KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 09 April 2011

NENEK WENG DAN MENATU PEREMPUAN (2)

Beberapa hari setelah pernikahan Putranya, Nenek Buyut mulai tidak menyukai menantu barunya ini. Seperti yang telah diduga sebelumnya, putri penjahit kaya itu sama sekali belum pernah melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal yang paling sederhana pun seperti menjerang air dan membuat kopi tak bisa dilakukannya. Nenek Buyut pun mulai mengomeli Putranya.

"Lihat! Inilah gadis pilihanmu itu! Katanya lulusan dari Kau Cong Ti Yi Shiau! Tetapi tak satu pun dari ilmu yang diperolehnya di sekolah itu bermanfaat setelah dia menikah!"

Kakek diam mendengarkan. Sampai Ibunya selesai berbicara, barulah dia menyambung.

"Ibu kenapa berkata seperti itu? Cungho itu pintar dan terpelajar. Dia pernah belajar analek Konfucius dan fasih berbicara serta menulis Mandarin. Bukankah dulu Ibu sering memarahiku karena sering berbahasa Belanda dan Inggris, aku jadinya tak seperti pria Tionghoa lagi? Sekarang, aku telah memilih seorang istri yang amat mengerti dengan adat-budaya Tionghoa kita, pandai menulis kaligrafi, melukis serta menggubah puisi. Masih kurang apalagi? Kenapa Ibu terus-terusan mengkritiknya?"

"Yang kurang dari istrimu adalah, dia tak bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti wanita pada umumnya!" cetus Nenek Buyut. "Tidak ada gunanya kalau sepasang tangannya diciptakan hanya untuk memegang kuas buat menulis dan melukis! Tidak bisa masak, mencuci, membersihkan rumah... Ibu benar-benar tak cocok dengan menantu seperti itu!"

Kakek mulai gusar dan membalas perkataan ibunya, "Semasa gadisnya, Istriku memang tidak pernah bekerja. Tetapi bukan berarti dia tak mau belajar. Ibu kan bisa mengajarinya pelan-pelan, lama-lama dia juga pasti bisa memasak mencuci dan lain sebagainya...."

"Mengajarinya?" Nenek Buyut menyindir. "Huh! Benar-benar...! Seperti kembali mengajar anak balita, padahal usia Istrimu itu sudah hampir duapuluh tahun!"

Demikianlah, setiap hari Nenek menghadapi segala hal yang belum pernah dialaminya semasa gadis dulu. Hampir setiap waktu Ibu Mertuanya itu mengomelinya. Kadang-kadang omelan itu berubah menjadi ceramah panjang yang diberikan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya pada sebuah mata kuliah yang membosankan. Nenek berusaha melalui semua itu dengan sabar dan tegar. Beruntunglah dia senantiasa mendapat dukungan serta cinta kasih yang besar dari suaminya.

Selain Kakek, masih ada tambahan satu orang penolong lagi bagi Nenek. Penolong itu adalah Leiho, adik perempuan Kakek yang diadopsi dua tahun sebelum Kakek dan Nenek menikah. Dia senantiasa membantu Nenek dalam kesulitan, khususnya jika Nenek habis dimarahi karena tidak mengerjakan tugasnya dengan benar.

***

Sementara itu di rumah kediaman orangtua Nenek, Nyonya Besar Sithu berhari-hari merindukan Putrinya

Semenjak menikah, Nenek baru pulang ke rumah orangtuanya sekali, yakni pada hari ketiga setelah pernikahannya. Ritual ini disebut 'berkunjung ke rumah orangtua tiga hari setelah malam pengantin'. Jika pengantin wanita tidak pulang pada hari tersebut, menurut adat, untuk seterusnya dia tidak akan diperkenankan masuk ke rumah orangtuanya lagi.

Semakin hari, rasa rindu Nyonya Besar semakin besar. Apalagi akhir-akhir ini beliau jarang melihat menantuya lewat depan rumah sewaktu berangkat dan pulang kantor sehingga tak bisa menanyakan keadaan Putrinya. Nyonya Besar Sithu pun memutuskan untuk mengunjungi Putrinya itu. Pada suatu hari libur, dengan ditemani Putri Bungsunya, Nyonya Besar Sithu berangkat ke rumah Nenek. Setibanya di sana, Nyonya Besar amat terkejut melihat kondisi Nenek.

