Aku masih ingat betul saat usiaku tujuh tahun, mama memaksaku untuk masuk sekolah dimana mama dulu bersekolah. Sekolah khusus perempuan dengan asrama bertingkat yang berjejer panjang. Sekolah yang membuatku trauma berkepanjangan, karena pelecehan-pelecehan yang dilakukan guru-guru dan kakak-kakak kelasku, mama tak mengertikan...., karena mama terlalu jauh di sana, di rumah kami yang penuh kehangatan.
Aku tak bisa berkata apa-apa, aku terlalu kecil dan polos untuk mengadu pada mama yang 'terlalu dewasa', yang serba mengerti tentang banyak hal, yang selalu tahu dan selalu mengatur akan jalan kehidupanku, aku hanya bisa diam dan sesekali menangis dan menjerit pilu, saat jari-jari tangan dan mulut mereka, 'memperkosaku' secara bergantian. Memberiku sebuah sensasi lain sekaligus rasa sakit yang luar biasa, dihatiku dan di tubuhku.
Baiklah, aku memang bisa melupakan semua itu, melupakan dua belas tahun masa-masa 'siksaan' itu berlangsung. Tetapi mama, aku bukan Ida, bukan Angel atau Nindya, aku Reggy yang seperti kubilang memiliki banyak keinginan tentang pilihan hidup. Tapi mama tak perduli, mama masih saja mencengkeramkan kuku-kuku mama yang lebih tajam dari ujung pedang seorang penjagal pada tubuh dan hatiku yang pilu.
Maka dari itu mama, jangan salahkan aku saat aku berbadan dua tanpa harus menikah. Mama memang pantas menyebutku sebagai anjing, babi, dan monyet, mama juga pantas menyiksaku dengan berbagai tindakan, pukulan, tamparan dan makian-makian lain sebagai anak yang tak tahu diri, dan tek pernah bisa berterima kasih kepada orang tua, berterima kasih mama?, berterima kasih atas semua perlakuan yang kudapat sepanjang hidup yang menambah lukaku semakin menganga dan sulit untuk disembuhkan..? sepertinya tak mungkin.
Sekali lagi aku hanya bisa diam tanpa bicara, aku memang tak mungkin melawan mama yang kuat, yang perkasa, bahkan sekelas papapun tak sanggup untuk mengalahkannya. Sama seperti aku, papa hanya bisa manggut-manggut bak kerbau dicucuk hidungnya saat mama menggeliat dan menorehkan kata-kata. Pun saat mama memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke Jakarta, karena malu aku hamil diluar nikah. Tapi mama, kenapa kau tak malu saat menyiksa kami, papa dan anak-anakmu didepan banyak orang, dimana hati nurani mama?
Rasa malu itu juga yang akhirnya membuat mama terpaksa menganggap anakku sebagai anaknya pada tetangga-tetangga baru kami. Mama memang tak ingin tetangga tahu bahwa aku telah menghianatinya dengan memberinya 'anak haram'. Selama setahun rahasia itu membuahkan hasil, dan mama sungguh sangat luar biasa. Mama bisa tampil sebagai ibu yang santun, yang taat beribadah saat berada dilingkungan baru kami.
Sekali lagi maaf mama, jika aku telah kembali melukai perasaan mama karena topeng yang selama ini mama kenakan akhirnya terlepas akibat ulahku yang secara tak sengaja menemukan seorang laki-laki yang mau mencintai aku dengan tulus, dengan kasih sayang sempurna tanpa kepura-puraan. Tidak seperti laki-laki yang pernah mama sodorkan dan akhirnya menghamili aku. Kali ini aku benar-benar menemukan laki-laki untuk hidupku yang sesungguhnya.
Tapi, lagi-lagi kenapa mama menghalangi langkahku? Maaf mama sekali ini aku terpaksa melawan walau dengan itu aku harus berjibaku dengan tangan mama yang selalu berterbangan kearah mukaku, membiarkan kaki mama berada diatas kepalaku, membiarkan darahku keluar dari hidung, telinga dan mulutku akibat 'rasa sayang' yang selalu mama dengung-dengungkan saat menghajarku. Kata papa, mama tak pernah membenciku, semua yang kudapatkan karena mama sayang aku
Mama sayang, mama boleh saja menyebutku apa saja, tapi aku mohon mama tidak menyebut lelakiku sebagai binatang keparat yang ingin mengambil anaknya, apalagi menghukumnya dengan sebutan gembel hanya ia seorang kuli bangunan, karena aku tak akan pernah rela. Lelakiku adalah malaikat yang datang untuk menolongku dari tangan iblis yang berwujud perempuan yang telah melahirkan aku. Maaf mama, aku terpaksa menyebutmu begitu, meninggalkanmu dalam keadaan frustasi karena tak bisa mewujudkan impian masa remajamu. Biarkan aku bersatu dan berbahagia bersamanya. [Vivi Tan / Jakarta]