Kepalanya bulat, badannya lonjong, dan gigi-giginya seperti gergaji, seperti gerigi ikan hiu. Gigi-gigi itulah yang sering menyiksaku, mengunyah isi perutku --yang seharusnya tidak dikunyah-- seperti permen karet. Ia juga memiliki semacam alat yang bisa menyemprot dan menyedot cairan pada perutnya, mirip penyedot kloset. Terkadang kalau ia lapar, ia akan mengepak-ngepakkan sayapnya yang mirip kupu-kupu raksasa. Tapi orang-orang yang lalu lalang sering tertawa, mengikik seperti kuda saat aku mengatakan: "Tolonglah aku, di dalam perutku ada monster!"
Mereka hanya berkata sambil lalu, "Sudahlah, keluarkan saja monster itu dari perutmu." Sial, andai bisa kulakukan hal itu, pasti ia sudah kujadikan dendeng kering raksasa atau daging giling gula-gula yang kugoreng untuk kujadikan kudapan.
Jika kau ingin menanyakan bagaimana rasanya menjadi makhluk yang tidak diinginkan, tanyakan saja pada monster itu, karena aku tak menginginkannya. Aku sudah berulangkali mencoba mengeluarkannya dari dalam perutku. Aku mengorek-ngorek langit-langit paling jauh dalam mulutku.
Aku muntah, tapi ia tak keluar juga. Hanya air kencing dan kotoran asam yang ia semburkan lewat mulutku. Melihatku berkubang dalam kotoran itu adalah cara dia mengejekku setiap kali aku memaksanya keluar dari perut.
Seperti apa rasanya menjadi makhluk yang tidak diinginkan? Tanyakan juga pertanyaan itu padaku. Karena tak ada orang yang menginginkan keberadaanku. Aku bercerita tentangnya pertama kali karena aku percaya seluruh masalah manusia di bumi ini pertama kali datang dari perut. Entahlah. Pernah aku percaya bahwa cinta dapat mengalahkan segalanya, termasuk masalah perut. Sebelum monster itu datang, lagu Love Will Keep Us Alive-nya Eagle menjadi mantra paling sakti untuk membujuk istriku. Ketika kami tak punya makanan di rumah, lirik …when we're hungry, love will keep us alive…, selalu membuat istriku bertahan di sisi rusukku.
Tapi semenjak kami punya momongan, mantra itu tak lagi berguna. Cinta ternyata tak selamanya mesti idealis. Cinta tak cukup hanya dengan mengkhayal "kenyang" lantas membuat kita kenyang pula. Cinta juga harus menganut paham materialis baru bisa di bilang realistis.
Masalah bertahan hidup pun menjadi masalah utama dalam keluargaku. Gajiku sebagai buruh menggores hati sangat kasar. Hati istriku, hati anakku. Andai bisa kucangkok hatiku untuk mereka, pasti akan kulakukan, tapi itu tak pernah cukup. Aku masih ingat kata-kata itu sebelum punggungnya hilang di balik pintu, "Aku lapar, Mas. Yang kubutuhkan hari ini adalah makanan, bukan cinta!" Istri dan anakku pergi dan meninggalkan aku sendirian bersama monster jelek ini dalam perutku, dalam gubuk reyot, di pinggir jalan, dekat tong sampah, sejak sepuluh tahun yang lalu.
Belakangan seringkali kulihat monster itu mencungkili ulat-ulat hitam dari dinding gubuknya. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya dengan ulat-ulat itu. Tapi tak lama kemudian, asap akan keluar dari lobang berkarat. Mungkin ulat-ulat itu telah jadi sop buntut yang aromanya bisa membuat gila. Ulat-ulat di dinding gubuk monster lama kelamaan jadi malas kawin dan beranak-pinak. Monster itu tersiksa, begitu juga diriku. Monster itu tersiksa karena belum makan, aku juga tersiksa karena disiksanya. Aku selalu berusaha menahan sesisa tenaga. Tapi aku hanya bisa menggiringnya lalu membiarkannya menderita di dalam jonjot-jonjot perutku. Aku tak tahu sampai kapan aku mampu menahan penderitaan ini. Tapi kuharap sampai mati saja. - MONSTER-2 Padahal jalur menuju kepalaku sudah kupasangi membran anti tembus alien apa saja, bahkan virus sekali pun tidak bisa menembusnya. Aneh, monster yang satu ini sama sekali tidak beretika. Kambing saja kalau melihat rumah orang diberi pagar, tak berani ia lewati. Tapi monster ini, segala cara ia halalkan untuk memenuhi keinginannya. Dan kini, ia bermukim tepat di sisa otak binatangku dan sedikit mengambil lahan di otak rasionalku. Dasar binatang! Ia tahu aku masih menyimpan seonggok pemberian nenek moyangku dalam proses evolusi itu. Ia cerdas, dan kecerdasan itu ia simpan dalam sebuah peti kayu bermotif seperti baju safari yang ia beri nama: peti kemunafikan.
Monster itu lahir beberapa tahun setelah kepergian istriku yang berganti dengan Monster penjagal usus, Monster-1. Jika kau ingin menanyakan bagaimana cara membuat ramuan kegilaan, tanyakan saja padanya. Setiap hari sejak kelahirannya, kerjanya selalu menggangguku; memeloroti celanaku di siang bolong, dan menyirami wajahku dengan air kencingku sendiri.
Aku sangat benci padanya. Tapi dia juga benci padaku. Dia menyukai apa yang ku benci dan membenci apa yang kusukai. Kata paling kotor keluar dari kejijikan oralnya ketika aku mengembalikan dompet seorang wanita yang jatuh di depanku, dan dia menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku membiarkan sepasang tikus membawa pergi sepotong roti dekat tong sampah. "Harusnya kau makan roti itu, goblok!!!" Jeritannya membuat tikus-tikus itu kabur ketakutan.
Tapi tepuk tangan riuh akan mendengung di kepalaku ketika aku menakut-nakuti anak kecil lalu mengambil lollipop-nya. Atau memalak ibu-ibu yang habis berbelanja di pasar. Ia juga sering menyuruhku untuk membobol rumah orang kaya agar dia bisa makan enak. Kalau aku tak menuruti perintahnya, ia akan mengataiku : "Munafik!"
Jika amarahnya memuncak, monster itu benar-benar akan mempersulit diriku. Dari tubuhnya akan keluar duri-duri tajam seperti kaktus sahara. Lalu menggosok-gosokkannya pada dinding dalam kepalaku. Dia juga akan mencakar-cakar bagian dalam kepalaku dengan kuku hitamnya yang tajam, setajam silet, atau menusuk-nusuk kulit otakku dengan tanduknya yang seperti jarum suntik sapi. Perihnya luar biasa. Aku hanya bisa menangis dalam hati sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang bisa kugapai: tembok, batu, pinggiran tong sampah, tembok, batu, pinggiran tong sampah,… apa saja, mungkin hanya itu benda keras di sekitarku -- dan baru berhenti setelah dia berhenti.
Aku pernah melarangnya tinggal di kepalaku, "Pergi kau!" Tentu saja dia tak mau. Keras kepalanya sama dengan keras kepalaku. Aku mengancam akan memecahkan kepalaku. Dia malah menantang, "Coba saja kalau berani!" Dia menang. Aku memang pengecut. Sejak itu, dia makin semena-mena memperlihatkan kekejamannya. Aku tak bisa berbuat lain kecuali bertahan dalam kesakitan agar dia tak selalu merasa menang. - MONSTER-3 Monster yang satu ini paling lihai menyembunyikan rumahnya dalam tubuhku. Aku tak pernah mengetahui pasti di mana ia tinggal. Orang bilang ia tinggal di palung terdalam hati yang bukan liver. Entahlah, wujudnya juga sulit aku identifikasi. Aku hanya sering mendengar suaranya yang menggema dari sebuah lobang, lebih tepat jika aku sebut rongga. Tapi jika sewaktu-waktu kurasakan ada sesuatu yang mengaum-aum, yang mengerung, mencakar-cakar, menanduk dan menusuk-nusuk bagian tubuhku yang lemah, mengiris, menggigit-ngunyah hati yang bukan liver itu, itu pasti dia.
Meski terkadang kejam, monster ini juga bisa ramah. Ia bisa ku ajak bercerita tentang apa saja, bahkan ia sering mengingatkan aku tentang tuhan. Ya, tuhan yang sudah lama dibawa lari oleh tikus bersama sepotong roti dekat tong sampah itu. Dan kalau dia sedang bicara, pasti dua ekor monster nakal yang lainnya akan diam.
Aku kerap bertanya pada monster ini: "Di manakah tuhan saat aku lapar?" "tuhan itu..," sambil berbisik, "sangat dekat dengan urat lehermu." "Berarti tuhan ada dalam diriku, Mon?" "Dalam diri setiap orang terdapat wajah tuhan."
Aku benar-benar dibuat tertawa oleh monster ini. Aku tak mengerti maksudnya. Aku meneriaki setiap orang yang lalu lalang, "Hei kalian manusia beradab, apakah kalian bisa menatap wajah tuhan pada diriku?!!!"
