Boleh jadi itu Minggu pagi yang mencerahkan hati gadis kecil itu, tapi tidak bagi seorang perempuan muda bercelana jins dan berkaos oblong yang sedang berjalan di side-walk perumahan yang dinaungi rindangnya jajaran pohon palem putri. Di bahunya melintang tali travelling-bag terbuat dari kain hitam. Perempuan muda itu terlihat bimbang beberapa saat mengamati situasi perumahan, mencermati rumah per rumah dan sesekali menatap secarik kertas di tangannya, seperti memastikan ia tidak berada di tempat yang salah.
Ia merasa asing dan tak tahu apa yang harus dilakukan selain berjalan dan berhenti untuk mengamati sekelilingnya, berjalan lagi dan berhenti lagi. Dan itulah sebabnya pemandangan gadis kecil bersepeda itu menjadi hal yang menarik. Setidaknya ada pemandangan untuk menyenangkan hati. Sejenak ia berusaha turut menikmati keriangan khas anak-anak gadis kecil itu.
Dan agaknya ada yang perlu diperhatikan lebih banyak. Pintu gerbang besi bertuliskan ‘Awas Anjing Galak’ itu tiba-tiba terbuka persis saat gadis kecil bersepeda melintasinya. Seekor anjing herder muncul dari gerbang besi itu dan bergerak cepat, menggonggong dan mendapatkan mangsa yang sempurna untuk dikejar.
Mendengar gonggong seram anjing itu, si gadis kecil itu menoleh. Moncong anjing galak tak jauh menganga di belakangnya. Ketakutan, ia mengayuh sepeda lebih kencang. Teror anjing itu membuat laju sepedanya tiba-tiba tidak lagi terkontrol. Ia melaju ke ke sisi kanan berusaha menjauh dari kejaran anjing. Saat itu juga sebuah mobil bergerak dari tikungan. Gadis kecil itu tersentak, ia membelokkan sepeda lebih ke kanan lagi. Sepeda melaju terus, menerjang batu paving pembatas jalan. Gadis kecil itu jatuh bergulung di rerumputan sebelum menggelinding masuk ke selokan.
Perempuan muda itu cepat bergerak. Ia mengambil sebongkah batu dan berusaha menakuti anjing yang tetap mengejarnya. Berhasil, sang anjing berhenti mengejar dan berbalik, tepat saat pemilik anjing berlari-lari dengan tali pengikat mengejar anjing lepas itu. Si pemilik anjing, tak menghiraukan si anak kecil yang kini tergelincir ke selokan, lebih suka mengelus anjing dan memarahi binatang itu karena telah nakal mengejar anak kecil.
Perempuan muda itu menghampiri gadis kecil yang menangis hebat dengan luka di dahi dan lututnya. Gadis kecil itu terkapar di dasar selokan. Seluruh pakaiannya berlumur air selokan berwarna keruh. Perempuan muda itu melepas tas bawaannya dan menolong gadis kecil keluar dari selokan. Gadis kecil itu terus menangis.
“Sini kakak bantu. Sakit ya?” tanya perempuan itu, sambil membersihkan wajah si gadis kecil dari noda-noda air selokan dengan jari-jarinya. Si gadis kecil hanya bisa mengangguk-angguk.
“Di mana rumahmu?” tanya perempuan muda itu.
“ Di Blok FF, nomor 51,” gadis kecil itu masih tersedu, menahan sakit.
“Mau kakak antar?” tanya perempuan muda itu. Gadis kecil mengangguk. “Kamu bisa jalan, kan?”
“Nggak bisa, sakit,” gadis kecil itu melolong.
“Baik, kakak akan gendong kamu. Sini, naiklah ke punggung kakak,” perempuan muda itu berjongkok menggendong si gadis kecil. Pada saat itu, lewat Satpam perumahan.
“Ada apa, neng?” tegur Satpam.
“Anak ini bersepeda dikejar anjing dari rumah itu, jatuh ke selokan. Saya akan mengantarnya pulang. Pak Satpam bisa bawakan sepeda dan tas saya? Rumahnya di Blok FF no 51”
“Baik, Neng!”
Si gadis kecil masih terus menangis di gendongan perempuan muda itu. Kini kotoran di pakaian gadis kecil berpindah pula ke pakaian perempuan muda itu.
“Kamu jangan menangis terus. Kamu ‘kan sudah besar,” bujuk perempuan muda itu, mengikuti Satpam menuju ke Blok FF. Gadis kecil itu masih terisak-isak.
“Namamu siapa?” tanya perempuan muda itu.
“Prisma!” jawab gadis kecil di tengah isaknya.
“Kamu kelas berapa?”
“Kelas tiga”
“Kelas tiga? Makanya kamu berat sekali,” perempuan itu tersenyum. “Nah, berhentilah menangis. Begitu sampai rumah, kamu mandi dan lukamu diobati, ya?”
Sepuluh menit kemudian mereka sampai di Blok FF no 51. Satpam memencet bel pintu. Beberapa saat kemudian, seorang pembantu setengah baya muncul dari balik gerbang.
“Lho, Prisma kenapa?” kaget pembantu itu melihat tuan kecilnya mendapat luka-luka, dilanjutkan dengan pandangan curiga ke arah perempuan muda itu.
“Jatuh dari sepeda, Bi. Dikejar anjing!” jelas perempuan muda itu. Satpam membantu memasukkan sepeda dan tas perempuan muda itu dan siap pamitan pulang.
“Aduh! Papa bisa marah nanti. Cepat, Mbak, tolong bawa ke kamar mandi. Lewat sini,” bibi pembantu itu menunjukkan jalan lewat garasi mobil.
“Memangnya Papa kemana?” tanya bibi pembantu menanyai Prisma.
“Masih jogging, aku tadi pingin naik sepeda sendirian, aku tinggalkan Papa, nggak tahu di mana,” isak Prisma.
“Ini kamar mandinya, mbak,” Bibi menunjukkan kamar mandi. Perempuan muda itu menurunkan Prisma dan mengamati luka-lukanya.
“Bibi bisa tolong ambilkan kapas dan obat merah? Biar saya bantu dia mandi.” Perempuan muda itu membantu Prisma melepas pakaiannya dengan hati-hati, takut bagian pakaian menyentuh luka-lukanya.
Beberapa saat kemudian Bibi datang dengan kapas dan obat merah, handuk dan pakaian bersih. Perempuan muda itu mulai mengguyur gadis kecil itu, membersihkan badan dan luka-luka di tubuh Prisma dan mengolesnya dengan obat merah. Semuanya dilakukan dengan sabar dan telaten. Bibi bisa melihat betapa halus dan lembutnya sentuhan perempuan muda itu. Ia juga bisa melihat bagaimana perempuan muda itu menghibur Prisma ketika ia mulai melolong-lolong manakala lukanya tersentuh obat merah.