Baru tiga bulan setelah pernikahannya, bobot tubuh Nenek telah menyusut secara drastis. Penampilannya yang dulu selalu modis dan rapi, kini acak-acakan dan lusuh. Sepasang tangannya yang dulu putih dan halus kini berubah menjadi kasar, pecah-pecah dan merah karena kutu air.

"Apa yang kau lakukan di sini sampai kondisimu seperti inii?" tanya Nyonya Besar Sithu.

Nenek yang sudah lama tak bertemu dengan Ibunya rasanya ingin sekali menangis dan berkeluh-kesah di pelukan wanita itu. Tetapi dikuatkannya hatinya. Dengan tegar Nenek berkata, "Ya, maklum. Di sini tidak ada pembantu. Jadi, segala sesuatunya masih harus dilakukan sendiri...."

Nyonya Besar Sithu segera berkata, "Kalau kau memang begitu sibuk, biar kukirim dua atau tiga orang pembantu kemari buat membantumu."

Nenek terkejut. Ditatapnya wajah Nyonya Besar Sithu sambil memegang erat tangannya.

"Ibu jangan sekali-kali melakukan hal itu!" sahut Nenek panik. "Tindakan Ibu itu melangkahi wewenang Ibu Mertuaku. Nanti beliau tersinggung karena dianggap tidak mampu menyediakan pembantu."

"Ibu mengerti. Tetapi, lihatlah kondisimu. Mana mungkin kau bisa mengurus semua hal di rumah besar ini sendirian?"

"Ibu... ada pepatah lama Tionghoa lama yang mengatakan: 'menikah dengan anjing ikut anjing, menikah dengan orang miskin ikut orang miskin'. Sudah menjadi nasibku dipersunting oleh pria dari keluarga sederhana. Semua ini harus kujalani. Ibu jangan sekali-kali ikut campur.?

Nyonya Besar Sithu menghela napas. Dengan prihatin ditatapnya wajah Putrinya itu dalam-dalam.

"Baiklah kalau begitu...." Tatapan Nyonya Besar turun ke sepasang tangan Nenek. "Tetapi luka-luka di tanganmu ini harus diobati. Besok akan kusuruh seseorang untuk mengantarkan salep kulit buat dioleskan ke luka-luka ini."

***

Beberapa bulan setelah pernikahan Putranya, Nenek Buyut punya kebiasaan baru.

Setiap sore, beliau akan duduk di depan pintu rumah. Sambil memegang kipas dari anyaman daun bambu buat mengipas-ngipas, Nenek Buyut mulai berceloteh.

"Aku punya cerita... ada yang mau dengar tidak? Ini cerita tentang menantuku yang katanya wanita pintar dan terpelajar lulusan Kau Cong Ti Yi Shiau itu...."

Biasanya jika Nenek Buyut mulai berkata-kata seperti itu, para tetangga di kiri-kanan rumah mulai berdatangan dan berkumpul di depan rumah.

"Hari ini kau punya cerita apalagi tentang Menantumu itu, Bibi Weng?" Seseorang akan menyelutuk di antara kerumunan itu.

"Aih, hari ini dia melakukan kesalahan lagi. Tadi siang sewaktu memasak ikan, dia lupa membersihkan perut ikan tersebut dengan teliti sehingga ketika dimasak, empedunya pecah dan seluruh ikan terasa pahit. Ah, jadilah menu makan siang kami yang semula kukira pasti sangat lezat berubah menjadi pahit dan mengenaskan!"

Kerumunan orang itu tertawa. Nenek Weng melanjutkan ceritanya seperti pendongeng zaman baheula yang mampu menyihir telinga para pendengarnya.

