Saat ini aku sedang dilanda keresahan yang teramat sangat, aku adalah seorang istri dari suami yang sama sekali tidak aku cintai. Perjalanan rumah tangga kamipun tak berjalan seperti yang aku harapkan. Di rumah yang saat ini kami tempati, aku seperti seorang yang selalu menjadi "tersangka" pada saat kami mengalami berbagai permasalahan rumah tangga.
Para pembaca yang budiman. Aku dinikahkan saat aku masih menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan. Saat itu kira-kira usiaku baru menginjak angka duapuluhan. Sementara suamiku adalah seorang yang memiliki jabatan cukup penting di sebuah BUMN juga di Kalimantan.
Aku bertemu calon suamiku hanya seminggu menjelang pernikahan sehingga aku sama sekali tak mengetahui secara persis bagaimana wataknya. Semula aku menolak, namun karena nasihat ibuku, akhirnya aku terima. Perjodohan ini memang sepenuhnya diatur keluargaku, aku sendiri tak mengetahui secara persis ada motifasi apa di balik perjodohan ini dan jika pernikahan ini bukan permintaan ibuku, aku pasti sudah melarikan diri dari rumah sebagai usaha untuk menghindari pernikahan.
Mungkin karena keterpaksaan itu juga, malam pertama kurasakan demikian hambar. Aku sama sekali tak merasakan sebuah keindahan seperti yang banyak aku dengar dari cerita teman-teman kuliahku. Aku hanya merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku, sementara laki-laki berbadan tambun itu terus saja mendesak-desakan tubuhnya. Namun untunglah hal itu tak berlangsung lama, hanya beberapa menit ia langsung terkapar kelelahan.
Setelah menikah, aku diboyong oleh suamiku yang usianya sekitar 10 tahun lebih tua dariku ke rumah orang tuanya. Di sini kami merasakan pahit manisnya menjalani kehidupan berumah tangga.
Oh ya, nama suamiku Jhony. Beberapa bulan setelah menikah, barulah aku mulai tahu tabiat asli suamiku yang ternyata terlalu kekanak-kanakan. Maklum saja, dia anak tunggal. Bahkan, dia tidak pernah protes ketika kedua orang tuanya ikut-ikutan dalam urusan rumah tangga kami. Sebagai orang tua, mereka selalu menyalahkanku aku, tanpa melihat permasalahannya. Aku acapkali jadi "terdakwa" dalam "persidangan" mereka.
Mungkin karena pada dasarnya aku tak mencintainya, aku selalu protes setelah 'disidang'. Aku tak mau terima diperlakukan seperti itu. Sebagai suami, seharusnya Jhony lebih dewasa dariku, yang tak perlu mengadu kepada orang tuanya. Permasalahan yang seharusnya menjadi rahasia kami berdua, akhirnya malah menjadi urusan keluarga dan pasti aku yang dipersalahkan, padahal belum tentu permasalahan itu timbul akibat ulah dan kesalahanku.
Apalagi jika aku memang berbuat salah. Bisa berhari-hari aku kena damprat mertua. Berbagai nasihat akan dikeluarkan mereka secara bergantian. Aku dibuatnya tak berkutik. Mulutku sudah pegal menyunggingkan senyum keramahan. Sementara dadaku bergolak karena kecewa dan marah.
Puncak kekesalanku terjadi saat aku kembali menjadi "terdakwa" hanya karena aku memarahi anakku karena berlaku kurang ajar. Namun apa yang dilakukan Jhoni justru di luar perkiaraanku. Jhoni malah menyalahkanku atas sikap kurang ajar yang ditunjukan anakku. Aku dituduhnya tak bisa memberi contoh baik terhadap prilaku anak kami.
Tentu saja aku tak bisa terima dituduh seperti itu, seharusnya iapun bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan anak kami. Dan seharusnya Jhon bisa memahami keadaanku yang tak bisa terus menerus mengawasi dan mengasuh anak, karena aku juga memiliki keterbatasan waktu untuk mengurus hal lainnya, memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.
Celakanya, Jhoni lagi-lagi mengadukan hal tersebut kepada ibunya. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku kembali menjadi bulan-bulanan ocehan ibu mertuaku. Tak ada pembelaan sama sekali yang bisa keluar dari mulutku. Kali ini aku tak lagi bisa menahan diri, aku muak dengan semua tuduhan yang dilontarkan kepadaku. Saat itu juga aku minta bercerai, namun entah mengapa suamiku menolak gugatan ceraiku.
