Melihat penampilan Tri yang tidak cerah dan jauh dari senyum, Rizal berpikir pasti ada hal yang tidak menggembirakan yang terjadi pada Tri dan Li.
“Tri, kamu tidak jadi menikah, kan, dengan Li? Pasti orangtuamu tidak merestui. Sudahlah Tri, jangan terlalu dipaksakan. Kan masih ada Abang Rizal yang masih tetap setia!” Rizal yang terkenal agak selebor, langsung saja membuka mulutnya tanpa peduli keadaan di sekitarnya dan keadaan Tri.
“Zal, tolong jangan ganggu aku. Maaf, aku sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan !” Suara Tri terdengar pelan tapi tegas. Tri terus saja melangkahkan kakinya keluar ruangan.
“Ayolah Tri, Please..! Hari ini aku antar kamu pulang ya..! Bujuk Rizal dengan sedikit memelas.
“Maaf, aku tidak bisa Rizal! Mohon mengertilah, aku butuh sendiri. Aku tidak ingin membicarakan apapun bersamamu sekarang. Setidaknya untuk saat ini.” Tegas sekali Tri menekankan kalimat itu, sehingga Rizalpun menghentikan langkahnya.
Rizal merasa kehabisan cara untuk mendapatkan hati Tri. Ia menendangkan sebelah kakinya, kesal terlihat jelas dari wajahnya. Tri tidak peduli tanpa sedikitun menoleh ia terus berjalan. Rizal mematung, memandangi punggung Tri dengan perasaan berkecamuk.
“Ya, Ok lah Tri, mungkin kamu benar. Ini bukan saat yang tepat untuk kita bicara. Harusnya aku tidak memaksamu, maaf Tri. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, malah sebaliknya ingin membantumu dan menghiburmu. ” Rizal menenangkan perasaannya sendiri.
Rizal kembali ke kantornya dengan langkah lesu dan perasaan kecewa. Tak terasa hari sudah sore, iapun harus segera pulang. Rizal memacu mobilnya dengan hati yang galau. Ia masih berfikir tentang Tri, gadis manis itu benar-benar telah mencuri hatinya.
Walaupun cinta itu telah ada sejak dulu, semenjak mereka masih berstatus mahasiswa. Namun kesempatan untuk mendapatkan Tri tidak pernah ada, karena selalu ada Li di sisinya. Saat ini Rizal seperti mendapatkan angin sorga, penentangan orang tua Tri terhadap hubungannya dengan Li semakin membuat Rizal yakin bahwa ialah yang paling pantas mendampingi Tri.
Sambil memutar stirnya, Rizal berkaca dari kaca spion. Ia tersenyum bangga. Wajahnya cukup mempesona, berkulit sawo matang, tegap dan hidupnya juga sudah mapan. Ia percaya Tri tidak akan menolaknya, karena ia tahu Tri dan Li tidak mungkin bisa menikah.
“Apa coba, alasan Tri untuk menolaknya? Ah, biasalah wanita, jinak-jinak merpati dan sok jual mahal, padahal?!” Cibirnya sambil tersenyum sendiri.“Hanya menunggu waktu saja, sampai Tri sembuh dari lukanya berpisah dengan Li. ” Rizal masih berusaha untuk meyakinkan pikirannya sendiri.
*
Kembali Tri dan Li bertemu di sore itu ketika Li datang menjemput sekaligus melepaskan kerinduan yang masih ada sebelum Tri pulang ke kampungnya.
Tri dan Li tidak mengerti, sebenarnya status mereka saat ini sebagai apa?
Kalau dibilang sepasang kekasih, rasanya aneh, masalahnya mereka sudah tidak direstui untuk menjadi suami istri karena perbedaan keyakinan. Tetapi bila bukan sepasang kekasih lagi, mereka juga tidak pernah saling memutuskan hubungan
Li mulai tahu diri dan menjaga jarak agar tidak terjebak dalam kemesraan dan keromantisan yang kemudian membuat mereka sulit untuk berpisah.
Dalam perjalanan pulang menuju kosan Tri, di tengah kemacetan ibu kota yang selalu menjadi teman setia. Menjadi waktu yang baik bagi Tri dan Li untuk berbicara banyak hal, sehingga tak terasa waktu cepat berlalu.