Mereka hanya tertawa. Aku juga tertawa. Mereka berlalu sambil menutup hidung. Aku tetap di situ, dan telingaku mendengar kalimat itu lagi. "Dasar orang gila!" - tUHAN? Aku baru tahu kalau tuhan juga menghuni tubuhku. "Di urat leher", tepatnya, kata Monster-3. Bukannya menganggap remeh. Tapi sehari yang lalu, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, oh..mungkin bertahun-tahun yang lalu, seorang pejabat pernah berlalu di depanku dan berkata, "Kemarin tuhan ada di dompetku, tapi sudah ku jual untuk makan hari ini." Lalu ia melemparkan sebuah koin dari arah mobil mewahnya.
Jika tuhan bisa di beli, mungkinkah karena koin itu tuhan kembali menghuni tubuhku? Mungkinkah karena itu pula, pejabat itu tak pernah lagi lewat di depanku karena takut menatap wajah tuhan? Tapi di mana tuhan saat aku lapar? Di mana tuhan saat aku menakut-nakuti seorang bocah untuk merampas lollipop-nya? Di mana tuhan saat aku memalak ibu-ibu sepulang belanja dari pasar? Di mana tuhan saat aku membobol rumah orang kaya itu? Di mana? Di mana? Di mana? Oh, di urat leher!
Jangan-jangan tuhan-lah yang memberi kehidupan pada monster-monster dalam tubuhku. Kebetulan ia tinggal di leher, itu berarti ia menghubungkan perut dan kepalaku. Aku mengunjungi rumah tuhan di situ. Aku ketuk pintunya tak sabar. Sesaat dia membuka pintu langsung kucekik lehernya. tuhan aku ancam: "Aku sedang lapar, tuhan! Berikan aku sepotong roti. Jika tidak, kubunuh kau!" Tapi tuhan tak berkata apa-apa. Mungkin karena lehernya kucekik. Atau mungkin karena tak tahan dengan bau mulutku.
Lama kugenggam lehernya. Kurasa langit semakin kabur dalam pandanganku, cekikanku semakin kencang. Awan terlihat seperti kembang gula kapas, aku menjulurkan lidah ingin menjilatnya. Lama sekali, tapi tuhan tak kunjung memberi jawaban. Malah Monster-2 di kepalaku yang menjerit kesakitan lalu menyemprotkan cairan di mataku. Entah cairan apa. Perih sekali rasanya. Aku sampai menangis di buatnya.
Cekikan itu kulepas, lalu kucampakkan tubuh tuhan hingga terpelanting di tanah kotor. Kepalanya terbentur keras kena batu. Berdarah. Dengan sisa tenaganya, tuhan lari tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah. Kudengar tuhan membanting pintu amat keras dan mengunci jendela rapat-rapat. Kurasakan kepala tuhan pecah di kepalaku. Kurasakan ketakutan tuhan itu ada pada diriku, ada di leherku. Aku bisa mendengar degup jantungnya yang kencang sampai di leherku. Bukan. Sampai di perutku. Dag dig dug, seratus delapan belas kali per menit denyut jantung tuhan kuhitung, menjalar ke tenggorokanku. Iramanya membuat langit seolah berputar. Isi perutku juga berputar. Monster-1 pun seperti ikut-ikutan berputar. Dia mengeruk-ngeruk isi perutku. Aku muntah sekali lagi. Aku berkubang sekali lagi. Kali ini pada cairan asam yang terlarut dalam warna merah. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku masih ingin menuntut keadilan tuhan pada diriku.
Monster-3 seperti berbisik dari rongga terdalamnya, "Meski awalnya sangat menyiksa, tapi kau harus bertahan hingga ajal menjemputmu. Bertahanlah."
"Baiklah, Mon. Jika itu maumu, akan kuturuti. Tapi tolonglah untuk mempertahankan diriku juga. Oke?" Lalu hening, dunia sejenak berhenti berputar. Aku tak bisa mendengar apa-apa, padahal orang-orang yang berlalu lalang telah berkumpul dan berbisik-bisik, "Hei, lihat. Kasihan juga orang gila ini. Ia memecahkan kepalanya sendiri dengan batu."
Semua yang bernama 'gerak', terhenti tiba-tiba. Udara pun enggan lagi masuk ke hidungku. Aku lelah, Tuhan. Aku ingin tidur dengan sempurna. Aku kere, Tuhan, tolong jangan pernah bangunkan aku lagi. Aku takut, Tuhan, jika aku terjaga, para monster itu akan kembali menyiksaku dan kembali membuatku gila. (-hz-)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Copy dari: Jimmy, Menado