KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 25 November 2011

PERJALANAN KE KAKAP (3): CERITA PAK PILING

Kenyataan yang sedikit berbeda diceritakan Gui Bah Yem. Dia berusia 50 tahun. Masih terhitung sepupu dengan The Dek Kui. Ibu The Dek Kui bermarga Gui juga.
"Dia punya Mamak, aku punya tante," akuinya. Gui Bah Yem tidak menjadi pengurus vihara.

Dia juga bukan pemuka masyarakat. Dia orang biasa. Dahulu pekerjaannya nelayan. Namun, tiga tahun terakhir ini dia bekerja di kebun sawit di Darit.

Hasil kebun memang tidak banyak. Sehari diupah Rp.34 ribu termasuk makan. Namun, bagi dia jumlah sudah cukup lumayan. Dia dan istrinya juga bekerja. Karena itu satu hari bisa memperoleh Rp.68 ribu. Sedangkan untuk makan mereka berbekal dari rumah. Jadi lebih hemat.

"Hasilnya juga lebih pasti". Dia membandingkan ketika masih aktif di laut. Hasil melaut tidak tentu. Kadang bisa lebih banyak, tapi kadang tidak. Hasil dari laut susah diperkirakan. Malah kadang kala dia tidak bisa melaut karena cuaca.
Karena tidak melaut maka tak ada jugalah hasilnya. Mengapa memilih Darat?

"Ikut keluarga".

Keluarga yang dimaksudkan Gui Bah Yem adalah keluarga istrinya. Istrinya orang Darat, katanya.

Sebutan lain untuk orang Dayak. Ketika ditanya bahasa apa yang dipakai orang Darat itu, ternyata bahasa Banyadu'. Bahasa ini lebih dekat dengan bahasa Ahe. Malah ada yang mengelompokkan kedua bahasa ini sama, dalam kelompok Kanayatn. Perbedaannya sedikit saja. Tidak ada banyak hambatan untuk memahami antara Ahe dan Banyadu'.

Gui Bah Yem sekarang hidup dalam budaya Banyadu'. Sehari-hari bahasa itulah yang dipakai. Hidup dalam budaya Banyadu' membuat identitasnya bertambah. Di antara orang Banyadu' dia dipanggil Pak Piling.

"Itu nama anak saya," katanya.
Orang Kanayatn memang memiliki cara unik dalam system sapaan. Seseorang memiliki banyak nama. Nama ketika masih anak-anak hingga memiliki anak berbeda.

Berbeda juga nanti bila sudah mempunya cucu. Seseorang akan selalu dipanggil mengikuti nama anak pertama. Agak janggal atau bahkan dianggap kurang sopan memanggil nama asli seorang lelaki atau seorang perempuan yang sudah memiliki anak.

Ketika ditanya, apa pendapat tentang kata Tionghoa? Gui Bah Yem mengaku tidak pernah mendengar kata itu. Dia kenal kata 'Cina' atau 'Cin'. Dia diidentifikasi sebagai orang Cin. Tak pernah diidentifikasi sebagai orang Tionghoa.

"Orang tanya saya, kamu orang Cin ya. Cina juga pernah. Gitu yak".
Gui Bah Yem merasakan Cin atau Cina sama saja. [Yusriadi / Jakarta / Tionghoanews]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA