Orang sungguh-sungguh melihat mereka bahagia. Rumah yang besar, kantor yang mentereng. Mobil lebih dari satu yang mengantar keluarga mereka dan tamu-tamunya kemanapun hendak pergi. Cukup menjadi ukuran bahwa hidup keluarga mereka berlebihan. Setiap hari, rumahnya tidak pernah sepi dari tamu yang mengunjungi dan bersilaturahmi. Tempat tinggalnya seperti restoran yang selalu memasak dan menyediakan makan untuk siapapun yang berkunjung. Para handaitaulan maupun orang yang baru kenal yang kemudian menjadi akrab dan menginap di kediamannya.
Setiap hari, ada saja orang yang datang untuk meminjam uang. Untuk beli motor, bayar kredit rumah, membayar sekolah anak, membangun rumah, bahkan untuk berhaji, sambil membawa sertifikat rumah dan BPKP motor atau mobil, mereka meminta dibantu untuk berziarah ke makam Nabi Muhamad.
Fatima melakukan sebisanya untuk membantu mereka. Sanak saudara jauh, sanak saudara dekat, keponakan, teman, kakak dan tetangga, semuanya datang dengan berbagai tujuan. Setiap hari berdering telepon meminta zakat untuk sekian santri, proposal tanah wakaf untuk pesantren dan anak yatim piatu dengan jumlah yang lebih dari sekian ratus, bahkan ribuan, entah benar atau tidak jumlah tersebut, Fatima selalu berusaha memberi.
Tapi dua tahun ini, hidupnya berubah, Fatima bercerai dengan suaminya dan hidup sendirian bersama ketiga anaknya. Semua harta bendanya entah berada di mana, mobil dibawa siapa, motor ada dimana, tabungannya tinggal berapa, bagaimana usahanya, dia tidak hirau sama sekali. Memulai hidup sederhana, meninggalkan apa yang pernah menjadi bagian hidup dirinya dan anak-anaknya menjadikan rumahnya sungguh-sungguh sepi. Tiada lagi sanak saudara yang berkunjung. Yang mengaku teman semuanya pergi, dering telepon mengirim doa untuk meminta zakat dan shodaqoh menghilang.
Semua senyap dan sunyi. Hanya ada satu pembantu yang setia menemaninya. Tapi tidak lama kemudian, pembantunyapun meninggal tanpa sakit. Fatima sendirian. Apa yang terjadi pada keluarga Fatima menjadi pembicaraan begitu banyak orang. Tapi Fatima tidak perduli. Dia memulai hidup baru, bekerja untuk dirinya dan anak-anaknya. Dia tidak menyesali apa yang telah dilakukannya pada dirinya sendiri. Bisa makan dan berkumpul dengan anak-anaknya lebih indah dari apapun benda mewah yang diinginkan di dunia ini.
Beradaptasi dengan kekurangan dan ketidakmapanan membuatnya semakin menyadari bahwa hidup terlalu berharga untuk dilalui dalam kenangan. Menggantungkan hidup pada orang lain, tidak pernah dia lakukan.
Satu yang tidak pernah dilupakan oleh Fatima saat dulu ataupun sekarang, dia selalu menyediakan waktu untuk sekedar menyapa dan berbincang dengan tumbuhan yang ada di pekarangan rumahnya. Dia menanam tanaman yang berbunga ataupun tidak.
Baginya melihat warna hijau dedaun, membuatnya tentram dan memberinya semangat untuk hidup. Dari pohon dan tanamanlah dia belajar bersabar, belajar tumbuh dan berkembang. Fatimah menganggap tanaman adalah makhluk yang paling kuat dan sabar menjalani hidup. Selalu tumbuh keatas. Saat kering bertahan, kala hujan menyimpan bekal, jika berbuah, dia memberikannya pada siapa saja yang ingin mengambil dan menikmatinya.
"Piye to, orang kok geblek kayak begitu, daripada merawat tumbuhan yang tidak memberi hasil yang jelas. Berbuahpun tidak, memberi kembangpun tidak, mendingan kerja, menjahit, ato kerja yang lain yang menghasilkan uang. Lihat itu dirumahnya, Cuma daun-daun hijau, nambah rungkut dan medheni. Kita kalo lewat depan rumahnya malam-malam jadi merinding".
Jangan mengucapkan sesuatu jika mendengar perkataan orang yang tidak tahu apa yang dia katakan, tersenyumlah, begitu Fatima mengajarkan pada anak-anaknya. Buat orang-orang tertentu menjahit lebih berarti daripada menanam pohon dan merawatnya. Setiap orang punya pendapat dan pandangan yang berbeda, tapi apa perlunya untuk Fatima, hirau terhadap mereka. Dia punya kehidupan yang diyakininya indah. Tidak ada orang lain yang memiliki hidup serupa dengan dia. Dia memang tidak pernah mencari pekerjaan, tetapi pekerjaanlah yang didatangkan padanya.