"Saudara-saudaraku semua, biar kuberitahu satu hal. Lain kali jika hendak mencari menantu perempuan, pastikan dia bisa memasak dan mengurus rumah tangga. Jangan seperti Menantuku ini. Melihat air mendidih, dia tak tahu. Menanak nasi, banyak gosongnya. Belum lagi dia tak tahu bagaimana cara mencuci pakaian dan memegang sapu. Ah, rasanya masa tuaku bakal berlalu nestapa dengan menantu perempuan seperti itu tinggal bersamaku...."

"Tetapi Bibi Weng, bukankah Menantumu itu sangat pintar menulis kaligrafi, melukis dan menyulam?" tanya seseorang di antara kerumunan itu.

Nenek Weng yang tidak suka mendengar kelebihan-kelebihan Menantunya itu, membentak orang tersebut, "Kalau pintar semua itu, terus kenapa? Apa semua itu bisa membuat perut kenyang dan rumah menjadi bersih?"

Kerumunan orang itu kembali tertawa.

Demikianlah kegiatan rutin Nenek Buyut setiap sore. Duduk-duduk di depan rumahnya sambil bercerita tentang kelakuan Menantunya seperti mengisahkan sebuah hikayat kuno.

Lama-kelamaan, para tetangga yang biasa mendengar 'kisah di sore hari itu' mulai merasa bosan. Mereka menganggap Nenek Buyut melebih-lebihkan ceritanya dan selalu menyudutkan si Menantu Perempuan sebagai tokoh antagonis. Terlebih, mereka melihat sendiri si Menantu Perempuan, orangnya ramah dan patuh, tidak sekalipun dia mengeluh atau marah meski Ibu Mrtuanya sudah sering menjelek-jelekkannya di hadapan para tetangga. Perlahan-lahan para 'pendengar setia' Nenek Buyut itu menaruh simpati kepada si Menantu Perempuan. Pada suatu sore ketika Nenek Buyut mulai bercerita tentang keburukan menantunya seperti biasa, salah seorang di antara 'pendengar setia' itu membantahnya.

"Bibi Weng, kau setiap hari bercerita tentang kejelekan Menantu Perempuanmu, apakah kau tidak merasa bosan?"

"Bosan?" Nenek Weng tertawa. "Tentu saja tidak! Hampir setiap hari aku menemukan kesalahan baru dalam dirinya yang menurutku pasti akan sangat menggelikan bila diceritakan...."

"Menurutku, yang menggelikan itu justru Anda sendiri Bibi Weng!" celetuk yang lain.

"Hah? Kenapa bisa justru aku yang kau anggap lucu?"

"Ya, aku menganggap Anda menggelikan karena setiap sore bercerita tentang keburukan Menantu Perempuanmu itu. Tidakkah hal ini akan membuatnya benar-benar membencimu nanti jadinya? Apakah Anda senang bermusuhan dengan menantu sendiri, Bibi Weng?"

"Aku sependapat dengan kata-kata tadi." Seseorang yang lain membenarkan. "Selama ini aku belum melihat Menantumu itu bertingkah kurang ajar dan tak terpuji. Dia amat sabar serta patuh padamu. Kurang apalagi? Kamulah yang selama ini sengaja mencari-cari kesalahannya!"

Nenek Buyut tak senang. Beliau protes.

"Hei, hei, hei... apa-apaan ini? Kenapa sekarang kalian yang seakan-akan berbalik hendak menyalahkanku?"

Salah seorang di antara 'pendengar setia' itu bangkit berdiri dan berkata lantang kepada Nenek Buyut, "Karena kami semua kasihan dengan Menantumu itu! Selain itu, kami juga sudah muak dengan segala kisah tentang dirinya!"

"Aneh sekali kalian hari ini, merasa iba padanya dan tidak berada di pihakku. Tahukanh kalian? Dia itu tak pantas dikasihani!"

"Bibi Weng, kau harus sadar! Lama-lama, Menantumu bisa jatuh sakit kalau kau terus-menerus menekannya dengan seperti ini!"

"Kalau dia jatuh sakit, lantas kenapa? Dia kan menantuku, jadi... suka-suka aku mau bagaimana terhadapnya!"

