"Rafa, langsung mandi, salat, habis itu langsung cuci piring!" perintah ibuku dari luar kamar. Rumahku yang hanya tersusun dari papan-papan dapat dengan mudah ditembus oleh suara itu. Aku pun hanya mendesah. Baru saja aku merelakan tubuhku jatuh ke tempat tidur, belum lagi seragamku yang masih melekat, ibuku sudah memulai aksinya: memberi perintah tanpa memikirkan keadaan.
Padahal sebenarnya aku sengaja pulang cepat karena ingin tidur siang. Soalnya nanti malam akan menjadi Sistem Kebut Semalam (SKS) ke empat di minggu ini. Ya, tidak dipungkiri lagi, sebagai siswa di SMA favorit se-Kebumen, tentunya tidak ada waktu untuk santai-santai. Kalau tidak tugas, ya, ulangan harian. Begitu seterusnya hingga membuatku merasa rumah hanya warteg yang ku singgahi ketika lapar saja. Wajar bukan ketika tidak ada acara di sekolah aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur?
"Nanti, bu!" jawabku tanpa berniat melalaikan tugas membantu orangtua. Ya, memang benar aku akan mengerjakan apa yang ibu suruh padaku. Tapi nanti! Saat ini bagiku yang terpenting adalah 'tidur'.
Aku merogoh saku rok mengambil sebuah benda bernamakan HP. Aku menyetel alarm di HP jadul pemberian kakakku. Ku keraskan volumenya hingga mencapai tingkat 'keras'. Lalu ku letakkan HP itu di bantal sebelah kanan telingaku. Seperti biasa, ku peluk guling kesayanganku dan ku letakkan satu bantal menutupi sebagian mukaku –kebiasaan aneh sejak kecil.
Di antara pandangan yang gelap, aku memikirkan urutan-urutan yang akan ku lakukan ketika bangun nanti. Selain itu aku juga menerka-nerka mau mulai dari mana dulu aku belajar. Sialnya besok ada dua mata pelajaran yang diujikan, kimia dan sejarah. Heh, benar-benar butuh tenaga ekstra malam ini….
"Rafa!!! Belum ganti baju langsung tidur! Mandi dulu! Salat juga belum!" Suara itu benar-benar menggangguku. Bagaimana tidak? Belum juga aku merasakan tenangnya alam mimpi, teriakan-teriakan telah memekakan telingaku. "Kamu itu sudah besar, harusnya sudah bisa ngatur diri sendiri. Ibu itu malu harus selalu berteriak-teriak setiap hari." Lebay, siapa suruh bentak-bentak. "Ibu tahu kamu capek." Memang. "Tapi tolonglah hargai sedikit usaha ibu di rumah. Bantu-bantu sedikitlah. Apa susahnya, sih, cuci piring?" Ya, tadinya begitu, tapi mood menolongku menghilang. "Rafa!!! Kau tidak dengar atau pura-pura tidak dengar." Pura-pura tidak dengar.
"Ya, ya, ya!" sahutku kasar sambil membanting bantal yang sebelumnya ku gunakan untuk menutupi kepala. Aku tak tahan lagi mendengar ocehannya. Dengan sengaja aku membanting-bantingkan setiap benda yang ku pegang. Dan tentu saja, pikiranku melayang-layang menghindari ceramah-ceramah yang berebut menyerbu gendang telingaku. Hal yang sudah menjadi kebiasaanku. Toh yang akan kudengar hanya kata-kata yang sama. Bosan!
Keesokan harinya…
"Rafa!!! Sudah jam berapa ini??? Kamu tidak mau sekolah apa?? Kalau iya lebih baik tidak usah sekolah lagi saja. Sudah dicarikan biaya ke sana ke mari, kamu malah santai-santai. Kalau seperti ini terus, Ibu tidak mau lagi mengurusimu. Ibu lelah!"