Pun sekarang ini, pada saat lebaran. Fatima tidak memegang uang sama sekali. Tidak ada simpanan makanan dirumah. Uang terakhir sudah dibelanjakan untuk hari kemarin. Honor pekerjaan dua bulan yang lalu masih dihutang, belum dibayarkan padanya. Untuk memintanyapun dia segan.Tadi anaknya yang terkecil umur 12 tahun berkata padanya,
"Bunda, kita makan apa hari ini? Kita tidak kemana-mana lebaran ini Bunda," suara anaknya yang lirih, seperti kapak tajam yang memecah batu di dadanya. Anaknya mendekati Fatima, memegang tangan ibundanya lalu duduk disampingnya. Fatima menyadari sudah terlalu jauh mengajak anak-anaknya menjadi dewasa, dipaksa untuk memahami keadaan yang selayaknya tidak mereka alami. Fatima memeluk anaknya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
"Kita akan makan sayang, bersabarlah." "Hore! Kita makan! Bunda punya uang. Bunda punya uang!" wajah anaknya sumringah sambil melompat-lompat dan berteriak-teriak memberitahukan kedua kakaknya.
"Bunda punya uang. Kita akan makan! Kita akan makan!"
Bibir Fatima gemetar. Jari-jarinya semakin cepat bergerak. Pipinya basah. Dua tahun ini, Fatima belajar untuk menikmati segala hal sendirian. Pahit dan manisnya. Melibatkan orang lain dalam hidupnya, terlalu banyak membebani. Meskipun hanya berkunjung, dicurigai untuk meminjam uang. Jika datang ke rumah orang yang dulu sering datang ke rumahnya dikira menagih utang, lalu mereka memilih sembunyi dan tidak mau menerimanya.
Dan mengatakan sedang tidak ada di rumah. Tapi Fatima percaya, dia selalu memberi kebaikan bagi orang lain, bukankah kalau menanam kebaikan, akan diberi kebaikan. Maka dia tidak pernah lagi melibatkan orang lain dalam hidupnya. Dia hanya bersama anak-anaknya. Tidak pernah keluar mencari pekerjaan, dia menggantungkan semua kepada pemilik hidup dirinya dan anak-anaknya. Kalau dia lapar, dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya pekerjaan.
Sekarangpun dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya makan. Tidak sepeserpun Fatima memegang uang. Darimana dia mendapat uang? Sekarang sedang lebaran, Siapa yang mau memberi pekerjaan padanya, semuanya sibuk dengan pesta pora. Meminta kepada tetangga dan orang lain, tidak akan mau Fatima melakukannya. Gema takbir terdengar dari segala penjuru.
Anak-anaknyapun bersama-sama membaca takbir sambil berharap ibundanya segera membawakan mereka makanan. Tubuh Fatima menggigil. Tapi bibirnya terkatup rapat. Derai airmatanya tidak berhenti sejak anaknya kegirangan mendengarnya menjanjikan makanan. Dia membuka pintu dan berjalan ke pekarangan rumah. Meskipun malam, dia melangkah. Dalam diam. Dalam diam. Jari-jari tangannya tetap bergerak. Lalu dia menghentikan langkahnya karena melihat semburat cahaya dalam gelap.
Dengan wajah yang tidak berubah, tanpa terkejut, tanpa takut, Fatima berjalan mendekat, dia melihat cahaya yang bundar menggantung di dahan. Tangannya masih bergerak seakan menghitung nafas, seakan menghitung satu persatu deguban jantungnya.
Tapi tangannya tidak gemetar. Dia hanya diam, terpaku. Tak terasa airmata jatuh di pipinya, dia memandang cahaya itu, tanpa berkedip, tapi airmatanya bagai embun menyentuh daun, menyentuh tanah, seperti hujan, dia mengigil. Bibirnya gemetar, dia mengulurkan kedua tangannya lalu meraih cahaya itu dengan cepat, lalu mendekapkannya di dada dan berbalik memasuki rumah. Dia membiarkan pintu rumahnya terbuka, duduk dan membuka tangannya. Dia tidak terkejut saat melihat buah delima yang berwarna merah sebesar kepalan memancarkan cahaya ditangannya, bibirnya masih gemetar dan dia berbisik perlahan. Dia mengucapkan sesuatu, begitu lirihnya sehingga anginpun tidak akan bisa menajamkan telinganya untuk mendengar kata-katanya. Airmatanya tumpah. (*v*)
[Mobile Upload by: Chen Mei Ing]