“Diak!, aku rasa mulai saat ini lebih baik aku mengganggap dirimu sebagai adikku saja, karena sudah tiada harapan lagi kita melanjutkan hubungan ini sampai kepelaminan.”
Tri merengut manja,”Ah, Koko! Sudah tidak suka dan sayang aku lagi ya?!” Bagaimanapun aku kan masih kekasihmu, Ko! Masih menyayangi Koko. Aku ingin selamanya mencintai Koko, abadi dalam hatiku. Meskipun takdir kita bukan untuk dipersatukan.”
“Diak, sudah waktunya kita mulai menerima kenyataan diantara kita. Kalau bicara cinta dan sayang, aku juga ingin selalu mencintaimu. Soal sayang, kita masih bisa untuk saling menyayangi sebagai saudara yang baik. Bukankah kita sama-sama anak tunggal? Ah, rasanya kita cocok sekali sebagai kakak adik. Mau, kan???” Li memberikan solusi yang baik atas hubungan mereka.
Mendengar itu, Tri mulai cemberut. “Semudah itukah, Ko?” Tri masih belum bisa memahami.
“Ini adalah yang terbaik, dulu kita mengawali hubungan ini dengan persahabatan. Kita sudah sama-sama dewasa. Alangkah baiknya juga mengakhiri hubungan ini dengan akhir yang baik. Aku akan tetap menjadi orang terdekatmu, sebagai Kakak yang paling mengerti dirimu.” Li tersenyum tulus menjelaskan.
Tri terdiam, dia tidak tahu apa ia bisa sesederhana itu memaknai perasaan mereka?. Namun tiba-tiba Tri mengembangkan senyum di wajahnya. Li benar, ia tidak boleh mendramatisir keadaan. Ia harus bisa bijak melihat kenyataan.
“Ok deh, Aku mau Ko! Itu kan artinya aku masih boleh bermanja-manja sama Koko. Lagian selama ini juga aku sudah panggil Koko. Yaaaahhh, akhirnya jadi Koko benaran deh!” “Mungkin kita memang berjodoh sebagai saudara ya Ko?” Tambah Tri lega.
Sepanjang perjalanan itu, mereka saling bercanda. Seperti tidak ada lagi beban yang menggantung, semuanya jadi terasa ringan untuk dijalankan. Ternyata benar, jika semua persoalan dihadapi dengan tenang pasti akan ada jalan keluarnya. Mereka bercerita banyak hari itu, berkali-kali Li melihat Tri tertawa lepas. Mimik Tri jadi lucu sekali. Li melihatnya gemes dan merasa senang karena Tri begitu gembira hari ini.
Ini jadi pelajaran berharga untuk mereka, bahwa kebahagiaan itu ada dalam hati. Tak perlu meyalahkan keadaan yang merenggut cinta mereka, karena jika dipaksakan juga untuk menyatukannya belum tentu mereka akan bahagia.
Terdengar dering telepon seluler dalam genggaman Tri.Sejenak Tri melirik nomor pemanggilnya sebelum diterima.
“Telepon dari Papa, Ko! Ada apa ya?!”
“Angkat dululah, Diak. Pasti ada berita penting!”
“Halo. . .Assalamualaikum. . .baik, Pa! Hah, Mama kenapa? Ya, Allah. . .ya ya aku segera pulang!”
“Adiak, ada apa???” Tanya Li sedikit keheranan melihat sikap Tri.
PART.15
Rasanya waktu terlalu cepat bagi Tri dan Li untuk berpisah saat ini. Karena menerima kabar yang kurang baik mengenai keadaan Mama Tri di kampung, perasaan tak ingin berpisah itu bisa diredam. Tentunya keadaan ini adalah waktu yang baik untuk mencairkan hubungan percintaan Tri dan Li yang sudah mengental selama ini.
***
Sepanjang perjalanan ke kampung halaman di pesawat yang ditumpanginya, Tri terus saja membayangkan wajah Mamanya dengan hati was-was. Wanita separuh baya yang sangat ia cintai, Mama yang berhati lembut, sangat bersahaja, dan begitu besar menaruh harapan pada Tri. Sebab Tri adalah anak perempuan satu-satunya.
