Karena kekurang tahuan itu juga menyebabkan aku selalu saja menjadi bahan ejekan oleh teman-temanku, walau begitu tetap saja aku senang dengan cara mereka yang mejadikan aku 'ikon' bahan ledekan mereka, lumayanlah untuk amal karena aku bisa membuat mereka tertawa dan berbahagia, walaupun kebahagiaan mereka berada di atas penderitaanku.
Aku juga bukan orang bisa dibilang alim, tapi juga tak bisa dibilang bandel, sedang-sedang sajalah. untuk urusan perempuan aku paling getol mencari. Tapi selalu berujung kegagalan. Padahal menurut penilaian ibuku aku anak yang paling genteng di keluarga, jelas saja akukan anak lelaki satu-satunya, semua saudaraku perempuan dan telah menikah.
Tinggal aku sendiri yang belum memiliki pasangan, makanya ibuku selalu bertanya kapan kawin, ya aku jawab saja bulan May, maybe no…maybe yes… untung saja ibuku tak mengerti bahasa inggris tersebut yang biasa ada di iklan TV.
Dua bulan lalu berkat jasa seorang saudara, akhinya aku bisa mendapatkan pasangan dan melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis yang juga berasal dari desaku. Gugup, malu, dan nafsu melingkupi malam pertamaku. Nia (nama samaran) mungkin juga merasakan hal yang sama denganku, sehingga pada malam pertama tersebut kami hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan tubuh telanjang kami.
Malam kedua, aku bu arbisa melaksanakan kewajibanku. Itu juga dengan susah payah, karena istriku tetap saja masih gugup dan malu. Seperti yang pernah kualami sebelum menikah, baru saja 'senjataku' menerobos gawang yang tak terjaga, aku merasakan sesuatu mengalir dengan deras.
Setelah itu senjataku langung loyo. "Cuma begitu mas, aku kira bakal lama dan tersiksa seperti yang sering aku dengar dari teman-teman," kata istriku. Mendengar pertanyaan itu aku cuma mesem-mesem tak karuan, dalam hatiku berkata, untung ia tak tahu dan mengerti kejadian ini, "jadinya aku nggak malu," gumamku dalam hati.
Esoknya aku curhat pada teman-temanku yang sudah berpengalaman dalam memuaskan pasangannya. Ada saja ide dari mereka, mulai dari minum pil extasi, minum jamu kuat sampai ide mengolesi senjataku dengan sejenis minyak.
Minum pil extasi tentu saja aku tak berani, selain takut kecanduan obat itu juga tergolong narkoba, minum jamu aku juga tak suka dengan rasanya yang super pahit, akhirnya aku ambil ide ketiga yang kebetulan minyak itu tak perlu kubeli karena temanku memilikinya dan memberikan secara cuma-cuma alias gratis.
Malam berikutnya tiba waktuku untuk 'menghajar' istriku, "biar ia merem-melek pikirku dalam hati. Benar saja apa kata temanku, beberapa saat setelah aku olesi senjataku langsung saja menunjuk kearah gawang yang saat itu sudah tak terjaga. Tidak seperti malam kemarin, kali ini aku benar-benar gagah perkasa istriku saja sampai kewalahan bahkan sampai mengomel. Menit demi menit berlalu, bahkan hingga beberapa jam 'perabotanku' belum menunjukan tanda-tanda akan lunglai, aku juga mulai merakan sakit dan pegal.
Perasaan bangga yang semula berkibar-kibar, kini berubah menjadi rasa khawatir. Demikian juga dengan istriku yang mempertanyakan keadaan bagian bawahku yang saat itu tetap saja tegak berdiri. Sampai matahari menyapa di pagi hari benda 'keramat' itu masih tetap pada keadaan yang segar bugar. Dari rasa khawatir mulai muncul perasaan panik, "Ayo lo mas, jangan-jangan kena penyakit AIDS tuh," kata istriku asal saja mendiagnosa apa yang aku alami.
Karena sampai siang belum juga menunjukan tanda-tanda akan mengecil. Dengan perasaan takut dan malu akhirnya aku pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit aku menceritakan apa yang kulakukan dan dokter hanya tersenyum sambil berkata. "Mas, kalo mau diolesi sedikit saja, jangan satu botol dihabisi semua," oo wong edan… rupanya aku kena dikerjai temanku, gerutuku dalam hati. [Vivi Tan / Jakarta]