KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 28 November 2011

CHINESE CRY (4A): AKU TAK MAU DIKAWIN PAKSA!

Sejak kecil Lukman dan Imei  dijejali ajaran agama, tradisi, dan pantang-larang adat Cina. Imei yang tingkahnya halus lebih nrimo, sedangkan Lukman bersikap antipati terhadap ajaran Papanya. Lukman membanding-bandingkan antara apa yang ia jalani dan apa yang dijalani teman sebayanya yang bukan keturunan Tionghoa,  ia berkesimpulan beban yang ditanggungnya yang paling berat. Sedikit demi sedikit sikap penolakannya mulai timbul.

Selain menggiling padi, Akung juga menampung beras yang dijual petani, lalu menjualnya ke ibukota kecamatan. Lukman diajak serta. Lukman melihat perbedaan yang mencolok antara tingkah laku Keturunan Tionghoa kota dan  desa. Kebanyakan Kaum Keturunan di kota sudah berpindah agama  dengan alasan praktis; agama Konghucu tidak diakui pemerintah sehingga harus sinkretis menjadi Budha Tridarma. Banyak juga yang pindah agama. Perpindahan ini menyebabkan kesenjangan antar generasi di kalangan Keturunan. Ada yang tetap menjalankan adat dan kebudayaan Cina; ada yang menghapusnya sama sekali;  ada yang paro-paroan, agamanya ditinggalkan, adat dan tradisinya tetap dipertahankan.

Umur Lukman baru menginjak 21 tahun, usia di mana anak muda sedang mencari jati dirinya, mencari kebebasan dan ingin menikmati hidup. Tapi Akung justru mengekangnya. Hal ini membuat Lukman sangat tertekan. Suatu malam terjadilah hal yang tak bisa dihindari.

"Aku telah menyuruh comblang melamarkan anak Ong Sui untuk dijadikan istrimu." kata Akung di saat Lukman selesai makan. Sendok yang masih dipegang Lukman terjatuh ke lantai. Imei memungut sendok itu dan mengambalikan pada Abangnya.

"Maksud Papa Sun Ni ?" tanya Lukman dengan wajah memucat. Hatinya tak senang mendengar kabar itu.

"Ya, dia anak yang rajin dan penurut. Umur kalian selisih dua tahun dan Shio-nya sangat cocok denganmu."

Dalam benak Lukman terbayang seraut wajah manis berkulit pucat dan bertubuh langsing. Sun Ni anak tertua seorang pengurus kelenteng. Sikapnya sangat adem dan dingin, pergaulannya sebatas kalangan Keturunan. Pekerjaan Ong Sui penjaga kelenteng  sekaligus berdagang alat-alat sembahyang, pergaulannya hanya terbatas pada kalangan keturunan. Bahasa Indonesianya masih pelat. Sehari-hari Sun Ni dipingit di rumah dan dilarang bergaul dengan anak-anak lain. Kalau ingin bertemu Sun Ni, kelentenglah tempatnya.

"Aku tak mau !" jawab Lukman segera.

"Kapan kamu punya hak mengatakan tak mau. Aku sudah membicarakannya bersama comblang dan Ong Sui. Pertunangan akan dilaksanakan bulan depan. Mereka meminta 200 kotak Kueh Pertunangan dan aku sudah menyetujuinya." Akung menjelaskan dengan sikap berwibawa. (Kueh Pertunangan merupakan kueh khusus, isinya 5-9 jenis serba manis dan lengket supaya yang bertunangan selalu hidup manis dan lengket bak sejoli).

"Bulan depan ?" teriak Lukman kaget bagai terkena sengatan kalajengking. "Aku baru dua tahun tamat SMA. Belum bisa apa-apa sudah disuruh kawin. Bagaimana harus menghidupi anak-istri ?" teriaknya kacau.

"Kamu tak perlu kerja. Kamu tinggal meneruskan usaha penggilingan. Tanah yang akan kuwariskan padamu juga tidak sedikit, mau apa lagi? " Akung tak memberi Lukman kesempatan  membantah.

