Setelah barang-barang peninggalan suamiku satu persatu kujual untuk menyambung hidup, maka harta terakhir sebuah mobil tua kulepaskan untuk membuka restoran kecil disudut jalan.
Restoran yang kubuka cukup laris, karena aku berusaha memasak dengan kwalitas masakan yang baik agar para pelanggan restoranku selalu kembali membeli makanan di restoran “Laris†nama yang kuberikan untuk restoranku.
Banyak ibu-ibu yang membeli lauk matang dari restoranku, dibungkus dan disajikan di rumah untuk makan siang atau makan malam keluarga. Restoran Laris buka dari pukul tujuh pagi hingga pukul sembilan malam. Aku dan adik-adikku secara bergantian mengelolanya. Hasil dari restoran tersebut dapat menghidupi kami semua, termasuk menyekolahkan anak-anak kami.
Salah seorang langgananku, Ibu Dewi kerap memesan sayur asem, ayam goreng, sambal dan lalapan dari restoranku, hingga kami berkawan akrab.
Setiap hari Ibu Dewi pasti mampir di restoranku dan membeli lauk matang untuk dibawa pulang sebagai menu makan malam suaminya. Bu Dewi tidak suka memasak, dan suami Ibu Dewi adalah salah satu manager perusahaan farmasi.
Ibu Dewi tidak dikaruniai anak, hingga dia amat kesepian saat suaminya berangkat bekerja, karena suami Ibu Dewi baru pulang setelah pukul sepuluh malam.
Suatu hari, Ibu Dewi sakit dan menelponku untuk mengantarkan makanan kesukaannya, setelah mandi aku langsung menuju rumah Bu Dewi dengan membawa Pepes Ikan Mas dan sayur asam kesukaannya. Setiba di rumahnya, kulihat Ibu Dewi telah menungguku di beranda rumahnya dan langsung menyambutku dengan hangat. Hari itu aku memberinya makanan ekstra, oseng tempe pedas.
Setelah makan, kami berdua menonton televisi bersama sambil mengomentari acara yang kami tonton, hingga ada satu adegan mesra yang membuat kami saling bertatatapan dan tanpa kami sadari, kami berciuman mesra dan menindih sesudahnya. Kejadian tersebut membuat kami lena dan kami melakukannya berulang kali. Bercinta sejenis.
Delapan bulan setelah peristiwa pertama tersebut, suatu hari Bu Dewi memberitahuku jika suaminya sudah mengetahui hubungan kami tersebut. Pak Bambang, demikian nama suami Bu Dewi, ingin bertemu denganku.
Pak Bambang, pria dengan rambut keriting, perawakan tinggi besar, menatapku keras dan penuh kemarahan. Aku tersedak, karena ketakutan tak terhingga yang merayapi tubuhku. Aku pasrah.
Mendadak dalam situasi sulit tersebut, Ibu Dewi mencairkan suasana dengan mulai membuka kancing bajuku di depan Pak Bambang yang serta merta menunjukkan bulatan indah dadaku. Kemudian Ibu Dewi menarik tangan Pak Bambang untuk mengelus dadaku dengan dibantu tangan Bu Dewi hingga Pak Bambang mampu mengelus dadaku sendiri. Sementara Bu Dewi menciumi Pak Bambang dengan penuh kasih sebagai seorang istri dan memandu Pak Bambang untuk mengelus bagian lain dari tubuhku. Kami bercinta bertiga, Bu Dewi, Pak Bambang dan aku.
Sudah dua tahun kujalani kehidupan seperti ini, hingga akhirnya Bu Dewi menanyakanku, kenapa sampai saat ini aku tak hamil juga, padahal aku tak mengenakan kontrasepsi apapun.
Ternyata Bu Dewi sangat menginginkan seorang anak dari perkawianannya dengan Pak Bambang dan Bu Dewi menginginkanku hamil dan memberinya anak untuk perkawinan mereka. Aku tersedak... [Merry Huang / Menado] Sumber: Facebook
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com