"Ehem!” tiba-tiba Zaliany datang, kali ini hanya dengan Awan. Suasana indah pun buyar. Baskara cepat-cepat menarik tangannya dari tangan Lili. Keduanya gugup dan gelagapan. Zaliany langsung bisa membaca suasana dan tiba-tiba merasa bahagia juga. Rupanya kakak dan sahabatnya telah mengalami kemajuan hubungan yang sangat signifikan.
"Maaf, agak lama. Kayaknya nggak ada film yang bagus,” kata Zaliany. Sikapnya kepada Awan kini tampak berubah, tidak seperti biasa. Jauh lebih mesra. Mata Zaliany juga tampak merah, seperti habis mengeluarkan air mata.
Rupanya dia dan Awan tadi juga terjebak dalam keberduaan, setelah rekannya punya kepentingan lain. Kesempatan itu juga dimanfaatkan dua insan yang sudah lama saling tertarik itu, untuk saling memainkan bola cinta. Bola itu sudah ditendang Awan dan kini ditangkap erat oleh Zaliany.
"Oh iya, kenalkan ini Awan teman kami juga. Dia termasuk pentolan aktivis,” Zaliany berinisiatif mengenalkan Awan kepada kakaknya. "Baskara.” "Saya tahu Mas Baskara sejak lama, tapi kita tak pernah saling kenal. Saya masih mahasiswa baru, ketika Mas Baskara pidato di mimbar demonstrasi di kampus,” jelas Awan, mahasiswa Fakultas Hukum yang kini sudah semenster delapan.
"Oh, ya. Kini kita sudah kenal,” balas Baskara ramah. "Jadi, bagaimana nih? Mau tetap ngobrol saja, nekat nonton film yang belum tentu kita suka, atau mau pulang saja?” potong Zaliany, karena Baskara dan Lili tampak masih belum menguasai diri setelah kajadian bersejarah dan juga kekagetan yang ditimbulkan kehadiran Zaliany beserta Awan.
"Oh ya, terserah saja. Tapi ini sudah hampir jam sebelas. Bagaimana Lili?” Baskara menanyakan wanita yang kini menjadi kekasihnya. "Ehm… terserah.” "Kalau boleh usul, kita pulang saja. Soalnya Awan buru-buru mau memindahkan berkas-berkas dan buku ke kost Ginting,” kata Zaliany.
Baskara bingung, apa urusannya dengan Awan. Dia belum tahu kalau dia baru saja menjadi pacar Zaliany. Tidak seperti Lili dan Baskara, sikap Awan dan Zaliany seperti sudah lama berpacaran padahal baru tadi mereka saling terbuka. Maklum, pada dasarnya mereka memang sudah lama berpacaran tapi masih secara batin. Komunikasi cintanya juga seperti hanya memakai telepati. Baskara tak bisa menolak usul adiknya, meski sebenarnya ingin berdua dengan Lili barang beberapa saat.
"Sebaiknya begitu,” tukas Baskara. "Aku setuju, kalau memang sudah tak ada acara lagi,” ujar Lili. "Oke, sekarang begini saja. Mas Baskara antar Lili pulang. Aku akan pulang sama Awan naik sepeda motor,” Zaliany mengatur. "Kok begitu, sih? Bukannya kamu juga ikut satu mobil?” gugat Lili. "Memangnya kenapa, tak ada masalah, kan? Aku ada urusan sama Awan.” "Nggak, sih. Tapi…” "Ya sudah!” sergah Zaliany yang langsung mengajak Awan beranjak pergi ke tempat parkir sepeda motor. Baskara dan Lili pun hanya bisa saling memandang, sedikit bengong, tak kuasa menghadapi ultimatum Zaliany yang memang mereka syukuri.
Part.24
Malam Minggu yang kini berubah menjadi indah. Baskara pun segera mengajak Lili ke mobilnya dan mengantarnya pulang. Di perjalanan, pembicaraan mereka mulai cair. Bahasa-bahasa cinta makin lancar mereka keluarkan, meski tak harus menyebutkan kata “cinta”. Dalam sekejap, bangunan cinta mereka pun semakin berbentuk.
"Terima kasih kamu tertarik kepadaku,” kata Baskara. "Terima kasih kembali.” "Kapan bisa ketemu lagi?” "Kapan saja jika Mas Bas mau.” "Terima kasih lagi. Itu sangat menyenangkan.” "Sama-sama!” "Lili, kamu sungguh cantik dan menarik.” "Ah, Mas Bas juga menarik dan ganteng pula.”
Satu kelokan lagi sudah sampai di rumah Lili. Baskara tak melupakan sesuatu yang penting, yakni saling menukar nomor HP. Mobil berhenti di depan rumah Lili yang cukup anggun, ketika mereka selesai saling tukar nomor HP. Ukuran rumah itu kira-kira 20 meter kali 30 meter. Dilihat model dan bentuknya, keluarga Lili termasuk pengusaha Cina yang cukup sukses.
Sebelum turun mobil, Baskara memberanikan diri mengusap kepala Lili. Lili pun memberi reaksi mesra. Dalam hati, Baskara ingin memberikan ciuman sebagai tanda keseriusan cintanya, tapi segera diurungkan. Takut terkesan norak dan terburu-buru. Keduanya turun dari mobil. Baskara mengantar Lili sampai pintu pagar. Papah dan Mamah Lili ternyata masih duduk di teras, mengamati mereka dengan tajam. Ini pertama kali Lili diantar pulang seorang pria. Sebelum mereka bertanya, Baskara menyapanya.