“Pris nggak perlu teriak-teriak gitu. Ini lecet-lecet biasa, semua orang pernah dapat yang beginian,” kata perempuan muda itu. Kata-kata itu membuat Prisma menurunkan sedikit volume suaranya.
“Nah, sudah selesai. Sekarang kamu minum, biar kagetnya hilang,” kata perempuan muda itu. Bibi meraih gelas dan menadah air dari dispenser di sebelahnya.
“Lain kali, hati-hati kalau lewat depan rumah yang punya anjing galak itu, ya?” kata perempuan muda itu. Prisma cuma bisa mengangguk.
“Lagian,” Bi ikut nyeletuk, “Non Prisma harus berakit rakit ke hulu berenang-renang ke tepian”
Perempuan itu mengernyitkan dahi. Mencari hubungan situasi dengan peribahasa si bibi.
“Maksudnya, Bi?” perempuan itu tergoda bertanya.
“Maksudnya, ya pelan-pelan kalau naik sepeda,” kata Bibi.
“Jangan dihiraukan peribahasa Bibi, Mbak. Bibi selalu bikin peribahasa nggak nyambung,” kata Prisma meringis. Perempuan itu tersenyum maklum.
“Saya pamit dulu, Bi,” perempuan muda itu beranjak setelah menepuk-nepuk pipi Prisma. “Ingat, anak cantik nggak boleh cengeng. Sekarang kamu sudah bisa jalan lagi, kan? Nah, kamu duduk di situ, istirahat. Senyum dong biar nggak hilang cantiknya”
Prisma menyunggingkan senyum kecil di antara seringai menahan sakit. Bibi mengantar perempuan muda itu ke depan. Perempuan muda itu meraih tasnya.
“Mari, ya, Bi. Suruh Prisma istirahat dulu, kalau kakinya masih sakit, minta papanya periksakan ke dokter”
“Terimakasih, Mbak!” kata Bibi, “eh, sebentar, Mbak ini siapa?” tanya bibi.
“Saya tadi kebetulan lewat, Bi. Saya permisi dulu, ya”
“Baik Mbak, kalau ada sumur di ladang bolehlah kita menumpang mandi. Kalau ada umur panjang boleh kita berjumpa lagi,” ujar Bibi, kali ini memakai pantun, dan untungnya, nyambung. Perempuan itu sekali lagi menyungging senyum manis mendapat hiburan kecil yang segar dari si bibi.
Perempuan muda itu berjalan lagi menyusuri jalan di Minggu pagi yang sepi. Matahari menerobos pepohonan menghantarkan sinar yang hangat. Kini ia baru sadar betapa menyengat bau busuk kotoran selokan di kaos dan celananya jinsnya. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana tampangnya saat ini dengan pakaian yang belepotan kotoran. Yang jelas, pasti kelihatan aneh. Buktinya, seorang lelaki dengan setelan pakaian jogging di hadapannya sempat menatap sekilas ke arahnya.
Lelaki itu, seorang pria ganteng, berumur di atas tigapuluhan, menoleh kembali tepat pada saat perempuan muda itu menoleh padanya, dan kemudian perempuan muda itu bisa menyimpulkan ia pasti ayah Prisma karena lelaki itu kemudian dilihatnya berbelok masuk ke rumah Prisma.
“Bibi, Prisma sudah pulang?” tanya lelaki itu begitu masuk rumah.
“Sudah, Pak. Ia jatuh ke selokan setelah dikejar anjing,” lapor Bibi.
“Kok, bisa sih? Dia nggak apa-apa, kan?” ayah Prisma menjadi cemas.
“Harusnya sih anjing menggonggong kafilah berlalu,” sekali lagi Bibi memakai peribahasa ‘nggak nyambung. “Tapi anjing itu malah mengejar Non Prisma, jadinya ya luka-luka begini, Pak. Anjing di Blok AA itu memang galak, sih!” Yang punya anjing juga rada bodo, suka nggak tahu kalau anjingnya lepas!”
“Mana yang sakit, Pris? Astaga, lecetnya banyak sekali,” ayah Prisma memeriksa luka-luka itu.
“Tadi ia ditolong seorang perempuan, digendong sampai rumah,” kata Bibi.
“Perempuan? Siapa?”
“Nggak tahu, Pak. Ia baru saja pergi. Ia pakai celana biru dan kaos putih. Bajunya juga belepotan air selokan. Saya lupa nggak nyuruh dia membersihkan badan dulu. Takut kalau-kalau dia orang jahat”
“Sudah lama perginya?” tanya ayah Prisma.
“Barusan. Ndak lama sebelum bapak masuk tadi”
Ayah Prisma berpikir sejenak. “Pasti gadis yang kaosnya belepotan tadi. Saya lihat tadi dia di jalan”
“Ya, Pa. Cari dong kakak itu, suruh mampir. Kayaknya dia bukan orang sini. Dia bawa tas gede,” kata Prisma, “dan dia kelihatannya baik sekali”
“Kayaknya begitu. Jarang jaman sekarang ada orang mau ringan tangan menolong orang,” gumam ayah Prisma.
“Sekarang dong, Pa, nyarinya, aku mau kasih dia hadiah!” ujar Prisma.
“Oke, kamu nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa, cuma lecet-lecet kecil,” Prisma menirukan ucapan kakak yang baik hati itu.
Ayah Prisma mencari sepeda motor di garasi, dan mendorongnya keluar dari samping mobil BMW dan Kijang. Ia perlu berputar-putar beberapa blok sebelum ia menemukan sosok perempuan berkaos belepotan itu di Blok GG.
“Maaf, tadi mbak yang bantu Prisma, anak saya?” tanya ayah Prisma begitu berhenti di sebelah perempuan muda itu. Perempuan muda itu menoleh.
“Ya, betul, Pak!”
“Saya harus berterimakasih Mbak telah berbaik hati menolong Prisma. Begini, Prisma ingin Mbak kembali ke rumah kami untuk membersihkan diri. Saya ada kaos bersih yang bisa Mbak pakai”
“Terimakasih, tidak usahlah, Pak! Saya harus meneruskan perjalanan,” jawab perempuan muda itu.
“Ayolah, Mbak, sebentar saja. Prisma menunggu!” bujuk ayah Prisma. Ragu perempuan muda itu untuk segera mengiyakan.
“Mari, saya bonceng!’ kata ayah Prisma.
“Saya jalan saja ke rumah Bapak. Baju saya kotor dan bau,” kata perempuan itu setelah berpikir sejenak.
“Tidak apa-apa. Baju saya juga tidak bersih, bau keringat malah,” seloroh ayah Prisma.
Perempuan itu tersenyum, dan melangkah ke boncengan ayah Prisma. Tas besar dipangkunya.
