Kukira, itu memang tangis yang benar-benar pecah dari puncak kesepiannya sebagai lelaki. Lelaki yang malang; hingga akhir hayatnya. Lelaki seratus tahun yang tak bisa mencintai siapa pun. Tak berjodoh dengan perempuan mana pun!
Anda bisa bayangkan sendiri. Bagaimana rasanya hidup bertahan bertahun tanpa cinta dan kasih sejati dari pasangan? Tanpa getar rindu sesinyal pun, meksi ia telah berburu dari satu ladang ke ladang lain, dari sawah ke sawah lain.
Kalau kemari, Mama Seli selalu menyerahkannya ke kamar ini, ke tempatku. Dan setiap kali kupandang matanya yang tua, ia menunduk, seolah aku ibu—yang mendapati anak lelakinya melacur—hingga kerut dan letih semua perasaan dilarikan. Dengan hati-hati, selalu kucoba memberikan imajinasi percintaan paling suci padanya. Tentang pepuja Pagan juga Amon-Isis pada wajah Monalisa yang bijak dalam penyatuan kehendak agung.
"Anda pasti tampan saat belasan tahun, Tuan, tampan sekali."
Dan ia tak pernah menjawab girang ataupun tersanjung. Hanya melihatku pendek, senyum, seolah bilang; aku tak peduli dengan ketampanan, beribu perempuan mengatakan itu padaku. Matanya membuatku berpaling pada lukisan bakteri-bakteri amuba yang menangis, pemberiannya ketika aku bertanya dengan hati-hati, suatu kali, "Apa sebenarnya yang terjadi pada Anda?" Selang sehari aku mendapatkan kiriman lukisan x meter itu darinya. Dan selama beberapa hari, ia tak pernah muncul, hingga terdengar kabar: langganan kami yang paling kaya itu pergi ke luar negeri.
Tapi tidak.
Ia masih kembali dan menemuiku hari keenam pekan lalu saat hujan memenjara dingin. Dengan stelan jas hitam, ia masuk. Tongkat dan topinya aku yang tertibkan. Dan, tak kusangka, ia berkata-kata sejak langkah pertama memasuki kamar, dengan suaranya yang tua: "Rosma, aku telah baca Kawabata, juga Marquez, aku ingin menikmati cinta tanpa bercinta denganmu malam ini. Tanpa sentuhan satu gores pun. Aku hanya ingin memandangmu."
Aku tak paham.
Dengan lembut kemudian ia dudukan aku di atas ranjang, "Aku hanya ingin melihatmu, itu saja. Siapa tahu, dengan begitu aku dapat merasakan cinta sejati, Rosma. Cinta yang dimiliki oleh semua manusia. Dan bukankah aku ini juga manusia? Bukankah aku pantas memiliki cinta, Rosma?"
Aku menunduk dan menangis.
Kata-katanya terlalu dalam menghujam. Betapa. Betapa malang lelaki ini. Umur panjang ternyata tak membuat kesempatan jatuh cinta terjadi sekalipun dalam hidupnya. Selebihnya, kubiarkan ia mewujudkan pikirannya. Ia mau lihat aku terbaring berbantal sebelah lengan dan bicara apa pun, bercerita apa pun, tanpa rasa sungkan, takut, juga penambahan di sana-sini demi kesan tertentu buatnya.
Hingga malam terlepas, dini hari menyentuhi kaca jendela.
Dan ia dengan aneh dan tiba-tiba berteriak tak jelas; menyerbuku seperti singa yang lama kehilangan betinanya! Meraung dan menangis sebentar. Kemudian diam dalam tangis, atau mungkin tangis dalam diam. Ngilu, pilu. Tapi bukan tangis rindu dalam arti cinta yang manusiawi. Ia tak pernah jatuh cinta. Ia ingin jatuh cinta. Ia menangis untuk cinta yang tak ada dalam dirinya. Ia menangis untuk perburuannya menjadi manusia utuh yang gagal. Kasihan ia.
Omar Desta Fathur:
HOMO? Ngawur. Itu spekulasi yang sangat ngawur. Tak ada bukti sama sekali. Itu strategi politik untuk menurunkannya dari kekuasaan atas partai dan sejumlah perusahaan yang ditangani. Dengar, ya, dengar: Tuan Foklor itu tidak menikah sebab pilihan hati. Toh, banyak orang yang memilih tidak menikah. Apa yang salah? Itu hak asasi. Kita ini hidup di negara yang telah bebas. Bebas melakukan apa pun. Apalagi bagi orang berharta dan berkuasa seperti Tuan Foklor.
Astaga! Apalagi….