Okelah… Whatever… Ku siapkan perlengkapan sekolah terburu-buru. Aku memang ingin cepat pergi. Kalau ibu tidak mau mengurusiku lagi, it's oke! Aku bisa menata diriku sendiri. Makanan di meja ku lewati begitu saja. Sebenarnya lapar juga sih, tapi gengsi dong. Langsung ku keluarkan sepeda biruku dan ku kayuh sebisa mungkin untuk melesat secepatnya. Inilah aku, selalu lari dari masalah.
"Kenapa mukamu seperti itu, Fa?" tanya Nysa sesampainya aku di kelas.
"Au, ah, gelap," sahutku cemberut.
Kepalaku mulai mengangguk-angguk seperti ayam kalkun. Terang saja. Tanpa tidur siang, menjalankan rencana SKS itu sangat menyiksa. Selain tidak konsentrasi, sulit juga memahami tulisan yang dibaca. Aku juga dipastikan akan mengantuk keesokan harinya. Yah, seperti saat ini. Terlebih lagi materi Bahasa Inggris yang benar-benar garing. Memang, aku tidak mahir Bahasa Inggris, tapi mau bagaimana lagi? Bukannya semakin memahami, aku justru semakin mengantuk dibuatnya. Ku letakkan kepalaku di atas meja tidak mampu lagi menahannya ingin jatuh. Dan tanpa ku sadari suasana kelas pun telah mengabur dari mataku.
"Rafa Afifah." Sebuah suara mereflek otakku melihat pintu kelas. "Ada titipan dari ibu," kata Pak Wiji, satpam sekolahku. Aku pun segera menghampirinya dan menerima apa yang seharusnya ku terima: uang saku. Tapi ternyata tidak hanya itu, ada sepucuk surat terlampir di sana. Ku buka surat itu perlahan.
Untuk Rafa,
Rafa, maafkan ibu karena terlalu keras padamu. Ini uang sakumu. Kau pasti lupa membawanya. Oh iya, ibu mau pergi. Nanti jaga rumah, ya! Jangan lupa masukkan ayam ke kandang.
Aku hanya mendesah. Lagi-lagi harus jaga rumah. Ah, dari pada di rumah sendiri, lebih baik aku ikut Sisan saja! Minggu lalu kan aku tidak hadir. Tidak etis kan kalau minggu ini tidak ikut lagi?
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," buka Ana yang menjadi MC Sisan kali ini, "Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah, karena atas rahmat dan hidayahNya kita dapat bertemu dalam acara Sisan kali ini…"
Setelah acara dibuka, saatnya membaca ayat suci Alquran. Berputar ke kanan sampai semua anak mendapat giliran membaca. Ada yang dengan mudah melafalkan ayat, ada pula yang masih tertatih-tatih membacanya. Setelah tilawah masuklah ke acara inti. Untuk Sisan kali ini yang dibahas adalah tentang birrul walidain atau berbakti kepada orangtua.
"Seperti yang terdapat dalam surat Al Ahqof ayat 15, bahwa kita harus berbuat baik kepada kedua orangtua kita. Ibu kita telah mengandung, menyusui, dan menyapih kita dengan susah payah," jelas mentor Sisan. "Kita tidak boleh menyakiti ibu kita. Kita tidak boleh membentak, bahkan hanya dengan berkata 'ah' saja kita tidak diperkenankan."
Jleb, dalam sekali kata-kata itu menusuk hatiku.
"Ya Allah, ampunilah dosa hambaMu ini," batinku. Entah mengapa aku menjadi tidak tenang. Aku teringat pada Ibu. Terlebih lagi ketika mentor Sisan mengatakan untuk meminta maaf pada ibu kita sebelum terlambat. Merinding tubuhku seperti tersetrum oleh listrik. Kepanikan menggelayutiku tanpa alasan hingga akhirnya Sisan selesai. Aku dan yang lainnya pun beranjak pulang.
Ku kayuh sepeda biruku kembali ke asalnya dan ketika hampir sampai di tikungan terakhir, aku merasa suatu sensasi yang aneh. Jantungku serasa berdegup lebih keras. Ada apa ini? Kenapa sedari tadi aku merasa tidak nyaman? Dari posisiku saat ini aku bisa melihat halaman rumahku. Sepertinya rumah kedatangan banyak tamu. Tapi, bukankah ayah dan ibu sedang pergi? Oh, mungkin saja mereka sudah pulang. Yap, aku pun lega tidak harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Namun, setelah ku amati dari jarakku yang semakin dekat, aku mulai melihat ada yang janggal. Ternyata jumlah tamu yang datang lebih banyak dari yang ku kira sebelumnya.
