairah dah tak ada Zyad. Dia dah tak ada." Akhirnya berita itu sampai ke corong telinganya setelah lama mendengar mamanya menangis disana.
'Baby ...' Hatinya meronta kuat. Tak mampu dia melawan takdir yang hebat itu.
***
'Pandai dije ambil. Nampak cantik. ' Manja suara Syaeqa umaira sambil membelek gambar yang diambil dije terdendang di telinganya waktu itu. Satu-satu gambar dia bersama umaira yang memakai baju pengantin itu dibeleknya.
'Bie. Rasanya, sama macam ni ke kalau hari nikah nanti? '
'Nope. Akan cantik lagi dari ni. '
'Kalau baby pakai baju putih waktu malam sebelum nikah nanti, bie rasa macam mana?'
'Baby pakai apa pun. Cantik sayang. '
'Kalau solekkannya berbeda, tak ceria macam ni?'
'You still the most beautiful one baby.'
'Hope so.'
Terngiang-ngiang pembicaraan bersama umaira ketika di meja makan waktu makan malam dua keluarga yang agak meriah setelah mereka singgah di toko pengantin itu.
Malam yang seharusnya meriah dengan majlis khatam diganti dengan majlis kenduri pemakaman Syaeqa umaira yang cantik memakai baju yang menjadi pilihan hatinya. Baju putih yang dikatakannya dia ingin sarung pada malam itu.
Dan hari yang seharusnya menjadi hari bersejarah penyatuan dua hati, menjadi titik pemisah antara Iqmal Zyad dan Syaeqa umaira.
***
"Uncle Iyad. Uncle nak beli ke tu?" tanya saorang anak perempuan sambil menarik-narik celananya manja sambil tangannya menuding pada apa yang dipegang Iqmal Zyad.
"Tak. Mana mama eqa?" tanya Zyad sambil meletakkan tudung kuning cair itu kembali ke tempatnya. Tubuh anak kecil berumur 5 tahun itu diangkat.
"Mama dekat sana. Beli tu," tunjuknya dan jari kecilnya menunjuk pada Adria Madiya, adik bungsu Zyad yang sedang berdiri di konter.
"Itu kan cantik. Uncle Iyad tak nak beli ke?" Kembali dirujuknya pada tudung yang tadi dipegang Zyad.
"Tak. Tak ada siapa nak pakai nanti kalau Uncle Iyad beli. Jom," ajak Zyad sambil menyentuh kepala anak buahnya itu.
Kakinya melangkah keluar dari toko tudung itu. Toko yang menjadi saksi pertemuan dia dan Syaeqa umaira, 10 tahun lalu. Dan warna tudung yang sama membuat itulah kali pertama dan terakhir tangan Syaeqa umaira disentuhnya.
'Sayang. Saya tak sempat nak belikan tudung yang kamu nak tu untuk kamu. Kalau bukan takdirnya untuk kamu pergi dulu tinggalkan saya. Harus sekarang kamu masih ada berjalan dengan saya. Singgah toko tudung favorit kamu tu. ' Chat hati Zyad sendiri. Gratis terasa menyerbu kelopak matanya.
'Zyad. Umaira tak suka Zyad salahkan diri sendiri. Tak baik tau. ' Suara manja Syaeqa umaira terus-terus menurut setiap rentak nadinya setelah kepergian gadis itu. Gadis yang banyak mengajarnya arti sebuah hubungan dan kehidupan.
'Love you baby. Forever. ' Hatinya merintih lagi.
"Uncle Iyad. Kenapa Uncle Iyad nangis?" Suara eqa Laili mengejutkannya.
"Tak." Diukir senyuman nipisnya dan matanya mulai mengikuti langkah adik bungsunya yang kini beranak dua itu yang datang mendekatinya.
Tamat (*v*) Mei ing