"Papa, sekarang era 80-an. Di mana-mana anak muda bergandengan tangan dan berbicara soal cinta. Sudah bukan jamannya anak muda kawin dijodohkan!" Lukman protes keras, membuat semua orang menjadi kaget. Yang paling kaget tentu saja Lan Nio karena selama ini Lukman tak berani menentang sekeras ini terhadap urusan keluarga.

"Aku tahu soal itu. Tak perlu kamu ajari. Kenapa kamu menentang ? Bukankah di kelenteng kalian sering saling lirik? " skak Akung.

"Siapa yang melirik dia ! Masih banyak gadis lain yang pantas kulirik. Aku tidak naksir dia. Aku tak mau dikawinkan dengan Sun Ni ! "

"Kalau bukan dengan Sun Ni, memangnya kamu mau kawin dengan siapa ? Dengan Mariyem ?" ucap Akung tandas. Mariyem anak Margono, tukang kebun mereka yang giginya agak tonggos.

Lukman terdiam sejenak, tapi tetap tak mau mengalah, "Jangan mengejek ! Zaman sudah semodren ini Papa masih anti asimilasi?" katanya tak gentar.

"Bukan. Aku bukan anti asimilisasi. Kamu anak tertua marga Yang yang akan menjadi penerus tradisi dan generasi. Bagiku asimilasi hanya berlaku untuk anak perempuan. Kalau anak perempuan, terserah mau kawin dengan siapa saja boleh!" kata Akung tenang.

"Kalau boleh, kenapa Papa menghukum Imei saat ketahuan bergaul dengan Yogi ?" sergah Lukman.

"Itu karena Yogi anak sobirin ! Kalau dengan pemuda lain yang bisa memberinya kehidupan yang baik, aku setuju saja,"

Lukman memandang Imei dengan tatapan iri. Ia kehabisan dalih untuk melawan, " Kenapa harus aku yang menanggung beban  ini? Kenapa ?" ratapnya. "Tiap bulan ada acara, tiap bulan ada persembahan, tiap hari penuh dengan pantang-larang. Kawin pun harus dijodohkan. Kenapa harus aku yang menanggung semua beban ini !" teriak Lukman dengan kesal.

"Pada waktu aku diberitahu Engkongmu, aku juga mengajukan pertanyaan yang sama. Aku bahkan bertanya, kenapa kita yang sudah jauh dari tanah leluhur masih harus menjalankan adat leluhur? Kenapa tidak kita tinggalkan saja adat dan tradisi yang mengungkung ini? Kamu tahu apa jawaban Engkong ?" tanya Akung dengan tatapan menantang,

"Tidak !" jawab Lukman kesal.

"Engkongmu berkata, dari kecil kita sudah diajarkan memberi persembahan, menjalankan peradatan sesuai tradisi kita, para Dewa-Dewi mengikuti kita. Kalau kita berhenti memberi persembahan, berhenti menjalankan adat dan tradisi, apakah kamu berani menanggung kutukan para Dewa ?" Akung berkata seakan-akan saat itu Chu Kian yang berkata padanya. " Pertanyaan yang sama dari Engkong sekarang kutujukan padamu. Beranikah kamu menanggung kutukan para Dewa ?"

Lukman terdiam dengan wajah terperangah. Ia terlalu takut untuk menjawab. Konstelasi agama yang dianutnya mengatakan kedudukan tertinggi adalah Tuhan, tapi semua doa dipanjatkan melalui Dewa –sehingga ada banyak Dewa, dan para arwah leluhur turut menentukan nasib kehidupan anak-cucunya melalu kelakuan baik dan rasa bakti. Beranikah ia menentang takdirnya ?

Imei menatap Lukman dari tempat duduknya. Ia bisa membayangkan kekalutan abangnya. Dari dulu Abangnya mendambakan seorang calon istri yang hangat. Imei kenal Sun Ni dari dulu sebagai kakak kelasnya yang kini sudah tamat duluan, dan selama bergaul dengan Sun Ni, ia tak bisa mengatakan  sikap Sun Ni termasuk sikap orang yang hangat. Soal kepatuhan pasti tak ada yang menang karena Sun Ni tak pernah keluar rumah kecuali ke sekolah dan ke kelenteng, juga tak pernah ikut jika ada keramaian. Imei membayangkan Lukman bersanding dengan Sun Ni, penilaiannya mereka pasangan yang  cukup serasi. Tapi, sejak ikut Akung berdagang ke kota, Lukman sudah terlanjur bergaul dengan anak kota, jiwa pemberontak Lukman  mulai timbul.