Seseorang menghampiriku yang telah turun dari sepeda. Ternyata Paman Dika. Ku perhatikan air wajahnya tersirat kesedihan yang membawa angin ngeri pada tubuhku. "Ada apa Paman?" tanyaku ragu.
"Ibumu…"
Apa? Tidak mungkin! Aku benar-benar tidak percaya akan kata-kata Paman. Tidak sebelum ku buktikan sendiri. Ku biarkan sepedaku terjatuh begitu saja. Tanpa benar-benar diperintah, kakiku melangkah lebih cepat. Hatiku benar-benar tidak keruan. Tidak mungkin Ibu telah pergi. Tidak mungkin Ibu tega meninggalkanku. Tidak mungkin!
"Fa, Rafa!" Ku dengar suara seseorang yang sangat akrab. "Bangun, Fa! Pak Jono sudah keluar. Tidur saja pekerjaanmu." Seseorang mengguncangkan tubuhku dan mataku pun terbuka. Sekolah? Kenapa aku ada di sekolah?
"Fa, kenapa kamu menangis?" tanya Nysa menyadarkanku. Aku pun menceritakan semua yang hadir dalam mimpiku. Aku tidak menyangka masih bisa mengingat detil mimpi singkat tadi. Kejadiannya terasa sangat nyata hingga membuatku sedikit tidak nyaman.
"Itu kan cuma mim…" kata-kata Nysa terhenti ketika seseorang memanggil namaku. Pak Wiji! Jantungku langsung memompa darah lebih cepat. Ku lihat kepanikan yang sama pada Nysa. Aku tahu dia memikirkan hal yang sama sepertiku.
Ku beranikan diri menghampiri Pak Wiji dan benar-benar seperti mimpi! Aku menerima amplop yang sama! Aku pun segera kembali ke dekat Nysa dan membuka amplop itu. Tubuhku serasa beku ketika membaca tulisan di dalamnya. Ya Allah, apakah ibuku benar-benar akan pergi? Tapi surat ini sedikit berbeda dari yang ada dalam mimpiku. Di sini dituliskan kemana ibu akan pergi dan baru akan pergi pukul 15.00 WIB nanti. Ibu tahu aku ada Sisan hari ini.
Meski Nysa sudah menenangkanku, tapi hatiku tetap tidak mau diam. Aku benar-benar resah dan ingin secepatnya pulang. Aku tidak mau terlambat…
Tett, tettt, teeettt… Bel pulang berbunyi. Aku pun meminta izin untuk tidak ikut Sisan hari ini. Tanpa basa-basi ku sambar sepedaku dan ku kayuh sekuat tenaga. Aku tidak peduli orang-orang menatapku curiga. Yang terpenting saat ini adalah bertemu dengan dia, Ibu.
"Assalamu'alaikum!" Ku ucapkan salam sesampainya di depan rumah. "Wa'alaikusa…lam" Ku peluk ibuku erat-erat. "Kamu kenapa, Fa?" tanya Ibu tampak bingung.
"Bu, maafkan Rafa, Bu. Rafa benar-benar khilaf. Rafa menyesal atas perbuatan Rafa," kataku yang tidak dapat lagi membendung air mata. "Ibu sudah memaafkanmu, nak. Ibu juga minta maaf, ibu tidak bermaksud memarahimu, Fa. Ibu hanya ingin kau menjadi anak yang lebih baik."