***
“Yuk, silakan. Biar Bibi sediakan baju bersih!” kata ayah Prisma begitu mereka sampai di rumah.
“Papa nggak perlu siapkan kaos bersih. Aku punya kaos yang dikasih Om Alex itu. Ini kegedean buat aku. Biar dipakai Mbak ini, ya?” kata Prisma, mengacungkan sebuah kaos baru masih dalam bungkus plastik. Tampaknya Prisma menyiapkan kaos itu ketika ayahnya menjemput kakak baik hati itu. Perempuan itu kelihatan lega Prisma sudah bisa berjalan lagi.
“Silakan, Mbak!” Bibi membawakan handuk bersih.
“Terimakasih, harusnya nggak usah repot-repot. Saya tadi cuma kebetulan menolong Prisma”
“Nggak apa-apa. Kalau tidak ada Mbak ini, siapa lagi yang menolong. Jangan malu-malu!” bujuk ayah Prisma, mengangsurkan kaos itu.
Perempuan muda itu merasa tak enak menolak kebaikan keluarga ini. Ia meraih handuk dan kaos dan minta ijin menggunakan kamar mandi. Dua puluh menit kemudian perempuan itu tampil lebih segar dengan kaos bersih. Wajahnyapun kini terbebas dari kotoran dan keringat.
“Terimakasih. Sekarang saya pamit dulu,” kata perempuan itu.
“Eh, tunggu dulu. Ini ‘kan saat sarapan. Temani Prisma sarapan, ya?” kata Prisma. “Mbak pasti belum sarapan”
“Ah, nggak usah. Saya ….”
“Nggak apa-apa, Mbak. Silakan,” kata ayah Prisma. Prisma segera mengambil tempat duduk di meja makan dan menghela tangan perempuan itu. Bibi dengan cekatan menyiapkan makanan. Sementara ayah Prisma sendiri menghilang ke ruang lain.
“Nah, sekarang, saya sudah kenyang dan merasa segar kembali. Saya tidak akan merepotkan lagi. Saya pamit,” kata perempuan muda itu. Ayah Prisma kembali ke ruangan itu, segar setelah mandi pagi.
“Maaf, namanya siapa?” tanya ayah Prisma.
“Nama saya Sri”
“Mbak Sri bukan orang sini, kan?”
“Panggil saya Sri saja, Pak. Saya memang bukan orang sini. Saya dari Malang,” kata perempuan muda itu.
“Malang kan jauh banget dari Jakarta, Pa?” celetuk Prisma.
“Ya, jauh sekali, Pris. Perlu lebih dari dua belas jam naik kereta api Saya, sedang mencari pekerjaan,” perempuan muda itu menolah pada Prisma.
“Cari pekerjaan? Sri lulusan apa?” tanya ayah Prisma.
“SMA, Pak!”
“Nah, kebetulan ‘kan, Pak,” sela bibi, “Si Santi pembantu kita yang
satunya kan keluar, bagaimana kalau …..”
“Bibi, jaga mulutnya, ya! Sri ‘kan bukan cari pekerjaan seperti itu,” kata ayah Prisma.
“Saya mau kok jadi pembantu. Cuma itu yang saya bisa saat ini,” kata Sri. Giliran ayah Prisma yang tercengang.
“Betul?” tanya ayah Prisma.
“Ya, betul, Pak”
“Baiklah. Gaji tiga bulan pertama 800 ribu sebulan, bagaimana?”
“Saya mau, Pak!”
“Hore, mbak Sri kerja di sini,” teriak Prisma girang. “Kamarnya pakai bekas kamarnya Mbak Santi, ya?”
Bibi segera membantu Sri membawakan tas ke kamar persis di sebelah kamar Bibi. Sebuah kamar yang nyaman walau tak terlalu besar. Di atas pintu terpasang sebuah exhaust-fan. Sri langsung merasa betah di kamar itu. Prisma muncul di pintu kamar Sri.
“Mau Pris tunjukkan bagian-bagian rumah?” tawar Prisma.
“Mau sekali!”
Prisma langsung meraih tangan Sri dan memimpinnya masuk ke ruang dalam. Rupanya sudah lupa dia pada luka-luka di kaki yang sebelumnya membuat dia meringis terus.
Kagum sekali Sri melihat bagian-bagian rumah ini. Sebuah rumah cukup besar yang dibangun dengan selera tinggi dengan banyak ruang terbuka dan dinding-dinding berwarna pastel. Perabotnya tidak berkesan mewah tapi tampak amat elegan dengan berbagai macam koleksi tanaman hias indoors.
“Tahu kenapa Mbak Santi, pembantu kita yang dulu minta keluar?” tanya Prisma. “Dia kecapekan membersihkan rumah dan tanaman-tanaman ini. Mbak Sri suka tanaman?”
“Suka sekali. Tahu yang ini namanya apa?” Sri menunjuk sebuah tanaman di sudut.
“Kata Papa itu namanya Zamia. Lucu, ya? Kayak nama orang,” kata Prisma.
“Oh, ya. Mbak Sri kok nggak lihat mama kamu?” kata Sri.
“Mama lagi ke bisnis di Jogja. Sudah empat hari. Nggak tahu kapan balik ke Jakarta”
“Itu Mama kamu ya?” Sri menunjuk foto ukuran poster di dinding. Seorang perempuan cantik dengan senyum amat menawan dan mata indah.
“Ya, dan itu kakak,” tunjuk Prisma. “Namanya Devi. Kelas 2 SLTP,” jelas Prisma. “Wah, sama cantiknya kayak kamu,” kata Sri.
Prisma meringis. “Kata Kak Devi sih, dia lebih cantik. Kata Mama juga begitu”.
Sri tersenyum. Kelincahan bicara Prisma membuatnya terkesan.
“Devi kakakmu mana?”
“Lagi study-tour ke Cisarua. Nanti sore pulang,” kata Prisma. “Nah itu kolam renang. Kecil sih, tapi lumayan juga,” tutur Prisma ketika mereka sampai di bagian belakang rumah. Kolam renang itu dikelilingi taman dengan berbagai tumbuhan tropis yang asri.
“Eh, ngomong-ngomong. Bagaimana kaki dan lecet-lecet kamu?” tanya Sri.
“Sudah nggak apa-apa, tuh”
“Baiklah. Sekarang tur keliling rumahnya sudah dulu, ya. Bibi pasti nunggu saya untuk bagi tugas. Sekarang Pris duduk di ruang tengah sambil nonton TV. Mbak Sri mau ketemu bibi, eh bibi siapa namanya?”
“Bi Nani. Tahu tidak, nama panjangnya Nani Wijaya,” kata Pris.
“Wah, keren, mirip nama bintang sinetron”
***
“Si Santi dulu kebagian membersihkan ruangan, merawat tanaman dan membantu keperluan anak-anak dan sesekali memasak. Kamu gantikan tugas dia. Saya mencuci, setrika, dan memasak,” kata Bi Nani.
“Saya bisa mengerjakan apa saja. Jadi kalau Bibi perlu bantuan saya, jangan sungkan-sungkan bilang saya,” kata Sri. Bi Nani tersenyum.
“Wah, bagus. Kehadiranmu bisa menjadi nila setitik rusak susu sebelanga,” kata Bi Nani, berperibahasa ngawur lagi.
“Lho, kok begitu, bukankah seharusnya bagai setetes embun di padang gersang,” ralat Sri sambil tersenyum renyah.
“Oh ya, seharusnya itu. Eh, sekedar kasih tahu, nama bapak itu Hendri, nama ibu Annella, nama kakak Prisma…”
“Devi. Prisma yang kasih tahu, dan Bu Anella sedang pergi ke Jogja,” sela
Sri.
“Ya, betul!”
Sri segera berinisiatif membersihkan debu di daun-daun tanaman, mengais kotoran di permukaan tanahnya dan menyiramnya. Ayah Prisma tiba-tiba berdiri di belakang Sri dengan satu set gunting tanaman.
“Saya kurang memperhatikan tanaman-tanaman ini belakangan ini. Bisa sekalian kau potong daun-daun yang sudah menguning itu?” kata ayah Prisma.
“Ya, bisa, Pak”
Hendri kemudian duduk di depan komputer di sebuah meja kerja dan mulai sibuk mengetik.
Sri mendapati tanaman-tanaman di dalam rumah itu benar-benar menyejukkan hati. Seharian ia menghabiskan waktu menata ulang letak tanaman, membalik-balik tanah, mengelap daun, membuang kotoran tanaman, menggunting pinggiran daun yang rusak dan menyiraminya. Hendri kelihatan senang dengan perawatan yang semestinya memang harus dinikmati tanaman-tanaman itu.
***
Devi datang sore itu. Seorang remaja kecil yang cantik, dan berparas bak fotokopi mamanya.
“Eh, Mbak siapa? Pembantu baru?” Devi melempar tas dan jaket ke lantai, dan meneguk air dingin langsung dari botol yang diambil dari kulkas.
“Ya, Mbak Devi. Nama saya Sri,” kata Sri.
“Idih, jangan pakai ‘Mbak’ dong. Kayak pegawai toko, panggil ‘Non Devi’ gitu”
“Baik, Non Devi”
Sri membantu membereskan tas dan jaket yang berserakan di atas lantai. Devi langsung menuju ke kamarnya, tak menghiraukan Prisma yang mencoba bercerita pengalamannya dikejar anjing dan jatuh dari sepeda tadi pagi. Beberapa saat kemudian Devi keluar dari kamarnya dan meneriaki Sri.
“Mbak Sri, nanti jam 7 ada tiga teman aku datang mau ngerjain tugas. Bisa nggak digorengin french fries? Kalau nggak ada persediaan french fries di kulkas, mbak Sri ke toko swalayan di Blok AA dan beli yang banyak, sekalian beli Fanta kalengan dua lusin!”
“Baik, Non Devi. Saya periksa kulkas dulu, ya!”
“Mbak Sri tahu french fries?” Prisma mendekat.
“Kalau nggak salah, itu kentang yang diris-iris panjang lalu digoreng, gitu, kan?” kata Sri.
“Ya, betul. Mbak Sri kok tahu, sih? Nggak kayak Mbak Santi yang rada-rada bego,” seloroh Prisma. Sri tersenyum.
“Kayaknya nggak ada french fries persediaan di kulkas. Saya harus beli ke toko swalayan,” kata Sri setelah memeriksa kulkas.
“Ya, kamu beli sana, sekalian Fanta kalengan dan minyak goreng,” Bi Nani mengangsurkan selembar uang ratusan ribu.
Tidak sulit menemukan toko swalayan lumayan besar di blok AA yang hanya berjarak lima blok dari rumah Prisma. Ketika berdiri di antrian kasir Sri selintas melihat seorang perempuan cantik berumur tigapuluhan tengah memasukkan dua kotak yanko dan dua kotak bakpia Pathuk, makanan khas Jogja ke dalam trolley.
Sri betul-betul suka melihat penampilan ibu cantik itu. Ia mengenakan kemeja denim tanpa lengan, seolah memamerkan keseluruhan lengannya yang putih bersih dan bebas lemak. Celana jins ketat warna beige menambah sempurna penampilan perempuan itu. Rambutnya panjang melebihi bahu dan di beberapa bagian berwarna kemerahan hasil toning yang rapi. Sri ingat ia pernah melihat perempuan ini sebelumnya, hanya saja ia tidak bisa memastikan kapan dan di mana.
“Kasih tas plastik polos,” ujar perempuan itu kepada kasir yang hendak membungkus lima kotak makanan itu dengan tas plastik bertuliskan nama toko. Setelah membayar belanjaannya, perempuan itu keluar toko, membuang struk belanja di tempat sampah dan masuk ke taxi yang sedari tadi menunggunya. Sri sempat menangkap aroma farfum mahal dari tubuh perempuan yang menurut Sri teramat sexy itu.
Hari sudah gelap ketika Sri sampai kembali ke rumah.
“Fanta langsung masukkan ke dalam kulkas. Kentangnya digoreng nanti saja kalau siap dimakan,” songsong Devi begitu Sri datang.
Sri langsung memasukkan kentang goreng mentah ke dalam kulkas berikut kaleng-kaleng Fanta merah. Tiba-tiba Prisma berdiri di belakang Sri.
“Mbak Sri mau ini?” Prisma membawa segenggam makanan berbentuk kotak-kotak kecil terbungkus kertas tipis warna-warni.
“Apa itu, Pris?” tanya Sri.
“Kue yanko, oleh-oleh Mama dari Jogja” kata Prisma. Sri mengambil dua bungkus dari genggaman Prisma. Kue kenyal yang manis rasanya. Sri tersenyum dalam hati. Dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dua kali ia melihat makanan yanko. Ini ‘kan makanan yang sama dengan yang dibeli perempuan cantik itu di toko swalayan. Aneh juga kalau dipikir, oleh-oleh dari luar kotapun sebetulnya kini bisa dibeli di toko swalayan terdekat, kata Sri dalam hati.
PART.2
Jam tujuh lebih sedikit, sebuah mobil Hyundai Atoz merapat ke pintu gerbang rumah dan membunyikan bel keras-keras.
“Itu teman-teman aku. Mbak Sri, buka pintu gerbang!” teriak Devi dari ruang dalam. Sri bergegas ke depan dan membukakan pintu. Dua remaja laki-laki dan seorang remaja putri dengan gaduhnya turun dari mobil dan langsung menyerbu rumah.