"Selamat malam, Om, Tante.” "Malam!”
Baskara cepat-cepat pamit kepada Lili, karena sudah malam. Lili merekahkan senyum mesra. “Terima kasih telah mengantar, nggak mampir dulu?” tawar Lili.
"Terima kasih, kapan-kapan saja,” Baskara kemudian berpamitan kepada kedua orangtua Lili dan segera masuk mobil. Lili masih berdiri di pintu pagar. “Da… Sampai jumpa lagi,” Lili melambaikan tangannya.
Lambaian yang dirasakan Baskara sangat mesra. Dia pun membalasnya dengan mesra.
Part.25
EMPAT JAM masih menunjuk pukul 05.00. Minggu pagi yang cerah, hati yang merekah. Begitu mata terbuka, Baskara langsung teringat Lili yang semalam dia genggam tangan dan hatinya. Sebelum sempat bangun dari tempat tidurnya, dia langsung meraih HP-nya. Dia pencet-pencet, kemudian memberanikan menelepon Lili. “Selamat pagi.” “Pagi juga. Kok sudah bangun?” jawab Lili. “Ya, ingin segera menyapamu.” “Thanks. Tidurnya nyenyak?” “Sebaliknya. Trelalu asyik mikirkan kamu.” “Sama.” “Hari Minggu gini, ada acara?” “Nggak. Ada ide?” “Bagaimana kalau ketemu dulu?” “Boleh.” “Di mana?” “Jemput Lili di Mal Citraland jam 09.00.” “Deal, sampai nanti.”
Baskara dan Lili pun makin sering bersama. Hampir setiap hari mereka selalu bertemu, walau kadang hanya sesaat. Kalaupun tidak bisa bertemu, mereka akan saling berkomunikasi lewat HP. Sedangkan hari Minggu sudah menjadi ritus wajib untuk berpacaran ke mana suka. Mereka seperti sepasang merpati yang enggan berpisah sedetik pun. Hari-hari mereka terasa semakin indah, mesra. Mereka merasa telah memahami dan menemukan cinta yang sebenarnya.
“Mas Bas, kenapa aku mulai dihinggapi rasa ketakutan. Takut semua ini akan berakhir,” kata Lili suatu saat, ketika mereka berduaan di Pantai Marina. Kini setelah begitu mesra, Lili lebih sering menggunakan kata “aku” sebagai kata ganti dirinya, bukan “saya” seperti dulu. Kemesraan yang membuatnya makin bahagia, justru memperbesar perasaan takut kehilangan. Baskara menyadarinya. Dia sendiri juga mulai dihinggapi perasaan serupa.
“Lili, aku mencintaimu sepenuh hatiku. Itu tak perlu diragukan. Semakin kita mesra, kadang-kadang aku juga khawatir akan terjadi sesuatu yang mengancam kemesraan ini. Hidup manusia tak lepas dari ujian dan rintangan. Cepat atau lambat, kita akan mengalaminya. Mampukah kita menghadapi ancaman dan ujian itu jika sewaktu-waktu muncul? Aku juga takut kehilangan dirimu."
Lili tersentuh oleh ketakutan Baskara. Baginya, ketakutan itu menandandakan betapa dia sangat mencintainya. Sebab, Lili sendiri juga memiliki rasa takut kehilangan, karena begitu cintanya kepada Baskara. Lili pun segera memeluk kekasihnya dengan erat. Air mata kecengengan-kebahagiaan seorang wanita segera berjatuhan dari sudut matanya yang sipit tapi menarik.
“Kenapa mesti ada rasa ketakutan yang menyertai kebahagiaan ini?” Baskara mengusap rambut Lili, sambil mencium keningnya. "Entahlah, semakin mencintai Mas Bas, aku semakin takut kehilangan.” “Aku merasakan hal sama. Kadang-kadang aku berpikir sesuatu, tapi jika kuungkapkan takut kamu tersinggung atau marah.” “Sepasang kekasih tak seharusnya saling menyembunyikan apa pun juga, dan tak seharusnya saling meragukan. Silakan Mas Bas, ungkapkan saja.” “Ehm... Oke aku terus terang. Kamu keturunan Tionghoa sementara aku orang Jawa. Aku sering heran, dua masyarakat ini sepertinya diliputi berbagai prasangka dan kecurigaan, serta tuduhan-tuduhan yang lebih bersifat sinisme.
Pemerintah sendiri sering memperlakukan keturunan Tionghoa tidak setara dengan pribumi, sehingga mengakibatkan pola-pola sosial yang kurang komunikatif antara orang Tionghoa dan pribumi. Kita mungkin tak mempermasalahkannya. Tapi melihat pengalaman selama ini, rasanya pasangan Cina-Jawa termasuk langka. Terasa ada sekat ketabuan atau kecurigaan yang membuat hubungan dua anak dari bangsa berbeda ini sering dipenuhi rintangan. Di banyak kasus, mereka dikucilkan keluarganya. Atau akhirnya terpisah karena tekanan keluarga. Selama ini kamu tahu sendiri keluargaku merestui hubungan kita. Nah, bagaimana dengan keluargamu? Aku tidak tahu apakah pihak keluargamu bisa menerima hubungan kita. Jika mereka menentang, akankah kamu tetap mencintaiku?” [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