Ibu kembali memelukku erat dan mengecupku beberapa kali. Begitu juga aku yang tidak ingin melepaskan kehangatan ini. Aku benar-benar menyesal. Sudah lama aku sadar kata-kata ibu itu, tapi baru kali ini hatiku benar-benar menerimanya. Aku berjanji untuk mengubah sikapku. Aku akan menjadi Rafa yang lebih baik lagi. Aku tidak akan mengecewakan kesempatan yang telah Allah berikan padaku. Ya Allah bimbinglah selalu hamba-Mu ini… [Oupe / Kebumen]
Padahal sebenarnya aku sengaja pulang cepat karena ingin tidur siang. Soalnya nanti malam akan menjadi Sistem Kebut Semalam (SKS) ke empat di minggu ini. Ya, tidak dipungkiri lagi, sebagai siswa di SMA favorit se-Kebumen, tentunya tidak ada waktu untuk santai-santai. Kalau tidak tugas, ya, ulangan harian. Begitu seterusnya hingga membuatku merasa rumah hanya warteg yang ku singgahi ketika lapar saja. Wajar bukan ketika tidak ada acara di sekolah aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur?
"Nanti, bu!" jawabku tanpa berniat melalaikan tugas membantu orangtua. Ya, memang benar aku akan mengerjakan apa yang ibu suruh padaku. Tapi nanti! Saat ini bagiku yang terpenting adalah 'tidur'.
Aku merogoh saku rok mengambil sebuah benda bernamakan HP. Aku menyetel alarm di HP jadul pemberian kakakku. Ku keraskan volumenya hingga mencapai tingkat 'keras'. Lalu ku letakkan HP itu di bantal sebelah kanan telingaku. Seperti biasa, ku peluk guling kesayanganku dan ku letakkan satu bantal menutupi sebagian mukaku –kebiasaan aneh sejak kecil.
Di antara pandangan yang gelap, aku memikirkan urutan-urutan yang akan ku lakukan ketika bangun nanti. Selain itu aku juga menerka-nerka mau mulai dari mana dulu aku belajar. Sialnya besok ada dua mata pelajaran yang diujikan, kimia dan sejarah. Heh, benar-benar butuh tenaga ekstra malam ini….
"Rafa!!! Belum ganti baju langsung tidur! Mandi dulu! Salat juga belum!" Suara itu benar-benar menggangguku. Bagaimana tidak? Belum juga aku merasakan tenangnya alam mimpi, teriakan-teriakan telah memekakan telingaku. "Kamu itu sudah besar, harusnya sudah bisa ngatur diri sendiri. Ibu itu malu harus selalu berteriak-teriak setiap hari." Lebay, siapa suruh bentak-bentak. "Ibu tahu kamu capek." Memang. "Tapi tolonglah hargai sedikit usaha ibu di rumah. Bantu-bantu sedikitlah. Apa susahnya, sih, cuci piring?" Ya, tadinya begitu, tapi mood menolongku menghilang. "Rafa!!! Kau tidak dengar atau pura-pura tidak dengar." Pura-pura tidak dengar.
"Ya, ya, ya!" sahutku kasar sambil membanting bantal yang sebelumnya ku gunakan untuk menutupi kepala. Aku tak tahan lagi mendengar ocehannya. Dengan sengaja aku membanting-bantingkan setiap benda yang ku pegang. Dan tentu saja, pikiranku melayang-layang menghindari ceramah-ceramah yang berebut menyerbu gendang telingaku. Hal yang sudah menjadi kebiasaanku. Toh yang akan kudengar hanya kata-kata yang sama. Bosan!
Keesokan harinya…
"Rafa!!! Sudah jam berapa ini??? Kamu tidak mau sekolah apa?? Kalau iya lebih baik tidak usah sekolah lagi saja. Sudah dicarikan biaya ke sana ke mari, kamu malah santai-santai. Kalau seperti ini terus, Ibu tidak mau lagi mengurusimu. Ibu lelah!"
Okelah… Whatever… Ku siapkan perlengkapan sekolah terburu-buru. Aku memang ingin cepat pergi. Kalau ibu tidak mau mengurusiku lagi, it's oke! Aku bisa menata diriku sendiri. Makanan di meja ku lewati begitu saja. Sebenarnya lapar juga sih, tapi gengsi dong. Langsung ku keluarkan sepeda biruku dan ku kayuh sebisa mungkin untuk melesat secepatnya. Inilah aku, selalu lari dari masalah.