“Selamat malam, Tante!” sapa anak-anak itu pada Sri.
“Sialan lo. Itu pembokat gue, lagi!” Devi meralat sapaan teman-temannya. “Lagian, masak mama gue bukain pintu buet elo-elo. Yang bener aja!”
“Sori, deh, Dev!” ujar ketiga teman Devi hampir berbarengan. “Habis kita-kita nggak pernah tahu yang mana mama lo”
“Mama capek habis dari luar kota, sekarang lagi tidur. Kalau mau tahu, tuh fotonya di dinding,” tunjuk Devi.
“Oh, itu!” teman-teman Devi bergumam bersamaan. “Selamat sore, Tante!” seru salah seorang anak pada foto itu. Dua anak lainnya tertawa riuh.
“Oke, sekarang kita mulai aja. Gini nih, kita ‘kan harus menulis lima halaman kuarto laporan study-tour ke pusat pendidikan tanaman organik itu. Sekarang, masing-masing orang bagi tugas, tulis apa saja yang kalian tangkap dari study-tour itu. Tulis dalam bahasa Indonesia dulu, nanti setelah kita gabungin, kita susun dan kita terjemahkan rame-rame ke dalam bahasa Inggris. Akur?” salah seorang teman Devi mulai memimpin kerja kelompok itu.
“Sip. Ntar aku yang ngetik di komputer,” kata Devi dan berjalan ke dapur mencari Sri.
“Mbak Sri, goreng sekarang french fries-nya!”
Devi dan teman-temannya, diselingi senda gurau yang tiada habisnya, mulai mengerjakan tugas. Piring demi piring kentang goreng dikirim Sri ke ruang belajar. Mereka selesai bekerja setengah sepuluh dan pamit pulang meninggalkan hasil karangan tulisan tangan sepanjang lima halaman kuarto.
“Pamit sama Papa aja. Mama sudah tidur!” kata Devi.
Setelah berpamit pada Hendri, anak-anak diantar Devi ke mobil. Sri membukakan pintu gerbang dan menutup serta menguncinya begitu mobil keluar gerbang.
“Pa, tulisan tugas dari guru Bahasa Inggris ini harus dikumpulin Selasa pagi. Devi dan teman-teman sudah terjemahin ke bahasa Inggris. Ntar Devi ketik di komputer, terus kalau ada waktu besuk papa tolong betulin yang salah-salah, ya?” kata Devi menguap. “Sangat sialan deh itu guru Bahasa Inggris, kasih tugas waktunya mempet banget. Sekarang hampir jam sepuluh, bisa semalaman Devi mengetik,” gerutu Devi.
“Non Devi mau saya bantu mengetik pakai komputer?” tiba-tiba Sri menghampiri Devi. Devi menoleh, melihat sosok Sri dari atas ke bawah, seolah meastikan bahwa suara itu keluar dari mulut seorang pembantu.
“Memangnya bisa ngetik di komputer?” tanya Devi dengan pandangan tak percaya.
“Bisa sedikit. Dulu waktu di SMA, saya dapat pelajaran komputer,” kata Sri. Ragu-ragu Devi mengiyakan.
“Bener bisa?” tanya Devi lagi. “Pakai program apaan sih ngetiknya, kalau saya boleh tahu?” Devi menguji.
“Microsoft Word, ya, non?” kata Sri, takut-takut salah ucap.
“Ya, betul. Ya, deh. Pakai komputer di meja Papa. Nanti Devi yang mintakan ijin. Bantuin ngetik sampai selesai, ya! Ini naskahnya. Bisa ‘kan baca tulisan tangan teman-teman aku?”
Sri mengambil naskah kasar itu dari tangan Devi dan mengamati sebentar. “Saya, bisa, non Devi. Besuk pagi pasti sudah selesai. Nanti saya kasih nama file ‘tanaman organik’, ya?”
“Okay, sip. Gitu dong!. Jaman kemajuan nih, para pembantu bisa pakai komputer!” Devi meneguk habis Fanta-nya dan beranjak ke tempat tidur.
***
Setelah memeriksa semua kunci pintu dan merapatkan jendela dan mematikan lampu-lampu yang tidak diperlukan, Sri mulai mengetik laporan study-tour Devi dan teman-temannya. Sebuah ringkasan tentang sistem pertanian organik dari sebuah pusat pelatihan tanaman organik di Cisarua, seputaran Bogor.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sedikit ketika Sri selesai mengetik. Manakala hendak beranjak ke kamarnya, Sri dikejutkan oleh seutas dehem. Sri mencari suara itu dalam keremangan.
“Kamu pembantu baru itu?” suara perempuan datang entah dari sudut mana di ruangan itu. Terkejut, Sri mencari sumber suara itu. Bersamaan dengan itu, lampu di sebuah sudut ruangan tiba-tiba menyala, dinyalakan oleh seorang perempuan yang sedang duduk santai dengan seperempat gelas air putih di tangan.
“Saya Anella. Kau boleh sebut saya ‘Bu Hendri’,” ujar perempuan itu.
Sri terkesiap dan menatap lama wajah perempuan itu. Itu wajah cantik yang dia lihat di toko swalayan petang tadi.
“Oh, Bu Hendri. Maaf, saya tidak lihat,” Sri mendekati perempuan cantik itu dan mengulurkan tangan. “Saya Sri, Bu! Saya baru mulai bekerja hari ini”
Anella menyambut uluran tangan itu dingin.
“Kamu pintar juga, ya, bisa mengoperasikan komputer”
“Saya cuma bisa mengetik. Itupun mungkin kurang rapi”
“Dan kamu cantik,” Anella memperhatikan paras Sri, sambil menghunus sebatang rokok dari kotaknya. “Kenapa orang yang bisa mengetik pakai komputer secantik kamu mau jadi pembantu?”
“Saya butuh pekerjaan, Bu. Untuk sementara, jadi pembantu tidak masalah bagi saya,” jawab Sri.
“Kudengar kau yang tolong Prisma ketika jatuh setelah dikejar anjing tadi pagi?” Anella menghembuskan rokok.
“Betul, Bu. Saya kebetulan lewat”
“Terimakasih, ya, kamu telah menolong anak saya”
“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa membantu. Maaf, Ibu mungkin perlu saya buatkan teh hangat?”
“Tidak, tidak perlu”
“Boleh saya masuk ke kamar saya sekarang?” kata Sri.
“Silakan”
Sri baru melangkah beberapa saat ketika Anella memanggilnya.”Sri, sebentar!”
“Ya, Bu,” Sri menoleh. Anella bangkit dari duduknya dan mendekati Sri. Sungguh cantik perempuan ini dalam baju tidur yang setengah tembus pandang. Anella menatap mata Sri dalam-dalam.
“Saya lihat kamu di toko swalayan tadi. Kamu bahkan masih pakai kaos yang tadi. Dan saya yakin kamu pasti lihat saya, dan melihat apa yang saya beli,” kata Anella.
“Ya. Ibu membeli yanko dan bakpia Pathuk dari Jogja. Prisma tadi kasih saya beberapa bungkus”
“Tahu tidak?” ujar Anella menghisap rokoknya dalam-dalam, “kepada orang-orang di rumah saya bilang oleh-oleh itu saya beli dari Jogja,” Anella menghembuskan asap rokok.
“Saya bisa minta tolong, kau tidak usah bilang siapapun oleh-oleh itu saya beli di swalayan sekitar sini. Ini memang sepele, tapi saya tidak mau berbohong. Saya ingin membawakan Pak Hendri dan anak-anak oleh-oleh dari Jogja tapi saya tak sempat beli di Jogja”
“Oh, itu. Baik, Bu. Saya tidak akan bicara apa-apa soal itu. Saya tahu maksud Ibu,” kata Sri.
“Bagus! Nah, silakan kalau mau istirahat,” kata Anella dengan sungging senyum kecil di bibirnya yang menawan. Sri berbalik dan berjalan menuju ke kamarnya. Anella kembali ke kursinya, mematikan lampu, menghunus sebatang rokok lagi dan menghisapnya dengan wajah menerawang jauh dalam gelap.
***
Pagi itu semua orang di rumah disibukkan dengan persiapan aktivitas rutin. Devi dan Prisma dijemput mobil antar-jemput sebelum jam 5.30, dan itu membuat Bi Nani dan Sri harus bangun jam 4 untuk mempersiapkan sarapan dan tetek-bengek keperluan anak-anak. Sri kelihatan belajar banyak dalam mengikuti ritme kegiatan di rumah itu dan mengamati pola perilaku anak-anak. Kalau Prisma hadir dalam sosok anak–anak yang sederhana, penurut, mandiri dan terima apa adanya, maka Devi adalah seorang penuntut, ribet, bossy dan maunya ‘perfect’. Itulah sebabnya, blus seragam yang sudah disiapkan baik-baik oleh Sri minta diseterika ulang karena ada kerut-kerut kecil dan belum pakai cairan pewangi. Untuk sarapan tadi, nasi yang masih panas minta dikipasi sampai pada kehangatan yang dikehendaki Devi sementara Prisma sudah membawa sendiri piringnya ke tempat pencucian di dapur.
Hendri meluncur ke kantor selepas pukul 7. Dan setelah anak-anak berangkat, sejak jam 6 pagi, atas perintah Bi Nani, Sri membersihkan taman di bagian belakang rumah.
Anella baru keluar dari kamarnya di atas jam 9 dan sepertinya hari itu Anella akan tinggal di rumah. Setelah mandi, dengan celana pendek dan kaos tak berlengan, Anella duduk di kursi malas di dekat kolam renang, mengamati Sri yang sedang belajar membersihkan dasar kolam renang dengan sebuah galah pembersih.
“Sri,” panggil Anella. “Bisa kau berhenti sebentar dan buatkan saya jus buah. Minta ajari Bi Nani caranya”
“Baik, Bu” Sri meletakkan galah pembersih dan berlalu ke dapur. Jus kesukaan Anella ternyata adalah campuran tomat, wortel dan melon. Sri menempatkan jus dalam gelas besar itu di meja di dekat Anella.
“Tunggu sebentar,” ujar Anella ketika Sri hendak melanjutkan pekerjaanya.
“Duduklah,” Anella menunjuk kursi kosong di seberang meja. Ragu-ragu Sri duduk. Dalam cahaya terang seperti ini, Sri makin kagum pada kecantikan nyonya Hendri ini. Kulitnya bersih cemerlang dan kencang dengan mata indah dan hidung mancung yang menawan. Bibirnya merah segar dan merekah dengan tinggi badan yang seolah pas dengan kerampingannya.
“Berapa umurmu?” tanya Anella.
“26, Bu,” jawab Sri.
“Saya heran kamu jauh-jauh datang dari Malang ke Jakarta hanya untuk terima pekerjaan pembantu. Saya lihat kamu pintar merawat tanaman, kamu cekatan, dan kata Bi Nani kamu juga sabar terhadap anak-anak. Kamu juga bisa pakai komputer. Kamu tidak ingin cari pekerjaan lain yang lebih sesuai?”
“Sebetulnya ingin, Bu. Tapi saya pikir tidak gampang cari pekerjaan di Jakarta. Saya meninggalkan rumah di Malang tanpa persiapan yang baik; saya bahkan tidak membawa ijazah SMA saya. Mana mungkin saya bisa cari kerja tanpa membawa ijazah. Kalau jadi pembantu, ‘kan tidak pakai ijazah,” ujar Sri.
“Tapi pastinya kamu ingin cari pekerjaan lain ‘kan?” tanya Anella.
“Begitulah, Bu. Saya ‘kan juga tidak mau jadi pembantu terus,” kata Sri.
“Di Malang, sebelum berangkat ke sini, apa kerjamu?”
“Saya kerja macam-macam; mencucikan pakaian tetangga, jaga toko, baby-sitter, apa saja, yang penting bisa membantu ayah. Ayah tidak kerja, kena stroke lima tahun lalu. Ibu hanya membuka warung barang kebutuhan kecil-kecilan dan waktunya lebih banyak digunakan untuk merawat ayah. Sekarang adik saya jaga toko juga. Saya ke Jakarta mencoba mencari peningkatan hidup; saya pingin membiayai kuliah adik saya,” ujar Sri.
Anella meneguk jusnya.
“Mungkin saya bisa carikan kamu kerja yang lebih baik. Tapi saya harap kamu kerja dulu di sini beberapa saat, minimal tiga bulan sebelum kamu mulai cari-cari pekerjaan yang lebih baik. Sekarang sulit cari pembantu yang baik. Saya bisa tambah gaji kamu,” kata Anella.
“Terimakasih, Bu. Ibu baik sekali,” ujar Sri.
“Kau tahu, tidak mudah mengurusi keluarga kalau saya dan Pak Hendri harus kerja. Pak Hendri sibuk dan sering harus pergi ke luar negeri, dan saya selalu harus bepergian meninggalkan rumah dua atau tiga hari bahkan sampai 2 minggu. Kadang-kadang saya merasa saya tidak bisa memantau perkembangan anak-anak. Santi, pembantu yang lama, keluar bersamaan dengan Danang, sopir saya. Sampai sekarang kami belum dapat sopir. Tanpa sopir, saya harus antar anak-anak kalau ada keperluan ke mall, sementara saya sendiri tidak selalu ada di rumah. Cari supir baru juga bukan pekerjaan mudah”
“Maaf, kalau cuma untuk seputaran perumahan sini, saya berani mengemudi,” ujar Sri. Annela urung meneguk jusnya dan memandang wajah Sri dalam-dalam.