Orang yang mendebat Nenek Buyut itu merasa gusar bukan main, dan akhirnya mengeluarkan kata-kata penghabisan. "Dasar kau memang Bibi Tua yang galak dan keras kepala!"

"Apa katamu?" Nenek Buyut naik pitam.

Para 'pendengar setia' di kerumunan itu pelan-pelan membubarkan diri sambil mengomeli Nenek Buyut. Dengan perasaan kesal, Nenek Buyut masuk ke dalam rumah. Kebetulan dari ruang dalam, Nenek Chungho barusan muncul dan berpapasan dengannya.

Nenek Buyut melihat Menantunya itu dengan sorot mata kesal sambil bertanya, "Kamu habis beri jampi-jampi apa para tetangga itu?"

Alis Nenek berkerut. Dia sama sekali tidak tahu kalau pertemuan sore hari itu berakhir ricuh. Maka dengan heran Nenek berkata, "Maksud Ibu apa? Aku tidak mengerti."

"Kamu habis beri jampi-jampi apa pada para tetangga itu? Kenapa hari ini mereka semua membelamu dan mengataiku 'Bibi Tua Galak-Keras Kepala'?"

Nenek masih belum memahami perkataan mertuanya itu. Nenek Buyut mendengus keras, maninggalkan menantunya yang masih terbengong-bengong.

***

Puluhan tahun kemudian, Nenek masih bisa hidup bersama Ibu Mertuanya itu dalam satu rumah.

Hubungan antara manusia bisa dibilang cukup unik. Ketika muda, hubungan antara Nenek dengan Ibu Mertuanya tidak terlalu baik, namun setelah masa tuanya, justru Ibu Mertuanya ini menjadi salah satu teman terbaiknya. Kalau dulu Nenek Buyut sering mencari-cari kesalahan Nenek, kini beliau dengan sukacita akan membela Nenek walau tanpa diminta sekalipun.

Kadang-kadang sahabat terbaik yang paling mengerti kita justru adalah orang yang selama ini kita anggap sebagai musuh.

Ketika tiba masanya putra-putra Nenek menikah dan Nenek sudah mulai menjadi seorang ibu mertua, dia sama sekali tidak pernah menerapkan cara-cara yang dulu diterapkan Nenek Buyut kepadanya.

Kadang-kadang Nenek Buyut menasihatinya, "Kau terlalu lembek dengan menantu-menantumu. Seharusnya kau memakai cara-cara seperti aku dulu. Itu bisa jadi semacam 'langkah pencegahan' sebelum mereka bertindak semau-maunya terhadapmu. Lagipula sekaranglah saatnya kamu membalas semua yang dulu kulakukan kepadamu terhadap mereka!"

'Oh, jadi semacam ajang balas dendam, begitu?' pikir Nenek. Tetapi Nenek menolak dan tidak pernah melakukan hal itu. Menurutnya tidakan pembalasan semacam itu harus dihentikan. Jika tidak, nantinya akan menjadi lingkaran setan!

Nenek Buyut dianugerahi kesehatan yang baik dan umur panjang. Pada awal bulan September 1978, kesehatannya tiba-tiba memburuk dan beliau terbaring koma selama beberapa hari.

Ketika kesadaran beliau sedang baik, beliau sempat memanggil menantu-menantu Nenek untuk berkumpul. Kepada cucu-cucu menantunya itu, Nenek Buyut berpesan:

"Kalian harus menghormati Ibu Mertua kalian itu. Dia sangat baik, tidak memperlakukan kalian seperti aku memperlakukannya dulu..."

Nenek Buyut meninggal pada suatu sore di penghujung bulan September tahun itu. Beliau menutup mata dengan tenang menyusul kepergian suami dan putra satu-satunya yang telah pergi mendahuluinya beberapa tahun sebelumnya.

Sepengetahuanku, sampai hari dimana aku menyelesaikan tulisan ini, beliau baru satu-satunya orang dari keluarga Ayahku yang dianugerahi umur panjang.

Usia wanita yang dulunya sering dipanggil Bibi Weng itu ketika meninggal adalah sembilan puluh satu tahun!