"Kenapa mukamu seperti itu, Fa?" tanya Nysa sesampainya aku di kelas.
"Au, ah, gelap," sahutku cemberut.
Kepalaku mulai mengangguk-angguk seperti ayam kalkun. Terang saja. Tanpa tidur siang, menjalankan rencana SKS itu sangat menyiksa. Selain tidak konsentrasi, sulit juga memahami tulisan yang dibaca. Aku juga dipastikan akan mengantuk keesokan harinya. Yah, seperti saat ini. Terlebih lagi materi Bahasa Inggris yang benar-benar garing. Memang, aku tidak mahir Bahasa Inggris, tapi mau bagaimana lagi? Bukannya semakin memahami, aku justru semakin mengantuk dibuatnya. Ku letakkan kepalaku di atas meja tidak mampu lagi menahannya ingin jatuh. Dan tanpa ku sadari suasana kelas pun telah mengabur dari mataku.
"Rafa Afifah." Sebuah suara mereflek otakku melihat pintu kelas. "Ada titipan dari ibu," kata Pak Wiji, satpam sekolahku. Aku pun segera menghampirinya dan menerima apa yang seharusnya ku terima: uang saku. Tapi ternyata tidak hanya itu, ada sepucuk surat terlampir di sana. Ku buka surat itu perlahan.
Untuk Rafa,
Rafa, maafkan ibu karena terlalu keras padamu. Ini uang sakumu. Kau pasti lupa membawanya. Oh iya, ibu mau pergi. Nanti jaga rumah, ya! Jangan lupa masukkan ayam ke kandang.
Aku hanya mendesah. Lagi-lagi harus jaga rumah. Ah, dari pada di rumah sendiri, lebih baik aku ikut Sisan saja! Minggu lalu kan aku tidak hadir. Tidak etis kan kalau minggu ini tidak ikut lagi?
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," buka Ana yang menjadi MC Sisan kali ini, "Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah, karena atas rahmat dan hidayahNya kita dapat bertemu dalam acara Sisan kali ini…"
Setelah acara dibuka, saatnya membaca ayat suci Alquran. Berputar ke kanan sampai semua anak mendapat giliran membaca. Ada yang dengan mudah melafalkan ayat, ada pula yang masih tertatih-tatih membacanya. Setelah tilawah masuklah ke acara inti. Untuk Sisan kali ini yang dibahas adalah tentang birrul walidain atau berbakti kepada orangtua.
"Seperti yang terdapat dalam surat Al Ahqof ayat 15, bahwa kita harus berbuat baik kepada kedua orangtua kita. Ibu kita telah mengandung, menyusui, dan menyapih kita dengan susah payah," jelas mentor Sisan. "Kita tidak boleh menyakiti ibu kita. Kita tidak boleh membentak, bahkan hanya dengan berkata 'ah' saja kita tidak diperkenankan."
Jleb, dalam sekali kata-kata itu menusuk hatiku.
"Ya Allah, ampunilah dosa hambaMu ini," batinku. Entah mengapa aku menjadi tidak tenang. Aku teringat pada Ibu. Terlebih lagi ketika mentor Sisan mengatakan untuk meminta maaf pada ibu kita sebelum terlambat. Merinding tubuhku seperti tersetrum oleh listrik. Kepanikan menggelayutiku tanpa alasan hingga akhirnya Sisan selesai. Aku dan yang lainnya pun beranjak pulang.
Ku kayuh sepeda biruku kembali ke asalnya dan ketika hampir sampai di tikungan terakhir, aku merasa suatu sensasi yang aneh. Jantungku serasa berdegup lebih keras. Ada apa ini? Kenapa sedari tadi aku merasa tidak nyaman? Dari posisiku saat ini aku bisa melihat halaman rumahku. Sepertinya rumah kedatangan banyak tamu. Tapi, bukankah ayah dan ibu sedang pergi? Oh, mungkin saja mereka sudah pulang. Yap, aku pun lega tidak harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Namun, setelah ku amati dari jarakku yang semakin dekat, aku mulai melihat ada yang janggal. Ternyata jumlah tamu yang datang lebih banyak dari yang ku kira sebelumnya.