“Kamu bisa nyetir mobil?” tanya Anella setengah tidak percaya.
“Ya, ayah dulu sopir taxi bandara Juanda di Surabaya. Kalau mobil taxi sedang ada di rumah, saya minta ayah mengajari saya mengemudi. Ayah kena stroke tatkala sedang mengantar tamu ke Malang. Penumpang baik hati itu yang bawa ayah ke rumah sakit dan sejak saat itu kami sekeluarga tinggal di Malang. Ayah tidak bisa lagi mengemudi dan ingin tinggal di daerah berhawa sejuk. Itu lima tahun lalu, dan sejak saat itu saya harus bekerja untuk membayar hutang biaya perawatan ayah dan menghidupi keluarga,” kata Sri.
“Oh, begitu? Rupanya kamu serba bisa!” ujar Anella. “Kalau begitu, gimana kalau sekarang ke mall? Kamu yang setir,” kata Anella.
“Ibu yakin berani membiarkan saya bawa mobil?” tanya Sri.
“Kita lihat saja!”
Dan siang itu Sri punya mata pekerjaan baru; mengemudikan mobil Kijang keluarga Hendri. Anella tampak senang Sri tidak mengalami kesulitan membawa mobil di tengah keruwetan lalu-lintas Jakarta.
Di mall, Anella menghabiskan waktu belanja alat-alat kecantikan di toko Bodyshop dan belanja pakaian. Sri dengan sabar menunggu dan mengikuti Anella keluar masuk toko dengan beberapa tas belanja di tangan kanan dan kiri. Sri juga mulai biasa berdiri sendiri beberapa menit di sebuah pojok, sementara Anella menjauh dari Sri karena harus menjawab dering-dering telepon yang tiada hentinya sejak HP dinyalakan di mall tadi. Kalau tidak sedang menerima telepon, Anella bicara panjang lebar tentang pekerjaannya.
“Saya punya perusahaan kecil dengan 10 anak buah yang semuanya perempuan. Saya adalah konsultan bidang administrasi perkantoran. Saya memberi bantuan pada perusahaan-perusahaan untuk menata administrasi mereka, mulai dari filing, penyusunan inventaris dan semacamnya,” demikian ujar Anella sambil mengamati mimik Sri dan memastikan Sri memahami ucapannya. Karena wajah Sri tidak menunjukkan tanda-tanda bingung dengan ucapannya, Anella yakin Sri bisa mencerna penjelasannya.
“Repotnya, kalau perusahaan klien ada di luar kota, maka saya harus mendatangi perusahaan itu dan mentraining para karyawannya dalam kurun waktu tertentu. Itulah sebabnya, saya harus sering-sering meninggalkan rumah, dan bekerja ratusan kilometer dari rumah”
“Berarti Ibu sudah pernah berkunjung ke kota-kota besar di seluruh Indonesia,” kata Sri.
“Begitulah, Medan, Bandung, Semarang, Denpasar, Jogja, Banjarmasin, Manado, Padang,” papar Anella. Sri mendengarkan penuh kagum.
Sri tak bisa menyembunyikan terkejutnya ketika, Anella mengajak Sri masuk ke sebuah konter telepon seluler dan membelikan Sri sebuah HP baru.
“Kamu bisa pakai handphone?” tanya Anella. Sri mengangguk kecil.
“Ini untuk menunjang kerja kamu,” kata Anella ketika menjelaskan cara kerja telepon genggam sambil meneguk kopi di sebuah cafĂ©. Saya akan sering menelepon kamu untuk memastikan anak-anak diurus dengan baik kalau saya sedang berada di luar kota.”
Sri makin kagum pada ibu muda yang cantik ini. Kalau semalam Sri beranggapan Anella adalah seorang perempuan yang tinggi hati dan tidak acuh pada keluarganya, kini Sri berbalik berpikir Anella adalah seorang perempuan yang baik hati dan spesial dengan kesibukan sebagai wanita pekerja namun tetap ingin urusan rumah berjalan baik.
Sri mulai menyadari, meski baru dua hari di rumah keluarga ini, ia sudah mendapatkan tanggungjawab yang besar.
***
Malam itu Devi ngambek karena ayahnya belum juga sampai di rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 9.
“Kapan dong Papa bantu betulin tugas terjemahan Devi?” rajuk Devi.
“Begini saja, mau saya print-kan terjemahan itu. Nanti Non Devi periksa. Siapa tahu ayah sudah membetulkannya,” kata Sri.
“Ya, deh. Print aja. Kalau belum dibetulin, nanti biar Mama yang bantu betulin,” kata Devi.
“Kayaknya Mama sibuk banget, Non Devi. Lihat itu kertas-kertas yang harus dikerjakan Mama,” Sri menunjuk Anella yang benar-benar disibukkan oleh kertas-kertas yang menggunung di meja kerjanya.
Sri menyerahkan print-out naskah itu kepada Devi. Devi mengamati karya tulis itu dengan cermat. Ia kelihatan senang karena ketikannya rapi dan sesuai keinginannya.
“Semalam papa pasti sudah betulin sana-sini. Banyak koreksi dan tambahannya dan susunan kata yang belepotan sudah diperbaiki,” kata Devi senang.
Besok sorenya, ketika Hendri pulang dari kantor, ia langsung disambut Devi yang kelihatan riang sekali.
“Papa hebat, deh! Karya tulis Devi dan kawan-kawan dapat juara 1. Kata guru Bahasa Inggris, tulisan itu bagus banget, tatabahasanya bagus dan susunannya runtut dan jelas. Ini hadiahnya, satu keping DVD tentang Alaska dari the National Geographic”
Hendri mengerutkan kening.
“Yang hebat itu kamu dan kawan-kawanmu. Papa nggak betulin apa-apa kok!” ujar Hendri.
“Nggak betulin gimana? Devi lihat sendiri ada banyak koreksi di sana-sini,” jelas Devi.
“Papa nggak sempat buka file itu. Bener!” tegas Hendri.
“Kalau gitu, siapa dong?” tanya Devi berpikir. “Jangan-jangan……Mbak Sri, sini bentar!”
Karena Sri tidak juga muncul, Devi mencari Sri ke kamar Prisma. Di sana ia mendapati Sri tengah mengajari Prisma menata pakaian di lemari.
“Mbak Sri ‘kan yang menulis ulang naskah laporan study-tour ini?” kata Devi.
“Ya, betul, Non!”
“Mbak Sri yang nambah-nambahin atau betul-betulin yang salah-salah dalam naskah tulisan itu?” desak Devi.