Meski telah berumur, guratan kecantikan masih lekat jelas di wajah Mama. Tri memejamkan matanya, “Tidak boleh terjadi sesuatu sama Mama. Ya Allah, lindungilah Mamaku dan kuatkan beliau! ” Tri menghibur diri dan mohon kekuatan dalam hatinya yang gelisah.
“Maafkan Tri Ma, seharusnya Tri ada di dekat Mama selalu, bisa menjaga Mama dan merawat Mama sebaik-baiknya. ” Bisik hatinya.
***
Tri sampai di rumah sakit umum Dr.M Jamil, Padang, tempat Mamanya di rawat. Tri menarik langkahnya dengan cepat. Rasanya tidak sabar ingin sekali bertemu Mama. Tri langsung ke ruang dimana Mama di rawat di bagian penyakit dalam.
Wajah pucat terbaring di ranjang rumah sakit itu. Di temani Papa yang setia menunggui. Dua orang itu menanti kepulangan Tri dengan perasaan tegang. Karena mereka yakin, kabar yang diterima Tri pastilah membuat anak mereka sangat cemas.
“Harusnya Papa tidak perlu memberitahu kalau Mama sakit pada Tri.” Lemah sekali suara Mama terdengar. “pasti sekarang Tri sedih, karena memikirkan aku.” Lanjut Mama dengan raut sedih.
Awalnya Papa hanya diam, karena apa yang dikatakan Mama benar adanya. Tapi Papa mengelak dan menghibur Mama. “Sudahlah, Mama istirahat saja, jangan pikir yang macam-macam. Tri akan baik-baik saja.” Ungkap Papa menenangkan Mama.
Mama memalingkan wajahnya ke dinding kamar, wanita itu melukiskan wajah putrinya di tembok berwarna putih bersih itu, begitu gamangnya ia menantikan Tri. Ia memejamkan matanya. Walau hatinya masih terus memikirkan putrinya.
Tatapan Mama yang sebelumnya kuyu, tiba-tiba bersinar dan senyumnya mengembang saat Tri masuk ke kamar itu. Mama begitu senang saat Tri datang dan memeluknya hangat.
“Mama kenapa ?” Tanpa bisa lagi menahan air matanya Tri bertanya.
Papa yang berdiri di samping Mama menjelaskan. “Mama mengalami pembengkakan pada ginjal, Tri.” Ungkap Papa pelan hingga Mama tak mendengarnya. Tri memeluk Mamanya cukup lama, pelukan itu baru terlepas saat Papa menarik tangan Tri ke luar ruangan.
“Penyakit apa itu, Pa ?” Tanya Tri penasaran. Sejenis tumor, tapi tidak parah. Namun kata dokter tetap harus di buang karena bisa mengganggu kesehatan Mama. Misalnya secara tiba-tiba gula darah mama bisa naik, dan tensinya juga tinggi. Hal itu akan berakibat buruk kalau terus menerus terjadi. Apalagi usia Mama sudah hampir lima puluhan.” Jelas Papa.
“Tapi kalau di operasi berarti itu namanya parah, Pa ! apalagi jika itu letaknya di ginjal?” Tri sangat takut mendengar penjelasan Papanya.
“Itu satu-satunya jalan Tri, Ginjal Mama baik-baik saja saat ini. Makanya harus diangkat, jika tidak dioperasi maka akan semakin parah dan mengganggu bagian tubuh yang lain. Bisa saja besok Mama boleh pulang, kalau dipaksakan. Tapi kemungkinan besok-besok akan seperti ini lagi. Mama harus bolak balik ke rumah sakit!“ Jelas Papa lagi.
“Sekarang Mama sudah membaik kondisinya, dokter bilang sekitar tiga hari lagi sudah boleh pulang. Tetapi kapan saja jika Mama siap, maka operasi pengangkatan benjolan di ginjal itu bisa dilakukan. ” papa menambahkan.
Tri hanya diam, dia sangat khawatir dengan kondisi Mama. Bagaimanapun ia selalu berharap yang terbaik yang akan terjadi pada Mamanya. Mereka kembali masuk ke dalam ruangan, Tri menggenggam tangan Mama dengan penuh sayang.