***

Dua tahun kemudian, pada bulan Mei 1980, salah satu putra Nenek Cungho, yakni Ayahku, menikah.

Ketika Ibu mulai menjadi anggota keluarga Ayah yang baru, cerita tentang Nenek Buyut dan menantu perempuannya itu kembali dikisahkan untuknya....

Pada salah satu jalan perempatan di jantung kota pecinan Makassar, terdapatlah sebuah toko peralatan teknik. Bangunan toko itu berlantai tiga, tidak terlalu banyak berubah seperti limapuluh tahun silam dimana bangunan tersebut masih ditempati oleh pemilik sebelumnya.

Pemilik sebelumnya adalah keluarga Kakekku dari pihak Ayah. Pemilik pertama sesungguhnya adalah Kakek Buyutku. Lalu ketika putra satu-satunya telah menikah, rumah tersebut diwariskan padanya. Ayahku beserta ketiga kakak lelakinya semua lahir di rumah itu. Dan rumah itu menyimpan banyak kenangan bagi Ayah, mulai dari masa kecil hingga beranjak dewasa.

Bukan cuma Ayah, masih banyak orang lain yang memiliki kenangan akan rumah itu. Sebagian besar cerita awal dari serial kisah-kisah seputar kehidupan awal keluarga Tionghoa-ku berlatar belakang di rumah itu. Setiap kali keluarga besar Ayah berkumpul pada sebuah acara, atau salah seorang kawan masa kecil Ayah datang untuk reuni, mereka pasti bernostalgia tentang kejadian-kejadian yang pernah mereka alami di rumah tersebut.

Kini, rumah yang terletak tepat di sudut Jalan Sangir dan Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo telah menjadi salah satu toko peralatan teknik terlaris di Makassar. Akan tetapi, limapuluh tahun sebelumnya, tidaklah demikian. Bangunan tersebut bukanlah tempat usaha yang ramai dan lebih banyak berfungsi sebagai tempat tinggal bagi sebuah keluarga Tionghoa bermarga Cang.

***

Rumah itu berlantai tiga, dengan dinding-dinding bata dan loteng berlantai papan. Halamannya cukup luas dan bisa menampung sampai tiga buah mobil, jejeran balok-balok kayu, serta berlembar-lembar papan. Selepas tahun 1945, Kakekku tidak lagi bekerja di perusahaan Belandanya yang dulu. Beliau lalu membuka usaha bengkel. Dan, dengan adanya halaman yang luas itu tentu menjadi salah satu hal yang menguntungkan bagi bisnis bengkelnya. Kakek Buyutku sendiri masih cukup sering melaksanakan aktifitasnya sebagai tukang kayu meski usianya waktu itu sudah hampir tujuhpuluh tahun. Hanya saja, kalau dulu aktifitas ini dilakukannya sebagai profesi utama, kini beliau melakukannya hanya sekedar hobi. Itu sebabnya meski tak berusaha di bidang pertukangan kayu lagi, balok-balok kayu dan papan tetap tersedia di rumahnya. Pada saat senggang beliau biasanya membuat kursi atau meja kecil yang kemudian dipakai oleh keluarga sendiri.

Selain menampung barang-barang milik Kakek dan Kakek Buyut, pada salah satu sudut yang berlokasi di daerah barat daya halaman tersebut juga masih tersedia sepetak tanah bagi Nenek Buyut untuk mendukung hobinya berkebun. Kebiasaan bertani yang dibawanya dari Tiongkok itu tidak bisa dihilangkannya sama sekali. Dan pada sepetak tanah itulah Nenek Buyut menanam ubi jalar, daun ketumbar, selada dan pohon jambu biji. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur karena dirawat dengan baik oleh Nenek Buyut. Beliau secara rutin menyiram dan memberi pupuk kandang atau kompos, serta membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar tanamannya.

Nah, sekarang aku hendak bercerita. Cerita tentang kisah-kisah antara Nenek Buyutku dengan cucu-cucunya yang merupakan generasi ketiga dari keluarga Tionghoa kami. Itu sebabnya cerita ini kuberi judul: 'Nenek Weng dan Anak-anak Muda.'