Anda ini kalau bertanya ngumpulin data dulu nggak sih? Kalau iya, darimana itu. Info ngawur kok dicomat-comot, dipakai begitu saja. Ya enggaklah! Kalaupun mendirikan beberapa panti asuhan, rumah singgah, adopsi, termasuk taman kanak, itu karena tanggung jawab sosial. Negara ini butuh banyak campur tangan para dermawan seperti beliau. Lha kok malah diubar-uber isu macam begitu. Pedofillah, inilah, itulah.
Sudahlah, lebih baik dihapus memori semacam itu, kita ganti dengan kenyataan bahwa Tuan Foklor adalah anak bangsa yang membanggakan. Bahkan, kalau perlu, nanti, di dewan, kita usulkan menjadi pahlawan nasional. Lihatlah jasa-jasa beliau di banyak bidang, pendidikan, ekonomi, termasuk jasa dalam pengembangan pariwisata ke seluruh dunia.
O, kalau kesan. Tentu sangat banyak.
Tlilit…tlilit…. Tlililit….
Maaf, sebentar ya, halo? Gimana Zain, sudah siap? Bukunya sudah dicetak? Jangan lupa kontak media. O, ya, ya, nanti kutransfer, gampang itu….
Dokter Tamara:
SAYA ngomong gitu, bukan berarti pernah jadi istri atau selingkuhannya lho, hihihi. Nggak dhing, becanda itu! Becanda.
Aduh, tadi lupa. Tanya apa ya?
Oh, ya, Tuan Foklor memang orang besar dan berpengaruh. Saya bangga jadi dokter pribadinya, yang itu artinya, saya tahu persis apa saja yang terjadi, terkait dengan kesahatan beliau. Tapi terakhir, sebelum meninggal, tak ada apa-apa. Kesehatannya tetap terkontrol meski pada usia tua, bahkan sangat tua. Bayangkan, seratus tahun masih bugar? Sulit, sulit mencari duanya. Dan hanya beberapa tulang pegal, encok, atau tangan gemetar, dan sedikit mudah masuk angin. Dan itu biasa, dalam artian, mudah ditangani —dan memang tak berpengaruh. Beliau masih aktivitas seperti biasa; mengisi beberapa kolom koran, jalan-jalan ke taman kota, berburu di hutan belakang rumahnya, dan pergi ke tempat-tempat yang biasanya dia sukai.
Tidak, sekali lagi, tidak.
Saya berani menjamin secara profesional, bahwa bukan penyakit fisik yang menyebabkan beliau sering terlihat aneh, dan meninggal dengan cara aneh tersebut. Oh, Tuhan, sampai hari ini aku tak percya Tuan Foklor terga berbuat itu pada dirinya sendiri.
Bisa jadi. Itu bisa jadi.
Tapi, mohon maaf, saya tidak berani berkomentar sebab itu bukan bidang saya. Coba Anda tanyakan pada beberapa psikolog yang sering Tuan Foklor temui.
Paranormal Demian:
MUNGKIN memang inilah waktunya. Akan kukatakan suatu hal besar tentang Tuan Foklor. Tapi sebelumnya dengan terbuka, kukatakan nama yang kusandang ini adalah pemberian dari beliau.
Beliaulah yang membuatku dikenal sedemikian luas. Bahkan nyaris hampir setiap detik, aku dikunjungi orang-orang. Dari segala cara, dengan segala masalah. Yang anehnya aku tak bisa menyelesaikan permasalahan beliau. Hari itu, aku masih tujuh belas tahun. Ada pertunjukan kuda lumping di alun-alun kota. Aku datang. Banyak orang penting, yang dibicarakan teman-temanku, ada di pertunjukan tersebut. Tapi aku tak peduli. Aku hanya rasa pertunjukan itu memboskankan, dan dalam batin, aku berkata: "Kuda lumping kenapa cuma nari dan makan bara. Kalau memang hebat, naiklah pohon kelapa, atau tembuslah perut dengan sangkur!"
Dengan serta merta yang tak kuduga, para pemain kuda lumping melakukan apa yang kukatakan.
Bersama itu, sang penimbuz—pawang kuda lumping—menatapi aku dan mendekat dengan marah. Dan saat itu, datanglah Tuan Foklor. Beliau mencegah. Kemudian mengajakku ke mobil, menuju penginapan. Dimintanya aku duduk, dan ia menanyai banyak hal. Kemudian beliau tahu, aku tak lagi punya orang tua. Aku pun diangkat, dibiayai dengan rahasia, dan disekolahkan ke sekolah ilusionis di Jerman. Dari sanalah aku dapat nama: Demian Raharjo. Beliau bilang bahwa aku seperti rekan Shinclair dalam novel Hesse. Aku punya bakat alami supranatural. Yang membuatku beda adalah aku tak pandai melukiskan mimpi buruk dan tak menyukai burung hantu dan Abraxas. Apalagi menggabungkan Tuhan dan setan dalam satu diri itu. Dan lagi: Tuan Foklor mempercayaiku sebab akulah orang yang paling mengerti kegelisahannya. Kegelisahan paling rumit sekaligus celaka yang masih sulit berterima di benak awam.