“Koko Li, titip salam untuk Mama dan Papa. Khusus untuk Mama Koko mendoakan agar Mama cepat sembuh.” Tri sangat hati-hati menyampaikan pesan Li. Mama hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Maafkan Mama ya Nak. Harusnya Mama bisa membahagiakan kamu dan Nak Li.” Dua titik airmata menetes dari sudut mata mama yang sayu. Tri menyekanya dengan lembut. Sambil menggelengkan kepalanya pasti ia berkata. “Tidak apa-apa Ma, Tri dan Koko bisa menerima ini dengan hati ikhlas. Kami sudah bicarakan ini, dan sekarang Tri sama Koko hanya bersahabat dan mugkin akan jadi saudara Ma.”
“Mama sama Papa benar, Tri dan Koko tidak mau memaksakan hubungan itu.” Tri tersenyum tulus kepada Papa dan Mamanya.
Papa mengusap rambut Tri, entah apa yang dirasakan Papa saat itu Tri tidak tahu. Yang pasti Tri bisa melihat kelegaan diparas mereka.
***
Tiga hari kemudian Mama sudah dibolehkan pulang. “Tri, Mama ingin kamu segera menikah, karena umurmu sudah lebih dari cukup!” Itulah yang dikatakan Mama ketika Tri sedang menyuapi mama di teras depan. “Semenjak Bulan ponakanmu itu sudah remaja, Mama kembali ingin mengendong cucu” Lucu sekali ekspresi Mama bicara.
“Iya Ma, Tri paham kekhawatiran dan keinginan Mama. Tapi dengan siapa, Ma? Sampai sekarang Tri belum punya seseorang yang bisa menggantikan Koko Li, maafkan Tri Ma, Tri butuh waktu!” Tri sedikit terharu menjawab.
“Dengan Ramli, Tri! Dia itu lelaki yang baik dan pasti dapat menjaga dan membahagiakan kamu lahir batin. Percaya deh sama Mama.” Mama menggenggam tangan Tri erat-erat. Mama bisa pastikan dia mampu menggantikan posisi nak Li di hati mu” begitu mama meyakinkan Tri.
“Tapi, Ma…kami kan belum terlalu saling mengenal dan tidak mencintai satu sama lain!” Tri mencari alasan.
Mama memandangi wajah Tri dengan penuh pengharapan.
“Tri, bukankah dulu kalian sudah saling mengenal? Soal cinta, pasti akan tumbuh seiring berjalannya waktu.” Mama terus mendesak.
“Mama!, setelah lulus SMA Tri baru bertemu Ramli saat Mama mengundangnya makan malam ke sini. Dan itu belum cukup mengetahui lebih jauh tentang dirinya. Ramli yang Tri kenal di SMA dulu pastilah sekarang sudah berubah Ma, tidak bisa semudah itu untuk bisa mnegerti dan memahaminya.” Tri masih berkeras dengan alibinya.
Mama menarik nafas dalam, dipandanginya putrinya lekat.”Ok, tidak secepat itu nak, tapi ayolah. Beri kesempatan untuk Ramli mengenalmuu lebih jauh. Buka hatimu untuknya. Mama tetap tidak akan memaksa karena yang akan menjalankan rumahangga itu adalah kamu.” Kemudian Mama kembali diam.
***
Di kamarnya Tri mencerna lagi kata-kata Mama. Sepertinya Mama bersungguh-sungguh ingin Tri menikah dengan Ramli. “Duuuh, apa aku masih bisa jatuh cinta? Bahkan aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mulai menumbuhkan rasa itu pada lelaki.” Tri mengambil hpnya, ia ingin memberi tahu Li soal ini. Tapi diurungkan niatnya. “Jangan,!” bisik hatinya.
Tri termangu dalam kebingunagannya. Sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang ia besenandung tanpa irama.
Ajari aku jatuh cinta,
Aku tak tahu lagi caranya mencintai
Semenjak kepergian kekasihku. Sungguh aku tak ingin lagi mengenal cinta
Ajari aku jatuh cinta,
Kepada siapa aku harus bertanya?
Bagaimana memulainya?
Hatiku beku, dingin menggumpal kaku
Aku tak tahu lagi nikmatnya cinta [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