***

Makasar, Juli 1955

Hari itu, Ayahku pulang dari sekolah lebih awal dari biasanya. Saat itu usianya delapan tahun. Suasana hatinya sedang riang gembira. Sebab, hari itu merupakan hari terakhir masuk sekolah. Terhitung mulai besok, sekolahnya libur panjang hingga sebulan penuh. Itu berarti, selama sebulan ini dia bisa bangun lebih terlambat dari biasanya, bermalas-malasan serta tidak disibukkan dengan PR dari sekolah. Dan yang paling ditunggu-tunggu oleh Ayah sebenarnya adalah dia bisa bermain sepuasnya dari pagi hingga sore tanpa ada yang mengingatkannya untuk berhenti dan pergi menekuni pelajarannya.

Di dalam benak Ayah sudah bergumul rencana-renacana apa yang akan dilakukannya liburan nanti. Apa sebaiknya dia mulai dengan bermain kelereng? Atau bermain layang-layang? Ayah sudah tak sabar ingin memamerkan kelereng model terbarunya kepada kawan-kawannya. Tapi dia juga merindukan bermain layang-layang di lantai paling atas rumahnya. Menikmati saat-saat menegangkan ketika benang layangannya yang sebelumnya telah direndam dengan pecahan beling, mengiris layang-layang lawan hingga putus. Jika nanti sudah bosan bermain kelereng atau layangan, dia bisa pergi berenang bersama saudara-saudaranya di pantai.

Ayah begitu asyik dengan pikirannya sendiri hingga begitu memasuki halaman rumah, dia tidak melihat Nenek Buyut yang tengah jongkok di petak kebunnya.

"Ho, ho, bagus sekali! Ada anak sekolahan pulang ke rumah tapi tidak menyalami orangtua!" tegur Nenek Buyut.

Ayah tampak terkejut dan menimpali. "Aku tidak melihat Ahu—Nenek, duduk di situ!" ujarnya membela diri.

"Oh, ya? Aku sebesar ini tidak terlihat olehmu? Pasti kau sedang melamun! Memangnya apa yang kau pikirkan? Menghabiskan liburanmu kali ini dengan bermain, hm?"

Ayah tersipu. Neneknya rupanya bisa menebak jalan pikirannya.

"Tapi kamu jangan terlalu senang! Aku sudah memberitahu gurumu untuk memberimu PR yang banyak supaya kau tidak bermain terus setiap hari."

Mata Ayah membelalak tidak percaya. "Ahu bohong! Guruku tidak memberi PR apapun untuk kukerjakan liburan ini."

Tentu maksud Nenek Buyut hanya untuk menakut-nakuti Ayah saja tapi tidak diutarakannya. Dengan geli, Nenek Buyut menahan senyumnya sembari berkata, "Dia memang tidak memberimu di sekolah tadi, api dia akan datang kemari dan memberi PR khusus untukmu!"

Wajah Ayah sesaat memelas. Tapi sejurus kemudian ditatapnya Nenek Buyut lurus-lurus.

"Ahu tahu dari mana kalau guruku bakal datang ke rumah?"Ayah mulai curiga kalau dia sedang 'dikerjai' oleh Neneknya.

Akan tetapi Nenek Buyut dengan cepat berkilah berujar, "Tak perlu kau tahu bagaimana aku mengetahui kedatangan gurumu. Sekarang kemarilah dan bantu aku memotong bambu-bambu ini!"

Ayah dengan enggan menuruti perintah Nenek Buyut. Ketika sudah berada di samping Nenek Buyut, barulah Ayah melihat bilah-bilah bambu berserakan di sekitarnya.

Ayah memungut sebilah bambu dan memotongnya sesuai petunjuk Nenek Buyut.

"Buat apa membuat bambu-bambu seperti ini, Ahu?" tanya Ayah.