"Bolehkah tidak dengan Sun Ni? Aku janji kawin dengan Keturunan Tionghoa, tapi bukan dijodohkan." Lukman coba menawar.

"Sun Ni anak yang patuh dan rajin. Aku sudah membicarakannya dengan Ong Sui. Ong Sui sudah setuju, Sun Ni juga setuju. Kueh pertunangan sudah dipesan. Tinggal mencari hari baik saja. Mau apa lagi ?" ucap Akung tandas. Wajah Lukman bertambah pucat. Ternyata Papanya sudah melangkah sejauh ini dan semuanya tanpa sepengetahuannya, tanpa mengajaknya berunding terlebih dahulu, hatinya kesal bukan kepalang.

"Papa menentukan seseorang untuk menjadi pendamping  hidupku tanpa mengajakku berembuk terlebih dahulu. Aku tak bisa terima !" ucap Lukman keras.

"Papa dulu juga pasrah ketika dijodohkan. Apa Papa terlihat tidak bahagia?" tanya Akung dengan wajah mengeras.

"Papa jangan membohongi kami. Kalau Papa dan Mama hidup bahagia, kenapa setiap malam Papa meneguk arak? Kenapa tiap tanggal 15 Papa naik ke atas loteng  menatap lukisan seorang perempuan yang bernama Kinarti?" teriak Lukman lepas kendali.

Wajah Akung sontak berubah merah padam ditelanjangi anaknya di hadapan keluarganya. Lan Nio menundukkan wajah dan pura-pura membawa piring ke belakang. Ia merasa lebih baik tak turut campur dalam pertikaian ini. Membela siapa pun akan dianggap salah. Imei menatap wajah Papanya dan mendapati misteri itu kian melebar.

"Diam ! Apa hakmu membicarakan urusan orang tua!" Bentak Akung sambil menggebrak meja. Wajah Akung merah padam oleh hawa marah. Tapi Lukman tak peduli. Ia balas menatap Papanya.

"Orang tua boleh membicarakan nasib anaknya tanpa sepengetahuannya, masak anak tak boleh berbicara sedikit tentang orang tuanya? " katanya tak peduli, " Menjodohkan adalah sebuah tradisi usang yang sudah harus dihilangkan. Sekarang orang berbicara tentang cinta. Cinta juga yang membuat Papa dan Paman Amung tidak teguran, bukan ?" katanya semakin berani.

"Kau ! " Akung tak kuasa menahan kemarahannya. "Siapa yang mengajarimu berkata kurang ajar begini !!" ia maju dan menggampar Lukman empat kali. Pipi Lukman lebam kiri kanan. Lukman terperangah dan meringis sambil memegang pipinya. Selama ini jika bersalah ia dihukum dengan sabetan atau berlutut menghadap arca Dewa di depan meja sembahyang, belum pernah ia terkena tangan Akung secara langsung. Perasaan kecewa dan sakit hati meronai hatinya. Ia menatap Papanya dengan mata berapi-api.

"Selama ini aku tak pernah menentang kehendak Papa. Segala perintah Papa kulaksanakan. Hanya urusan jodoh merupakan urusan pribadiku. Papa tak berhak ikut campur! Papa akan menyesali kejadian malam ini selamanya !" kata Lukman garang sambil membanting sumpit dan berjalan keluar dari rumah. Akung terperangah melihat kepergian anaknya. Imei mengejar dan memanggil-manggil. Sampai di pematang sawah yang sepi baru Lukman berhenti.

"Koko mau ke mana ?" tanya Imei kalut. Belum pernah Lukman menentang Papanya sekeras ini.

"Aku mau pergi dari rumah,"

"Ke mana ?"

"Pergi jauh mencari duniaku. Aku menyesal terlahir sebagai orang Cina! Aku ingin kebebasan! Jadi orang Cina terlalu mengikat. Aku bosan dengan semua ini!" Lukman meluahkan unek-uneknya. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]


Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA