Orang-orang kalap. Meludah. Tapi, bagi dia? Sahwan adalah lelaki rupawan. Pemilik mata elang yang ketajamannya mampu melelehkan daging-daging tubuhnya—ketika sudah berpandang saat mereka menjelajahi negeri langit. Yang paling tidak ia lupakan adalah janggut tebal di dagu Sahwan. Hmm, betul, Sahwan bilang, "Ini tempat para malaikat bermain." Buktinya, dia tak pernah bosan memandangi wajah lembutnya.
Dia perempuan dalam gelap. Waktu telah mengurungnya hingga sunyi. Tak ada lampu atau cahaya matahari, apalagi kipas pendingin ruangan. Pengap. Jika siang hari, kulit-kulit tubuhnya serasa mengelupas. Mencair. Namun, kembali keriput-keriput kulitnya akan mengenyal saat piring nasi dan sayur basi menghampirinya.
Dan ia tersadar kemudian bahwa suaminya sudah mati. Lalu, dia pun menangis meski tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, apalagi untuk kuasa berteriak, mengeluarkan kebenaran yang ia pikir benar. Hanya di dadanya ia simpan. Memang, itulah pilihan yang paling tepat sekarang. Orang-orang sudah tidak lagi memercayai dirinya.
Adalah naif jika dia berharap masih ada yang sudi bersimpati. Orang-orang kalap. Meludah. Segala bunyi doktrin dan istilah 'cuci otak' seakan jadi gaun hitam yang melilit sekujur tubuhnya. Dulu, dia amat menikmati kebebasannya sebagai perempuan ketika dia masih belia. Masih belum mengenal Sahwan. Dan belum membungkus kulit-kulit mulusnya dengan pakaian tebal hingga hanya sepasang matanya yang terbiar.
Ah, Sahwan? Kerinduannya pada laki-laki itu membuatnya ingin mengenang. Sungguh. Kebebasan sebenarnya adalah yang datang dari langit. Kebebasan yang hanya boleh disembunyikan di ruang hati. Bukan untuk dijual beli, dipamerkan, atau diwacanakan ke tengah publik, sebagai dalih—sekarang zaman merdeka. Zaman ketika orang mulai meninggalkan kepurbaan.
Seperti hal yang paling sederhana ini, dia merasa tidak cantik, tidak ada laki-laki yang mau melirik jika harus berpakaian seperti wanita dewasa. Serba tertutup. Paling yang terlihat hanya betis dan geraian rambut. Menurutnya, itu tidak cukup untuk membuat lelaki jatuh hati. Harus ada yang dibuka sedikit, di bagian dada misalnya, atau pakai rok pendek di atas lutut dan mengenakan kaus ketat berlengan pendek yang bisa memamerkan liang udel. Tapi, itu kenangan basi.
Kini, perempuan itu terdampar di ruang sunyi. Gelap. Tak ada bulan memberikan cahaya. Bintang-bintang apalagi. Bunyi dengkur kecoa pun luput di telinganya. Ruangan tempat dia menghabiskan waktu untuk mengenang Sahwan, dindingnya begitu tebal dan dingin. Tapi, dia merasa tidak seorang diri. Ada Sahwan di dekatnya. Gigil tubuhnya dihangati tiap waktu oleh cahaya mata suaminya.
Perempuan itu menangis. Desah pun lindap. Butir air mata mengendap di dinding kamar, berjendela sepuluh senti. Saat itu, ia duduk bersila menghadap ke barat. Sepuluh jari tangannya tidak lagi terbungkus sarung tangan, ia hanya memakai jika tidak sedang berhadapan dengan lelaki yang bukan mahram. Jari tangan kanannya saat itu bergerak-gerak halus. Begitu pula bibirnya. Tiap detakan waktu ia ingat Sahwan.
Namun, perasaan itu masih dikalahkan bunyi detak jantung yang menasbihkan Asma ul-husna. Di ruang hatinya, penuh keinginan bertemu Sahwan. Tapi, dia lebih senang menemui Zat Yang Maha Menciptakan. Tak ada yang harus ditakuti dari kematian. Lambat atau cepat, Tuhan yang lebih berkehendak—mengaturnya.
***
Sebutir peluru memecah jantung. Sebab itu, Sahwan mati. Ia tak pernah selihat wajah terakhir suaminya sebelum Sahwan disemayamkan. Tapi, perempuan itu yakin, rupa Sahwan masih tetap menawan. Berpuluh-puluh malaikat terbang di atas kepala lelaki itu. Menafakurkan kepergiannya. Barangkali sedang berkejaran doa-doa yang mengiring suaminya.
Dia merasa yakin meski hatinya tak berhenti gelisah. Tak ada syahid untuk kematian teroris. Perempuan itu menangis. Di ruang gelap ini, sesekali jendelanya terbuka, lalu muncul kepala botak tertawa-tawa mengejek. Kadang, tatapan itu berubah liar.