Seseorang menghampiriku yang telah turun dari sepeda. Ternyata Paman Dika. Ku perhatikan air wajahnya tersirat kesedihan yang membawa angin ngeri pada tubuhku. "Ada apa Paman?" tanyaku ragu.
"Ibumu…"
Apa? Tidak mungkin! Aku benar-benar tidak percaya akan kata-kata Paman. Tidak sebelum ku buktikan sendiri. Ku biarkan sepedaku terjatuh begitu saja. Tanpa benar-benar diperintah, kakiku melangkah lebih cepat. Hatiku benar-benar tidak keruan. Tidak mungkin Ibu telah pergi. Tidak mungkin Ibu tega meninggalkanku. Tidak mungkin!
"Fa, Rafa!" Ku dengar suara seseorang yang sangat akrab. "Bangun, Fa! Pak Jono sudah keluar. Tidur saja pekerjaanmu." Seseorang mengguncangkan tubuhku dan mataku pun terbuka. Sekolah? Kenapa aku ada di sekolah?
"Fa, kenapa kamu menangis?" tanya Nysa menyadarkanku. Aku pun menceritakan semua yang hadir dalam mimpiku. Aku tidak menyangka masih bisa mengingat detil mimpi singkat tadi. Kejadiannya terasa sangat nyata hingga membuatku sedikit tidak nyaman.
"Itu kan cuma mim…" kata-kata Nysa terhenti ketika seseorang memanggil namaku. Pak Wiji! Jantungku langsung memompa darah lebih cepat. Ku lihat kepanikan yang sama pada Nysa. Aku tahu dia memikirkan hal yang sama sepertiku.
Ku beranikan diri menghampiri Pak Wiji dan benar-benar seperti mimpi! Aku menerima amplop yang sama! Aku pun segera kembali ke dekat Nysa dan membuka amplop itu. Tubuhku serasa beku ketika membaca tulisan di dalamnya. Ya Allah, apakah ibuku benar-benar akan pergi? Tapi surat ini sedikit berbeda dari yang ada dalam mimpiku. Di sini dituliskan kemana ibu akan pergi dan baru akan pergi pukul 15.00 WIB nanti. Ibu tahu aku ada Sisan hari ini.
Meski Nysa sudah menenangkanku, tapi hatiku tetap tidak mau diam. Aku benar-benar resah dan ingin secepatnya pulang. Aku tidak mau terlambat…
Tett, tettt, teeettt… Bel pulang berbunyi. Aku pun meminta izin untuk tidak ikut Sisan hari ini. Tanpa basa-basi ku sambar sepedaku dan ku kayuh sekuat tenaga. Aku tidak peduli orang-orang menatapku curiga. Yang terpenting saat ini adalah bertemu dengan dia, Ibu.
"Assalamu'alaikum!" Ku ucapkan salam sesampainya di depan rumah. "Wa'alaikusa…lam" Ku peluk ibuku erat-erat. "Kamu kenapa, Fa?" tanya Ibu tampak bingung.
"Bu, maafkan Rafa, Bu. Rafa benar-benar khilaf. Rafa menyesal atas perbuatan Rafa," kataku yang tidak dapat lagi membendung air mata. "Ibu sudah memaafkanmu, nak. Ibu juga minta maaf, ibu tidak bermaksud memarahimu, Fa. Ibu hanya ingin kau menjadi anak yang lebih baik."
Ibu kembali memelukku erat dan mengecupku beberapa kali. Begitu juga aku yang tidak ingin melepaskan kehangatan ini. Aku benar-benar menyesal. Sudah lama aku sadar kata-kata ibu itu, tapi baru kali ini hatiku benar-benar menerimanya. Aku berjanji untuk mengubah sikapku. Aku akan menjadi Rafa yang lebih baik lagi. Aku tidak akan mengecewakan kesempatan yang telah Allah berikan padaku. Ya Allah bimbinglah selalu hamba-Mu ini… [Oupe / Kebumen]
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.