Saat ini aku tak tahu harus berbuat apa lagi, semua kesabaranku terasa sudah habis, sementara aku tak berani berbuat nekat untuk pergi dari rumah mertuaku, karena aku tak ingin persoalan ini di dengar ibuku yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Dan akhirnya sampai saat ini aku masih tetap tinggal di rumah mertua dengan keadaan yang tak pernah berubah, masih tetap menjadi kambing hitam atas persoalan-persoalan yang muncul di rumah tangga kami. [Tari Ng / Jakarta] Sumber: Facebook
Para pembaca yang budiman. Aku dinikahkan saat aku masih menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan. Saat itu kira-kira usiaku baru menginjak angka duapuluhan. Sementara suamiku adalah seorang yang memiliki jabatan cukup penting di sebuah BUMN juga di Kalimantan.
Aku bertemu calon suamiku hanya seminggu menjelang pernikahan sehingga aku sama sekali tak mengetahui secara persis bagaimana wataknya. Semula aku menolak, namun karena nasihat ibuku, akhirnya aku terima. Perjodohan ini memang sepenuhnya diatur keluargaku, aku sendiri tak mengetahui secara persis ada motifasi apa di balik perjodohan ini dan jika pernikahan ini bukan permintaan ibuku, aku pasti sudah melarikan diri dari rumah sebagai usaha untuk menghindari pernikahan.
Mungkin karena keterpaksaan itu juga, malam pertama kurasakan demikian hambar. Aku sama sekali tak merasakan sebuah keindahan seperti yang banyak aku dengar dari cerita teman-teman kuliahku. Aku hanya merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku, sementara laki-laki berbadan tambun itu terus saja mendesak-desakan tubuhnya. Namun untunglah hal itu tak berlangsung lama, hanya beberapa menit ia langsung terkapar kelelahan.
Setelah menikah, aku diboyong oleh suamiku yang usianya sekitar 10 tahun lebih tua dariku ke rumah orang tuanya. Di sini kami merasakan pahit manisnya menjalani kehidupan berumah tangga.
Oh ya, nama suamiku Jhony. Beberapa bulan setelah menikah, barulah aku mulai tahu tabiat asli suamiku yang ternyata terlalu kekanak-kanakan. Maklum saja, dia anak tunggal. Bahkan, dia tidak pernah protes ketika kedua orang tuanya ikut-ikutan dalam urusan rumah tangga kami. Sebagai orang tua, mereka selalu menyalahkanku aku, tanpa melihat permasalahannya. Aku acapkali jadi "terdakwa" dalam "persidangan" mereka.
Mungkin karena pada dasarnya aku tak mencintainya, aku selalu protes setelah 'disidang'. Aku tak mau terima diperlakukan seperti itu. Sebagai suami, seharusnya Jhony lebih dewasa dariku, yang tak perlu mengadu kepada orang tuanya. Permasalahan yang seharusnya menjadi rahasia kami berdua, akhirnya malah menjadi urusan keluarga dan pasti aku yang dipersalahkan, padahal belum tentu permasalahan itu timbul akibat ulah dan kesalahanku.
Apalagi jika aku memang berbuat salah. Bisa berhari-hari aku kena damprat mertua. Berbagai nasihat akan dikeluarkan mereka secara bergantian. Aku dibuatnya tak berkutik. Mulutku sudah pegal menyunggingkan senyum keramahan. Sementara dadaku bergolak karena kecewa dan marah.
Puncak kekesalanku terjadi saat aku kembali menjadi "terdakwa" hanya karena aku memarahi anakku karena berlaku kurang ajar. Namun apa yang dilakukan Jhoni justru di luar perkiaraanku. Jhoni malah menyalahkanku atas sikap kurang ajar yang ditunjukan anakku. Aku dituduhnya tak bisa memberi contoh baik terhadap prilaku anak kami.
Tentu saja aku tak bisa terima dituduh seperti itu, seharusnya iapun bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan anak kami. Dan seharusnya Jhon bisa memahami keadaanku yang tak bisa terus menerus mengawasi dan mengasuh anak, karena aku juga memiliki keterbatasan waktu untuk mengurus hal lainnya, memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.
Celakanya, Jhoni lagi-lagi mengadukan hal tersebut kepada ibunya. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku kembali menjadi bulan-bulanan ocehan ibu mertuaku. Tak ada pembelaan sama sekali yang bisa keluar dari mulutku. Kali ini aku tak lagi bisa menahan diri, aku muak dengan semua tuduhan yang dilontarkan kepadaku. Saat itu juga aku minta bercerai, namun entah mengapa suamiku menolak gugatan ceraiku.
Saat ini aku tak tahu harus berbuat apa lagi, semua kesabaranku terasa sudah habis, sementara aku tak berani berbuat nekat untuk pergi dari rumah mertuaku, karena aku tak ingin persoalan ini di dengar ibuku yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Dan akhirnya sampai saat ini aku masih tetap tinggal di rumah mertua dengan keadaan yang tak pernah berubah, masih tetap menjadi kambing hitam atas persoalan-persoalan yang muncul di rumah tangga kami. [Tari Ng / Jakarta] Sumber: Facebook
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id