Sesekali datang setan membakar hati pria gemuk tersebut. Ia bisa selapar macan di belantara liar. Merampas cadar di wajahnya. Merobek jilbab yang menyembunyikan rambutnya. Nasib baik tidak sampai menyentuh atau memerkosa. Sebab, ia wanita yang kuat. Sesungguhnya kekuatan manusia bersumber dari satu cahaya, yaitu Rabb.
"Kau akan mati membusuk di sini." Biar. Dia tidak gentar dengan ancaman murah. Bukankah dia memang telah membawa bekal untuk berangkat? Seperti Sahwan. Tapi, bukan kematian dengan cara seperti ini. Mati dipenjara! Membunuh hak dan kebebasan dirinya, tanpa proses hukum.
Perempuan itu tiba-tiba diculik oleh beberapa lelaki bertopeng saat ia sedang shalat Subuh di surau. Beginikah? Arti kemerdekaan itu? Di luar sana, tidak terhitung manusia yang mengumbar bau mulutnya meneriaki HAM. Seakan hanya manusia seperti Sahwan satu-satunya pembunuh, hingga dipatenkan sebagai teroris. Lalu, bagaimana dengan para koruptor? Yang menghisap hingga tak berampas atas hak yang bukan miliknya?
Perempuan itu menangis. Senyum Sahwan menyisir di tiap sudut ruangan. Lantas memeluk dirinya. Dan ia kembali terbang, terengah dalam labirin gairah. Bahu Sahwan yang besar selalu membiarkan dirinya berlabuh. Menumpahkan rindu yang selalu ia sembunyikan. Berbulan-bulan menjamur. Berbulan-bulan Sahwan pergi. Dia tak pernah menuntut apa-apa.
Suaminya hanya punya dua perempuan dalam kehidupannya. Dirinya, dan wanita yang sudah melahirkannya. Sudah lama sekali ibu meninggal. Semasa beliau hidup, dia tak pernah kuasa bersaing untuk berebut kasih sayang Sahwan. Ia pasti kalah.
Sejak dia kenal pria itu, lalu dinikahinya, hidupnya memang lantas berubah. Bermetamorfosis. Mungkin, dia hanya berandai memuliakan dirinya. Menjaga dengan baik harta satu-satunya kepunyaan Sahwan. "Sahwan itu miskin. Rumah saja kalian menumpang, nyicil tiap bulan. Dia kan cuma bisa menitipkan janin di perutmu."
Subhanallah kekayaan yang diinginkan Tuhan sumbernya hanya di hati. Bukan di gelimang harta, pangkat, dan gelar ini-itu. "Asal tahu saja, sebetulnya kalian berdua itu bodoh. Padahal, kalian tidak lebih baik dari seorang penghamba. Ini sudah zaman iptek, Bu? Zaman di mana perempuan sudah 'melawan' kearogansian lelaki."
Jendela kecil di ruang gelap itu terbuka lagi. Laki-laki berkepala botak membingkai di lobang, berteriak-teriak memaki dirinya. Memintanya untuk berhenti membaca surah Al-Baqarah. Dia melembutkan bacaannya. Menggerakkan hati.
***
Sebutir peluru menyaksikan yang pergi. Walau ia tidak. Di ruang kamar berdinding beton itu, selain terkunci, ada dua lelaki menjaga dirinya. Sebab apa ia dijaga dan dikurung sedemikian hebat? Perempuan itu tidak bersenjata. Juga tidak berkalung tasbih, seperti kebanyakan orang alim memakainya.
"Ini makanan terakhirmu. Besok pagi kau sudah harus mati!" Sepiring nasi dan sayur di tendang ke arahnya. Lalu, pria itu membanting pintu. Blaam! Menyusul bunyi desah perempuan menahan amarah, menyaksikan nasi dan sayur yang berhamburan mengenai pakaiannya, ia menyusut air mata.
Mata air di kelopak matanya membentuk sungai kecil. Belum sempat dia membendung luapan bah agar tak membanjiri pipinya, pintu ruangan dibuka kembali. Kini, dua lelaki bertopeng bersenjata laras panjang berdiri sengak memandangnya.
"Anda bebas, Nyonya! Kami telah diperintahkan untuk mengeluarkanmu dari tempat ini." Salah seorang dari keduanya, menutup mata perempuan tersebut dengan kain hitam. Dia berusaha meronta. Tapi, sebuah suntikan di bahu kanannya, membuat si wanita terkulai dan jatuh di lantai. Kemudian, dengan sebuah mobil jeep, mereka membawanya pergi.
Tubuh wanita itu digeletakkan saja di bagian belakang mobil dengan kedua tangan terikat. "Kita kembalikan dia ke tempat kita menculiknya semula. Dia tidak bersalah. Menurut Bos, wanita ini tidak terlibat kegiatan yang dilakukan suaminya."
"Tapi, menurut Bos yang satu lagi? Kita memang harus melenyapkan dia?"
"Itu juga tidak jadi. Wanita ini hanya pembuat buku. Dan buku yang ditulisnya, tidak mengandung unsur makar. Hanya mengangkat isu gender."
"Berarti tugas kita selesai, to?"
"Belum. Kita harus membawa anak lelakinya kepada Bos."
Perempuan itu menangis. (*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Chen Mei Ing - Jakarta