“Saya……, ya ada beberapa yang dibetulin dan ditambahin, maaf….. tambah salah, ya, non?” wajah Sri berubah kuatir.
“Malah tambah bagus. Dapat juara pertama, tahu nggak!” kata Devi. Sri lega mendengarnya.
Devi kembali ke ayahnya.
“Mbak Sri emangnya bisa bahasa Inggris, ya?” tanya Prisma.
“Nggak juga, Pris. Tulisan Non Devi dan kawan-kawannya sudah bagus, tinggal tambah dikit-dikit,” kata Sri.
“Mbak Sri nih pinter dan baik banget deh!” puji Prisma. Sri tertawa kecil mendengar pujian tulus Prisma.
“Ntar kalau ada PR Bahasa Inggris, mbak Sri bantu Pris, ya?”
“Oke, bos,” kata Sri mengerdipkan mata.
Hendri mengernyitkan kening tatkala Devi cerita Sri-lah yang membikin beberapa koreksi dan tambahan pada naskah berbahasa Inggris itu. Ia mengambil naskah asli tulisan tangan Devi dan kawan-kawannya dari meja dan menyalakan komputer, mencari file ketikan Sri. Entah kenapa ia jadi tergerak untuk membandingkan dengan naskah asli dengan hasil ketikan. Selama beberapa saat ia tenggelam dalam bacaan itu, matanya bolak-balik antara naskah asli dan hasil ketikan.
Malam itu, Hendri membawa print-out karya tulis Devi ke dalam kamar. Anella tengah merawat wajah dengan berbagai krim, dan cairan serum anti-aging dan sejenisnya.
“Aku keluar ke mall pagi sampai siang tadi sebelum ke kantor sebentar,” kata Anella. “Tahu siapa yang setir mobil ke mall?”
“Siapa?” tanya Hendri.
“Sri. Dia nyetirnya oke dan aman. Semalam ia juga yang mengetik laporan study-tour Devi dengan komputer. Kata Bi Nani, ia juga yang merawat semua tanaman, dan mengajari berbagai hal kepada Prisma, seperti membantu memecahkan PR Matematika, menata lemari, membersihkan sepatu, merawat hamster kesayangan Prisma dan membersihkan kandangnya”
“Dan ia mengedit laporan Devi dengan mengoreksi tata bahasa yang salah, membetulkan kosa kata yang kurang tepat dan menyusun ulang tulisan,” lanjut Hendri.
“Ia juga cantik dan parasnya tidak seperti para pembantu pada umumnya. Rasanya ia masuk ke pekerjaan yang salah,” kata Anella.
Hendri berjalan ke belakang Anella.
“Aku akan menanyainya besuk. Aku yakin ia datang jauh-jauh ke Jakarta dari Malang bukan untuk menjadi pembantu rumah tangga”. Hendri merapatkan badan ke tubuh Anella. “Kamu tidak keluar kota lagi minggu ini ‘kan?” tanya Hendri.
“Belum tahu. Bisa ya, bisa tidak. Sudah ada permintaan lain dari Denpasar. Mungkin harus ke sana minggu ini”
Hendri membungkuk dan ke mengecup leher Anella. Tapi seketika Anella berdiri dan menghindar.
“Aku ngantuk sekali. Aku mau tidur. Besok pagi-pagi aku ke kantor,” Anella beranjak ke tempat tidur dan membenamkan tubuhnya ke kasur. Hendri menyusul ke tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Sebentar kemudian ia bisa melihat Anella sudah tidur pulas, membelakangi Hendri.
***
Pagi itu, setelah anak-anak berangkat sekolah, Anella mengundang Sri duduk di meja sarapan. Sri harus berhenti dari kegiatannya mengepel ruang depan. Malu-malu Sri menarik kursi dan duduk di hadapan Hendri dan Anella.
“Oke, Sri. Ini hari ketiga kau kerja di sini. Saya dan pak Hendri tak habis heran dengan kemampuanmu. Kamu menguasai komputer, bisa bahasa Inggris, bisa setir mobil dan sekaligus bisa mengerjakan pekerjaan pembantu rumah tangga……siapa kamu sebenarnya?” tanya Anella, mengulang kalimat-kalimat yang sudah ditanyakan sebelumnya.
Sri memandang Anella.
“Permisi sebentar,” Sri berdiri dan berlalu ke kamarnya. Ia kembali beberapa saat kemudian.
“Ini KTP saya, Bu!” Sri mengangsurkan kartu tanda penduduk. Anella membacanya, mengamati foto di KTP dan membandingkan dengan wajah aslinya.
“Sri Purwanti, lahir di Surabaya, tinggal di Malang, umur 26 tahun,” gumam Anella dan mengangsurkan KTP itu pada Hendri.
“Bukannya kami tak senang dengan kemampuanmu. Maaf kalau kami harus mengulang pertanyaan ini. Kami cuma tak habis pikir kenapa orang sepintar kamu mau jadi pembantu,” kata Anella, berusaha menyembunyikan nada selidik dalam pertanyaannya.
“Seperti yang saya bilang kemarin, Bu. Saya cari kerja, untuk sementara jadi pembantu tidak masalah. Terimakasih kalau Bapak dan Ibu menganggap saya lebih pintar daripada pembantu pada umumnya. Saya akan bekerja sebaik-baiknya jadi pembantu di sini. Saya suka mengurusi rumah dan mengurus anak-anak. Sedikit kemampuan saya dalam bahasa Inggris dan komputer mungkin bisa untuk membantu anak-anak belajar. Dan dengan kemampuan mengemudi, saya juga mungkin bisa berguna meski saya tidak punya SIM. Dan kalau misalnya, gaji saya ditambah dengan adanya kemampuan ini, saya akan sangat berterimakasih. Saya akan kirimkan uang ke ayah saya di Malang,” ujar Sri.
Anella dan Hendri berpandangan. Keduanya tidak mampu lagi melontarkan pertanyaan berikutnya.
“Baiklah kalau begitu, kau akan dapatkan satu juta rupiah perbulan untuk tiga bulan pertama. Dan HP yang saya belikan kemarin adalah pinjaman dari saya untuk keperluan kerja. Jangan pakai pacaran,” kata Anella. Hendri menganggukkan kepala tanda setuju, dan keduanya kemudian tak merasa perlu untuk menyelidik lebih jauh.
“Terimakasih. Saya senang dengan kebijakan Bapak dan Ibu,” ujar Sri tulus seperti tak mampu menahan kegembiraannya.
“Barangkali kita cuma curiga berlebihan terhadap para pembantu yang punya kemampuan lebih,” kata Anella.
“Sudahlah, biar dia kerja di sini dan kita manfaatkan kemampuannya sebaik-baiknya. Rasanya dia orang baik-baik, kok,” lanjut Anella. “Saya bisa lihat itu dari wajahnya” [bersambung]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