Dan beliau, beliau itu. Ah, aku berat mengatakannya. Tapi, inilah sumber semua masalah dalam hidupnya yang menimbulkan beban di satu sisi, bahkan kukira, keuntungan dari itu tak sebanding dengan penderitaan yang beliau alami.
Beliau, beliau itu: berusuk lengkap.
Tak ada selengkung pun yang kurang atau ganjil, sebagaimana selazimnya kami sebagai laki-laki normal. Dan berarti bahwa: beliau tak memiliki jodoh di dunia ini selain dirinya sendiri. Beliau tak berhak atas cinta pada lawan jenis; ajaib sekaligus misterius. Tapi itulah kenyataan. Kenyataan yang selama ini beliau tutupi.
Kasihan sekali beliau. Hidup jadi manusia amuba yang membelah setiap cinta dan kerinduan dari dan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sering nampak murung. Beliau ingin benar dapat jatuh cinta. Dapat berkeluarga. Menikah. Memiliki pasangan. Dan normal sebagaimana manusia lainnya. Tapi sungguh, itu tak terjadi. Aku bisa membaca pikiran beliau dengan jelas sebagaimana yang beliau inginkan dengan mengangkatku. Sebab beliau pun dapat membaca pikiran, pikiran setiap lelaki.
Kemampuan itu yang membantu beliau dalam karir dan bisnis; termasuk membantu menemukan bakatku dan mengolahnya. Meskipun aku tahu, beliau punya tujuan: agar aku, dengan entah kekuatan macam apa, mengubah jiwa gelisah beliau tentang cinta, jadi normal. Jadi sebagaimana Adam yang dicabut rusuknya buat jadi kekasih. Buat jadi cinta yang indah, dan begitu membahagiakan, mencipta kangen, dan segala romantisme hidup di dunia.
Ya, aku tak bisa melarang beliau.
Lelaki tua, yang paling panjang umur itu, begitu baik. Aku tak kuasa. Termasuk ketika beliau memberi tahu akan menikahi dirinya sendiri dengan aku sebagai saksi. Dan igauan ngerinya sepanjang ijab paling absurd itu: tentang mati dengan rusuk tercerabut, dan aku bakal diminta menyimpan, untuk kemudian hari; bila kloning telah diizinkan. Agar kelak rusuk itu ditumbuhkan dengan ilmu dunia, sebab semua ilmu sihir dan ilusi tak lagi cukup melahirkan perempuan dari sela-sela rusuknya yang putih dan melengkung keras. Perempuan baru yang selalu dirindukan menemani duduk dan bercerita. Atau mungkin datang ke makamnya setiap senja, dengan biola kecil, dan memainkan lagu kehidupan yang sederhana.
Oh, tidak. Aku selalu jadi melankoli ketika mengingat semua kelembutan, juga penderitaan Tuan Foklor.
Seperti yang semua penduduk kota ini tahu. Bukan hanya igauan: itu semua terrnyata rencana kematian. Beliau mewujudkan igauan ngeri tersebut.
Beliau patahkan rusuknya sendiri pada saat-saat kematiannya. Menyomplaknya dalam sekarat. Dalam teriakan mekik. Sementara aku hanya bisa memejam; tak boleh mendekat. Padahal Anda bisa bayangkan: betapa sakit, ngilu, dan perihnya mencabut rusuk sendiri dalam detik-detik menjelang kematian yang menakutkan. Tidak. Demikian itu yang beliau mau. Aku tak melakukan apa pun.
Dan kukira, memang itulah yang lebih baik bagi beliau. Hidup tanpa cinta, bagi manusia, bukankah seperti kematian yang dimulai sejak awal kelahiran?
Ah, tidak. Aku… aku masih ingat. Ingat benar apa yang beliau katakan ketika menyompal rusuk sendiri, setelah mengorek dadanya dengan pisau, dan dengan gaib, beliau, seorang kakek seratus tahun mampu bertahan sedemikian rupa dari kematian—hingga dapat tersenyum dan berkata pada sepotong rusuk yang masih dipenuhi titas darah dalam gengamannya; berkata dengan gemetar yang dipancari sinar kebahagiaan akhir.
"Eva, hanya maut… yang tahu. Betapa aku… benar-benar tak sempurna, bila hidup tanpa cinta dan kehadiranmu…." (*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Chen Mei Ing - Jakarta