Nenek Buyut menjawab, "Bambu-bambu ini untuk memagari tanaman-tanamanku. Musim liburan telah tiba. Aku khawatir beberapa tanamanku dicuri orang..." Nenek Buyut melirik ke arah Ayahku. "Liburan tahun lalu, labu-labu siamku yang sudah sebesar dua kepalan tangan hilang tak berbekas. Lalu waktu liburan singkat bulan April kemarin, lobak putihku yang kutanam dengan susah payah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Hingga saat ini aku belum menemukan pencurinya. Suatu hari jika aku menangkapnya, entah satu atau dua orang, pokoknya akan kuhukum seberat-beratnya!"

Ayah dengan takjub memandang ke arah Neneknya.

Nenek Buyut juga balas menatapnya. Sepasang mata Nenek Buyut berkilat-kilat dan bibirnya mengeluarkan perkataan, "Sebenarnya aku curiga kalau yang melakukan pencurian ini adalah 'orang dalam' kita sendiri. Jangan-jangan...."

Nenek Buyut mencondongkan badannya ke arah Ayah sehingga Ayah agak ketakutan dan buru-buru berkata, "Bukan aku pelakunya, Ahu!"

"Kalau begitu siapa?" geram Nenek Buyut.

"Aku tidak tahu!"

Nenek Buyut menepuk kepala Ayah.

"Kalau aku sampai menangkap basah kamu mencuri di kebunku, rasakan sendiri akibatnya!"

Ayah menanggapi ancaman Neneknya dengan serius. Sambil mengusap-usap kepalanya, Ayah berikrar kepada Neneknya, "Pokoknya aku tidak berani!"

Pada saat bersamaan, dari dalam rumah muncullah Nenek. Melihat putra bungsunya sedang berbincang-bincang dengan ibu mertuanya, Nenek hendak ikutan nimbrung.

"Wah, wah, A Siu, kamu sedang bicara apa dengan Ahu-mu?" tanya Nenek. A Siu adalah nama kecil Ayah.

"Bukan bicara apa-apa!" sahut Nenek Buyut ketus.

Ayah melihat Ibu dan Neneknya bergantian dengan heran. Tapi Nenek hanya tersenyum simpul, mengisyaratkan kepada Ayah bahwa dia telah lumrah dengan sikap ibu mertuanya itu.

Pada saat Nenek tengah memperhatikan putra bungsunya sedang membantu ibu mertuanya memasang pagar bambu di sekeliling kebun, dari arah pintu pagar, masuklah seorang bocah lelaki lain berusia sembilan tahun. Dia masih mengenakan seragam sekolah dan memanggul tasnya.

"Ho Sung!" seru Ayah ketika melihat anak itu. Perasaan gembira terdengar jelas dari nada suaranya.

Bocah lelaki bernama Ho Sung itu menyeringai lebar ke arah Ayah. Lalu dia menyapa Nenek dan Nenek Buyut.

"Bibi, Nenek Weng, apa kabar? Bolehkah liburan kali ini aku tinggal lagi di sini?"

Belum sempat Nenek menjawab, ibu mertuanya sudah menyelutuk, "Memangnya kamu tidak punya rumah sampai harus menumpang di rumah orang lain setiap kali liburan?"

Kepala Ho Sung tertunduk. Sambil menatap sepatunya dia berkata lirih, "Kalau liburan, rumahku penuh sesak, Nenek Weng...."

Nenek tertegun mendengar penuturan Ho Sung. Nenek mengenal Ho Sung sebagai anak kedua dari keluarga Fong yang tinggal di ujung jalan sebelah utara. Kebetulan dia sekelas dengan Ayah. Dari cerita Ayah yang biasa Nenek dengar, Ho Sung itu bersaudara delapan orang. Pada hari-hari biasa, beberapa orang adiknya dititip ke rumah famili mereka dan baru dikembalikan pada saat liburan sekolah. Tidak heran mengapa setiap kali liburan sekolah Ho Sung selalu 'mengungsi' ke rumah orang lain—mengingat rumahnya yang kecil itu harus menampung sampai lebih dari sepuluh orang penghuni, otomatis suasananya akan lebih sesak dan gaduh daripada biasanya. [bersambung]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA