Sri dikejutkan oleh sebuah sedan Mercedes yang berhenti tiba-tiba di depan rumah itu. Ia segera menekan gas agar motornya bergerak. Namun jendela kaca di samping kanan mobil itu terbuka. Seraut wajah menyembul.
“Sri. Kamukah itu?” Liandra membuka pintu mobil. Sri terpana sesaat dan mematikan mesin motor.
“Mampirlah,” Liandra berdiri di samping mobil. Seorang pembantu membuka pintu gerbang.
“Saya baru tahu Ibu tinggal di sini,” kata Sri.
“Ayo mampir,” sekali lagi Liandra berkata. Sri mendorong motor perlahan ke arah Liandra. Sopir memasukkan mobil ke garasi.
“Masuklah,” kata Liandra, “Parman, bawa motor Sri masuk,” Liandra meneriaki sopir.
Ragu-ragu Sri mengikuti Liandra masuk ke rumahnya. Sama sekali tak dinyana ia akan benar-benar sampai di depan pintu rumah yang sedari beberapa bulan sangat ingin dimasuki sekaligus ditakutinya.
“Maaf, bukankah Ibu ke Shanghai dengan Pak Hendri?” tanya Sri.
“Ini baru datang. Saya cuma dua hari. Pak Hendri masih di sana dua hari lagi,”
Rumah itu benar-benar besar dan mewah dengan sentuhan oriental yang amat kental. Di setiap sudut ruangan banyak terdapat guci-guci porselin bergambar sosok-sosok Cina dalam pakaian tradisional.
“Duduklah,” kata Liandra. “Sudah lama saya sebenarnya ingin mengajak kamu ke rumah saya,” kata Liandra.
Ini benar-benar tidak terduga. Kenapa pula Liandra ingin ia berkunjung ke rumahnya. Sri perlu waktu lama untuk menebak-nebak. Jangan-jangan Liandra hendak ‘membajak’ nya untuk menjadi pembantu di rumahnya. Bukankah ‘pembajakan’ pembantu juga biasa terjadi?
“Rumah ini sepi sekali. Saya dan suami saya tidak punya anak. Hanya kami berdua bersama dua pembantu dan dua sopir,” Liandra menjelaskan. “Saya ke belakang dulu. Sebentar saya kembali,” Liandra lalu memanggil pembantu, menyuruhnya membuatkan Sri minum.
Sri memandang rumah itu berkeliling. Matanya lalu terpaku pada sebuah rak hiasan di dinding seberang ruangan. Bosan duduk menunggu, ia tergerak untuk lebih dekat memperhatikan ratusan pernik-pernik hiasan dan souvenir dari luar negeri yang ditata rapi dalam rak hias itu.
Sri jadi tak berminat menelusuri pernik-pernik itu ketika matanya sampai pada sebatang batu onyx dengan pahatan sebuah nama “Lie Siauw Yen”.
Sri tercekat beberapa saat. Bibirnya bergetar. Sejenak tak mampu ia berdiri tegak.
“Itu nama Cina saya sebelum saya berganti nama menjadi Liandra,” Liandra tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya, bersama dengan seorang pria yang terlalu tua untuk Liandra, duduk di atas kursi roda
“Kenalkan, Sri. Ini suami saya. Namanya San Chin Huang, panggil saja Pak San”
Pak San mengulurkan tangan dari kursi roda. “Siapa namamu?” tanya Pak San.
“Sri, Pak”
“Siapa?” Pak San mengulang dan membetulkan letak hearing-aid, sebuah alat bantu dengar yang menempel di telinga.
“Saya Sri, Pak, pembantu Pak Hendri,” ujar Sri sedikit keras. Baru tahu dia Pak San memakai alat bantu dengar.
Pak San mempersilakan Sri duduk. Sri merasa resah. Berulang kali ia menatap wajah Liandra. Liandra bisa menangkap perubahan pesat di wajah Sri.
“Itu betul-betul nama asli Ibu?” tanya Sri menunjuk batu nama pahatan itu.
“Ya, itu memang nama saya. Begini, lho. Ketika melihat kamu pertama kali, saya lantas teringat pernah punya tetangga di Surabaya dulu yang punya anak perempuan persis kamu. Umurnya tiga tahun. Saya sangat menyayangi anak tetangga itu, sering anak itu saya ajak main ke rumah saya, saya suapin dan segala macamlah.. Saya harus pindah dari rumah di Surabaya ke Jakarta setelah satu tahun tinggal di sana. Boleh percaya boleh tidak, ketika melihat kamu, dalam hati saya seperti melihat anak perempuan itu. Beginilah wajahnya ketika dia menginjak dewasa,” Liandra menyentuh pipi Sri dengan punggung tangannya. Ada getar-getar halus dari jemari Liandra ketika sampai di permukaan pipi Sri.
“Saya bahkan menggunakan bagian belakang nama anak itu untuk nama saya sendiri ketika ganti nama. Diandra nama anak itu,” Bu Liandra.
Kali ini Sri benar-benar seperti tersambar geledek. Matanya tiba-tiba berkunang-kunang dan menatap nanar Liandra.
“Kamu kenapa, Sri?” tanya Liandra.
“Tiba-tiba saya pusing, Bu. Maaf, saya harus pergi,” kata Sri berjalan cepat ke arah pintu.
“Sri, tunggu!” teriak Liandra.
“Maaf, Bu. Saya minta maaf,” Sri menstart motor dan meninggalkan Liandra dan Pak San yang berdiri terbengong-bengong di depan pintu rumah.
***.
Meski pikirannya sedang acak-acakan Sri tetap berusaha bekonsentrasi mengajari Prisma dan Devi mempersiapkan ulangan untuk besok. Ketika anak-anak sudah tidur, Sri masuk ke kamarnya dan menatap foto-foto Liandra untuk kemudian merobek-robeknya. Lama ia terlentang menatap langit-langit dan untuk beberapa saat rona putih langit-langit itu seperti menjadi layar yang memancarkan wajah ayah, ibu dan adiknya di Malang.
Keesokan harinya, setelah membereskan pekerjaan rumah, Sri pamit pada Bi Nani untuk keluar sebentar ke mall dan mencari Warnet. Sri sedang sibuk dengan ketikan e-mailnya ketika Astrid tiba-tiba telah berdiri di sebelahnya.
“Well, well, pembantu ini hebat betul, bisa pula pakai internet,” celetuk Astrid, cukup keras untuk membuat para pemakai Warnet lain menoleh ke arahnya. Astrid melongok ke layar monitor dan membaca ketikan e-mail Sri.
“Wah, lagi nge-mail ke adiknya. Ck! Ck! Ck! hebat sekali,” Astrid menebarkan decak kagum palsu.
“Siapa kau ini sebenarnya, Sri?” tanya Astrid mendekatkan wajahnya ke wajah Sri.
“Saya, Sri, Mbak Astrid, saya seorang pembantu yang kebetulan bisa Bahasa Inggris, bisa komputer dan bisa pakai internet. Apa ada yang salah?” ujar Sri perlahan berusaha sabar.
“Mbak Astrid sudah pulang dari Kuala Lumpur?” tanya Sri mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, dan aku tak perlu balik ke rumah Mas Hendri. Aku tinggal bersama Alex dan kami akan segera menikah,” kata Astrid. Sri menatap Astrid.
“Menikah?” ulang Sri.
“Ya, menikah. Jadi jangan kira kamu bisa berharap Alex akan mendekatimu lagi,” kata Astrid.
Sri tak habis heran Astrid mengiranya ia menginginkan Alex. Kalau tadi ia menaikkan nada suaranya waktu menanyakan kata ‘menikah’, itu karena sebelumnya ia pernah dengar Alex sudah beristri. Kenapa pula Astrid mau menikahi pria beristri?
Sepertinya Sri tak perlu ambil pusing itu. Tak perlu menjelaskan kepada Astrid bahwa Sri tak pernah berminat meyambut perasaan Alex. Kenapa pembantu harus ikut pening memikirkan urusan-urusan majikan dan keluarganya?
Sri ingin Astrid segera menyingkir darinya. Tapi Astrid seperti dengan sengaja berlama-lama menunggui Sri dan masih terus mencari-cari cara untuk mengejek Sri. Pada saat itu, tiba-tiba seorang pengguna internet di booth di hadapan Sri, seorang perempuan seusia Sri, menyapanya.
“Diandra! Is that you?” sapa perempuan itu. “What a surprise!”
Sri berusaha mengingat-ingat perempuan itu. Di Jakarta ini rasanya tak banyak yang ia kenal..
“Diandra. Ini aku, Fitri! Masak nggak ingat sih?” perempuan itu mengitari booth komputernya untuk menghampiri Sri.
“Fitri siapa, ya?” tanya Sri.
“Fitri Angraini. Kita sama-sama kuliah di University of Washington dua tahun lalu, ingat nggak?” Fitri menggenggam ke dua tangan Sri.
“Maaf. Mbak salah barangkali. Saya Sri, bukan Diandra!” Sri melepaskan genggaman tangan Fitri, membayar biaya internet di kasir dan menyingkir dari Warnet tanpa menghiraukan Astrid yang terbengong-bengong mengikuti gerakan Sri dengan tatapannya.
“Diandra! Tunggu!” Fitri berusaha mengejarnya.
Tapi Sri hilang di antara kerumunan pengunjung mall. Astrid mengikuti adegan ini setengah terpana. Perlahan ia menghampiri Fitri yang berusaha mencari-cari Sri di antara kerumunan orang-orang.
“Maaf, Mbak Fitri. Mbak benar-benar kenal dia?” tanya Astrid.
“Mbak ini siapa?” tanya balik Fitri.
“Saya Astrid. Diandra yang Mbak maksud tadi itu adalah Sri. Dia pembantu rumah tangga di rumah kakak saya,” jelas Astrid.
“Pembantu? Nggak mungkin!’ tegas Fitri, “Dia itu lulus summa cum laude, Sarjana S2, yang paling pandai di kelasnya,” jelas Fitri serius.
“Oh, begitu?” sela Astrid, “Kok kalian bisa kuliah sama-sama?”
“Kami sama-sama penerima beasiswa Fulbright untuk program graduate atau yang di sini kita kenal dengan nama program master. Kami kuliah di University of Washington di Seattle, Amerika Serikat. Saya ambil jurusan Anthropologi dan dia ambil jurusan Kajian Amerika. Dua tahun kami kuliah sama-sama dan tinggal di apartemen yang sama seperti yang saya bilang tadi. Mustahil dia nggak ingat saya. Dia asal Malang, kan?” kata Fitri.
“Betul, dari Malang. Tapi namanya Sri, lulusan SLTA, bukan Diandra. Kakak saya punya fotokopi KTP-nya atas nama Sri,” jelas Astrid.
“Gini aja deh, Mbak. Mbak Astrid punya alamat dan nomor telepon dia, kan? Boleh dong saya minta?” kata Fitri.
Astrid tak segera menjawab. Ia tengah sibuk menghubung-hubungkan beberapa fakta tentang Sri untuk mulai mempercayai ucapan Fitri. Sri cerdas, bisa Bahasa Inggris, bisa pakai komputer, bisa pakai internet. Wajahnya cantik dan bersih dan seleranya terhadap pakaian memang sesuai bila dia diasumsikan bukan sekadar lulusan SLTA. Astrid mengulum senyum. Ada alasan untuk percaya.
“Sori, ya Mbak Fitri. Saya nggak bisa kasih alamat atau nomor telepon. Bagaimana kalau Mbak Fitri aja yang kasih saya alamat dan nomor telepon. Nanti saya berikan kepada Sri. Kalau dia benar-benar Diandra, dia pasti akan kasih respon,” kata Astrid.
Fitri terlihat kesal dan tak habis mengerti kenapa susah betul memberikan alamat dan nomor telepon. Akhirnya ia merogoh dompet di tas dan mengais selembar kartu.
“Ini alamat kantor saya dan ini nomor telepon rumah dan HP saya,” Fitri menulis nomor tambahan itu di belakang kartu nama. Bener ya, Mbak. Tolong sampaikan,” pinta Fitri. Astrid mengangguk.
***.
Sri lega anak-anak tak mengalami banyak kesulitan dalam belajarnya. Agak lama ia berusaha menenangkan otaknya yang selama beberapa hari ini diserbu oleh informasi bertubi-tubi yang semuanya serba mengejutkan. Ia berjanji tak ambil perduli urusan Astrid, dan untuk sementara ia tak juga mau terganggu oleh kelebat-kelebat wajah Liandra, juga tidak mau berpikir panjang lebar soal Fitri yang mengira ia adalah orang lain.
Anak-anak baru saja berangkat tidur dan Bi Nani pun sudah mendengkur kecapekan di kamarnya. Walau lelah, Sri tak kunjung bisa tidur. Ia duduk sejenak di kursi yang biasa diduduki Anella dengan segelas air di tangan dan mencoba memandang seluruh bagian ruangan tengah seperti yang biasa Anella lakukan. Sri memandang berkeliling. Tak ada yang spesial kecuali rongga-rongga udara yang kosong di tempat biasanya Hendri masih terjaga selarut ini Entah kenapa Sri seperti bisa merasakan hampa itu dan sampai pada pendapat ruangan itu terasa lebih bercahaya dan lebih hangat bila ada Hendri di sekelilingnya.
Akhirnya kantuk itu datang menyerang dan Sri terlelap sampai ia terbangun oleh keringat yang membasahi dahi dan leher. Alangkah panasnya kamar dini hari itu.
Sri bangkit dan ke luar kamar mencari air minum. Ketika matanya dilayangkan ke luar jendela belakang rumah dan menangkap permukaan kolam renang, Sri bisa melihat desir angin menyapu permukaan air. Pasti sejuk di luar sana. Sri membuka pintu belakang dan merasakan semilir angin sejuk menerpa leher dan wajahnya. Ia melangkah ke pinggiran kolam dan duduk santai menatap permukaan kolam renang.
Alangkah damainya. Ia baru tahu beginilah caranya Anella mendapatkan sedikit kedamaian dari kebaikan alam menciptakan pemandangan indah di permukaan kolam renang.
Tiba-tiba Sri merasa ia perlu lebih banyak kesejukan. Ia melangkah ke sebuah pilar penyangga beranda belakang dan menyalakan lampu kolam renang. Kolam itu sekarang menebarkan cahaya hijau kebiruan. Sri berjongkok di tepi kolam renang dan menyapukan tangan ke permukaan air. Benar-benar menyejukkan. Akankah lebih segar bila ia berendam? Sri menoleh berkeliling. Sepi sekali.
Dengan kaos tanpa lengan dan celana pendek ketat ia menceburkan diri ke air sejuk dan berenang dengan gaya punggung beberapa kali panjang kolam renang. Kecipak-kecipak air terdengar jelas dalam sunyi dini hari.
Untuk sementara kesegaran itu bisa menjauhkannya dari pikiran yang mulai memberatkannya. Sesekali ia berhenti di kawasan dangkal dan menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, lalu ia menceburkan diri lagi seolah tak puas dengan kesegaran yang telah direguknya.
Setelah beberapa putaran, ia menepi, dan sekali lagi terpesona oleh desir air di permukaan kolam renang dengan angin pagi yang agak kencang berhembus. Rambutnya dibiarkan tergerai di belakang.
Saat itulah ia dikejutkan oleh dehem kecil dari arah pintu yang terbuka. Terperanjat ia mencari sumber suara itu. Di pintu yang terbuka ia melihat sesosok bayang-bayang menatapnya. Itu bayangan Hendri.
“Aduh, Pak Hendri. Maaf! Maaf,” Sri bangkit dan tergopoh mencari sesuatu untuk menutup tubuhnya. Tiba-tiba ia menjadi mengigil.
“Saya tidak tahu ada orang yang suka berenang di air dingin jam setengah tiga pagi. Saya kira tadi ada pencuri,” Hendri berjalan mendekati Sri yang memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan dan karena malu kaos tipis basah yang melekat langsung di dadanya tanpa pakaian dalam.
“Saya kepanasan dan sudah lama saya sebenarnya ingin berenang. Tapi saya tidak berani minta ijin untuk berenang. Maaf, saya lancang sekali, Pak!” kata Sri terbata-bata.
“Kau boleh berenang kapan saja di sini. Kamu kan bagian dari keluarga,” kata Hendri, “Kulihat kau juga pandai berenang”
Sri terpaku di tempatnya berdiri dan sesekali menyeka rambutnya yang basah. Hendri menatap Sri sesaat. Sulit menyembunyikan rasa kagumnya pada sebentuk pesona dini hari di hadapannya itu.
“Kau bisa masuk angin dengan baju basah begitu,” Hendri berjalan melintasi Sri, membuka lemari handuk di pojok dan mengangsurkan selembar handuk kepada Sri. Karena Sri ragu-ragu menerimanya, Hendri mengitari Sri dan menebarkan handuk itu untuk menyelimuti Sri dari belakang. Hangat handuk itu menempel di tubuhnya.
“Terima kasih, Pak Hendri,” kata Sri di tengah gemeletuk giginya. ”Saya tidak tahu Bapak sudah pulang dari Shanghai,” kata Sri.
“Saya datang jam dua belas semalam. Bi Nani yang membukakan pintu. Kau pasti tertidur pulas. Sudah, sana keringkan badanmu, buat secangkir teh untuk menghangatkan dirimu dan tolong buatkan saya kopi,” ujar Hendri.
“Baik, Pak!” Sri bergegas ke kamarnya, ganti baju dan ke dapur untuk membuat kopi. Dengan rambut basah tersisir dan pakaian kering, Sri menyuguhkan kopi. Hendri segera meneguknya.
“Bapak belum tidur sejak datang tadi?” tanya Sri berbasa-basi.
“Tidak bisa tidur,” jawab Hendri, “tak bisa berhenti memikirkan perusahaan yang kena berbagai macam peraturan baru ekspor dalam pertemuan di Shanghai,” ujar Hendri seperti mencoba berbagi keluh kesah.
“Anella menelepon?” tanya Hendri.
“Sama sekali tidak, Pak!”
“Oh ya, kata Devi kau menyelamatkan nyawanya di kolam renang?” Hendri menatap kalung yang melingkar di leher Sri.
“Secara kebetulan, Pak. Prisma-lah yang menyadari kakaknya dalam bahaya. Ia berteriak-teriak memanggil saya,” kata Sri.
“Terimakasih kau menyelamatkan nyawa anak saya. Kehadiranmu di rumah ini benar-benar seperti malaikat penyelamat,” Hendri memandang Sri penuh arti.
“Yang saya senang, Devi berubah jadi baik dan ramah pada saya dan lebih ramah pada setiap orang,” jelas Sri..
“Rupanya nyawa Devi perlu diselamatkan dulu sebelum jadi baik,” seloroh Hendri.
“Terus terang saya terharu ketika dia memeluk saya dan memberikan kalung ini,” Sri mengeluarkan liontin dari balik kaosnya.
“Ya, saya tahu. Aku suka kalung itu. Kau suka juga. ‘kan?”
“Suka sekali, Pak! Saya akan pakai terus!” kata Sri.
“Astrid tidak ke sini?” Hendri mengalihkan pembicaraan.
“Tidak, Pak!” jawab Sri. Hampir ia terlepas bicara ia tadi ketemu Astrid di Warnet. Sama sekali ia tak ingin panjang mulut menceritakan hal-hal yang ia dengar dan ia lihat dan tak perlu disampaikan kepada Hendri. Itulah sebabnya, ia juga tak perlu bercerita soal Liandra yang mengundangnya mampir ke rumah atau Astrid yang pergi menyusul Alex ke Kuala Lumpur. Untuk yang terakhir ini, muda-mudahan Devi, Prisma dan Bi Nani tidak akan bicara pada papanya.
“Anak-anak belajarnya bagaimana?”
“Semuanya lancar. Mereka itu pintar-pintar. Hanya perlu diarahkan konsentrasinya. Saya tidak perbolehkan mereka nonton TV selagi belajar,” kata Sri.
“Baguslah, kau memang pantas dapat kalung adenium big mama itu,” Hendri tersenyum, “masih berencana berhenti kerja?”
Sri menunduk dan memeluk nampan kopi. “Mungkin tidak dalam satu dua hari ini,” kata Sri.
“Baiklah, saya akan mulai cari pembantu lagi kalau begitu. Beri saya waktu sampai dapat pembantu yang cocok seratus persen walaupun saya tidak yakin bisa dapatkan sampai kapanpun,” kata Hendri.
Dan obrolan dini hari itu harus berakhir. Jam weker Bi Nani berdering keras. Hari baru telah dimulai. Setumpuk pekerjaan rumah rutin sudah menanti.
PART.10
Devi dan Prisma meloncat turun dari mobil Kijang sepulang les Bahasa Inggris persis ketika taksi Anella berhenti di depan pintu gerbang. Tanpa bicara, hanya dengan gerakan tangan, Anella mengisyaratkan agar Sri segera membawa masuk barang-barang bawaan. Anella benar-benar kusut masai dan berantakan. Ini wajah Anella paling kumuh yang pernah ia lihat.
Sri menutup pintu gerbang, membawakan tas Anella masuk, dan kembali ke halaman untuk menyiram tanaman. Tiba-tiba seorang pria bersepeda motor berjaket kulit mengguncang-guncang pintu gerbang dengan kasar.
“Ada apa, Mas?” Sri mendekati.
“Ini rumah Anella?” tanya pria berhelm full-face itu. Suaranya terganggu moncong helm.
“Betul,” jawab Sri.
“Kamu Anella?”
“Bukan, saya pembantunya!”
Pria itu mengais sesuatu dari balik jaket.
“Kasih ini ke suami Anella. Ingat ke suaminya, bukan ke Anella! Awas, kalau salah ngasih, gue cari lo!” dengan kasar pula pria itu melemparkan setumpuk kertas ukuran post-card ke tangan Sri. Pria itu langsung tancap gas.
Sri menimang bungkusan itu. Jelas sekali itu adalah setumpuk foto dalam bungkus plastik yang tidak dikemas dengan rapi. Foto-foto itu jatuh berhamburan ketika Sri membolak-baliknya.
Sri memunguti foto dari lantai dan bergidik melihatnya. 20 lembar foto berwarna itu jelas-jelas memampangkan berbagai pose Anella bermesraan tanpa busana dengan seorang lelaki ganteng di berbagai kamar yang Sri yakini sebagai kamar-kamar hotel.
Sri mendekap mulutnya sendiri dan melayangkan pandangan ke dalam rumah untuk memastikan tak ada yang tahu ia menerima foto-foto itu. Untung Devi dan Prisma tak sedang berada di halaman.
Sri mematikan kran air dan membawa foto-foto itu ke kamar. Dikuncinya pintu kamar rapat-rapat.
Gemetar Sri meneliti foto-foto itu. Jelas sekali foto-foto itu memuat gambar-gambar dengan tanggal dan jam yang beragam yang dimulai enam bulan lalu. Jelas pula dalam foto itu Anella menampakkan raut yang bahagia, penuh senyum dan kenikmatan. Sayang sulit bagi Sri untuk tahu dari foto itu apakah Anella sadar ia sedang dipotret dalam pose-pose itu.
Perlahan Sri mulai paham kenapa Anella selalu pergi lama meninggalkan rumah. Ia juga mulai tahu kenapa ia demikian dingin pada Hendri, suaminya sendiri. Ia jadi tahu berapa banyak kehangatan hidup berkeluarga diabaikan begitu saja oleh Anella untuk mendapatkan kehangatan lain di luar rumah.
Lelaki inikah yang telah merenggut Anella dari pagar rumahnya? Kenapa Anella yang amat cantik dan seksi dengan karir yang mapan melakukan ini? Kenapa ia mesti mengkhianati Hendri?
Sri mengamati wajah lelaki di foto itu dengan cermat. Kenalkah Sri pada lelaki itu? Ini bukan lelaki yang pernah Sri lihat atau kenal selama tinggal di rumah Hendri.
“Kasih foto-foto ini ke suaminya,” masih terngiang-ngiang pesan pria itu. Bagaimana mungkin Sri memberikan ini pada Hendri? Bagaimana perasaan Devi dan Prisma jika melihat foto-foto ini? Sri tak menyangka ia akan mendapatkan beban pikiran yang bertubi-tubi dan ia merasakan rumah ini segera terbakar.
Lama Sri tercenung di kamarnya yang terkunci dengan foto-foto itu di pangkuannya. Selintas ia membayangkan senyum ceria sekaligus masa depan Prisma dan Devi. Anak-anak yang baik dan manis. Haruskah mereka melewati masa-masa yang pasti bakal tak menyenangkan ini?.
Sri menyusupkan foto-foto itu ke bawah lemari yang paling tersembunyi dan bertekad tidak menyentuhnya dan tidak menunjukkannya kepada siapapun. Kalau api-api kecil mulai berserakan di rumah ini dan siap membakarnya, maka Sri akan mencoba sekuat tenaga mematikan percik-percik api itu. Hendri, Prisma dan Devi terlalu berharga dan terlalu manis untuk mendapatkan kejutan keji ini. Sri yakin mereka belum siap untuk ini. Harus ada jalan untuk meredam bara-bara yang makin menyala. Tapi bagaimana caranya?
***.
Menjelang petang Astrid yang katanya tak mau balik ke rumah Hendri, ternyata muncul juga. Begitu melihat Astrid datang, Anella langsung menggiringnya masuk ke kamarnya.
“Kau menyusul Alex ke Kuala Lumpur?” tanya Anella pada Astrid.
“Ya, tak pernah aku sebahagia ini. Kami akan segera menikah,” kata Astrid tak merasa bersalah.
“Kamu jangan gila! Alex itu sudah beristri. Kintan, mantan pramugari pacar lama Alex. Ia tinggal di Manado,” jelas Anella. Di luar dugaan Astrid malah tersenyum nakal.
“Aku tahu,” kata Astrid.
“Kamu tahu?” tegas Anella.
“Selama ini ia berbohong kalau masih lajang. Pada aku ia mengaku punya istri, dan ia akan menceraikannya. Alex tidak mencintai Kintan ditambah lagi istrinya selingkuh,” kata Astrid.
“Ya, ampun!’ Anella menepuk dahinya.
“Kau yakin Alex mencintaimu?”
“Tidak diragukan! Dia bahagia banget bisa melewatkan malam-malam bersamaku di Kuala Lumpur, dan aku jauh lebih bahagia karena aku mencintainya,” kata Astrid, tidak perduli dan tidak perlu memberitahu Anella bahwa dalam waktu hampir bersamaan Alex pernah menunjukkan sukanya pada Sri sang pembantu.
“Lalu, ‘rencana’ kita gimana?” tanya Anella.
“’Rencana’ kita gagal total. Aku nggak mau lagi,” kata Astrid. “Teteh cari saja cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangga teteh. Aku mau tenang belajar mencintai Alex lebih baik dan mengajari Alex mencintaiku lebih dalam,” kata Astrid serius. Anella termenung sesaat.
“Sekarang aku mau ngomong soal Sri,” kata Astrid.
“Kenapa memangnya Sri?”
“Teteh nggak pingin tahu siapa Sri sebenarnya?” tanya Astrid.
“Maksudmu?”
“Maksud aku, apakah Teteh nggak curiga. Sebagai pembantu rumah tangga ia terlalu cerdas; bisa bahasa Inggris, bisa internet, bisa komputer, bisa setir mobil, bisa segala macam, cantik, kulitnya bersih, dan tahu nggak, Teh, waktu aku memergoki dia di Warnet, ada seorang perempuan yang ngotot ia kenal Sri dan memanggilnya dengan nama Diandra.”
“Diandra?” ulang Anella.
“Ya, cewek itu, namanya Fitri, bilang ia kuliah program master sama-sama di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat dan tinggal di apartemen yang sama di kota itu selama dua tahun,” jelas Astrid.
“Sri kuliah master di Amerika Serikat?” tanya Anella tak percaya.
“Ya. Masak perempuan itu bohong? Dua tahun mereka berteman. Mana mungkin Fitri lupa,” tegas Astrid.
“Astaga!. Terus kenapa ia mau-maunya bersusah payah kerja jadi pembantu?” Anella bertanya sendiri.
“Itulah yang kita harus tahu. Kita harus selidiki. Kita ‘kan tidak tahu jelas alasan dia mau kerja di sini jadi pembantu. Siapa tahu ia berniat jahat pada keluarga Teteh. Setiap misteri pasti berlatar belakang misteri pula”
“Ide bagus. Lalu bagaimana cara menyelidiki dia?” kata Anella.
“Gampang, bahkan sekarang juga kita bisa mulai. Nah, suruh Sri keluar kemana gitu, nanti aku jelaskan rencananya,” kata Astrid.
Anella tak berpikir panjang. Ia mengais uang di dompet dan mencari Sri. Ia mendapati Sri tengah mencuci piring di dapur.
“Sri, bisa kau tolong belikan aku pelega tenggorokan Fishermen’s Friend. Cari yang extra strong dan sugar-free. Sekarang, ya!” Anella mengangsurkan uang. Sri langsung ke garasi, menstart sepeda motor dan melaju ke toko swalayan.
“Sudah pergi dia?” tanya Astrid.
“Barusan. Aku suruh dia cari Fishermen’s Friend extra strong yang sugar-free. Aku tahu toko swalayan di perumahan ini tidak punya pelega tenggorokan yang seperti itu. Dia pasti akan putar-putar ke beberapa toko lain untuk mendapatkannya. Paling tidak setengah jam,” kata Anella. “Apa rencanamu?”
“Kita geledah kamarnya!” Astrid mendahului masuk kamar Sri. Anella menyusulnya. Bi Nani melongo melihat kedua kakak beradik ini menyerbu ke kamar Sri diam-diam.
“Seperti membeli kucing dalam karung,” komentar Bi Nani pelan melihat gerak-gerik Anella dan Astrid.
Berhati-hati Astrid dan Anella memeriksa setiap jengkal kamar Sri. Astrid menelusupkan tangan ke setiap tumpukan pakaian di lemari, membongkar tas kain Sri.
“Ada HP Nokia 7260, jauh lebih mahal katimbang Siemens M55 yang teteh belikan,” Astrid melemparkan HP ke tempat tidur. Anella menyambar HP itu, membuka padlock dan memeriksa sent items pada ikon message HP. Sebuah sms yang terakhir dikirim Sri ke sebuah nomor HP berbunyi. “Mirna, bilang Papa mulai ada titik terang apa yang aku cari. Aku yakin pasti segera menemukannya. Doakan ya”
“Apa gerangan yang dia cari?” tanya Astrid.
“Ini dompetnya. Coba periksa,” Anella menemukan dompet Sri di laci lemari. Tak sabar Astrid membongkar isi dompet itu.
“Ada kartu kredit Citibank atas nama Diandra Almira. Nih, lihat, ada dua KTP,” Astrid membaca KTP itu. “Satu atas nama Sri Purwanti, dan satu lagi atas nama Diandra Almira, tinggal di Batu, Jawa Timur. Yang atas nama Diandra fotonya lebih mirip dengan Sri!” Astrid menunjukkan KTP itu.
“Jadi benar dia itu Diandra!” Anella tercenung, sementara Astrid masih sibuk mencari-cari. Anella menggenggam KTP Diandra.
“Oke, kita sudahi penyelidikan ini. Jangan-jangan dia muncul,” kata Anella.
Astrid menata kembali semua barang yang diacak-acak serapi mungkin dan diusahakan dikembalikan seperti sedia kala.
Dan benar saja, Sri kembali beberapa menit kemudian dengan permen pelega tenggorokan pesanan Anella.
“Tak usah banyak bicara dulu, biar aku yang selesaikan besuk,” kata Anella di telinga Astrid.
Malam itu, Sri bisa merasakan suasana rumah demikian tegang dan setiap detik suhunya terasa makin panas. Astrid selalu menghindar bertegur sapa dengan Hendri, dan Anella lebih banyak mojok dengan Astrid dalam berbagai kesempatan. Bi Nani ikut-ikutan tegang. Sedari tadi ia seperti mau menyampaikan sesuatu pada Sri, tapi terus diurungkan dan diurungkan lagi Sementara Sri merasa sorot-sorot mata diarahkan kepadanya, dan itu membuatnya amat kegerahan. Satu-satunya hal yang menyejukkannya gaduh-gaduh kecil Devi dan Prisma yang berdebat soal nama-nama tokoh dalam komik-komik Jepang yang mereka baca.
***.
Astrid pergi pagi-pagi sekali keesokan harinya dan melempar senyum kecil pada Sri sambil berbisik dekat di telinganya.
“Sampai jumpa, Diandra!”
Sri tak menyahut, memegang gagang sapu sambil menatap Astrid yang hilang ditelan pintu taksi.
Anella menunggu sampai semua orang meninggalkan rumah, dan sepanjang pagi itu Sri merasakan udara yang makin sesak dan penuh kecurigaan di rumah itu. Gerangan apa yang akan terjadi?
“Diandra!” Anella berseru kecil saat Sri membenahi tanaman aglonema dan sansivera meja-meja ruang tamu.
“Diandra!”
Merasa dipermainkan dengan nama itu, kali ini Sri menoleh.
“Nama saya Sri, Bu! Saya bukan Diandra seperti yang dikira perempuan bernama Fitri itu. Ibu pasti dapat cerita dari Mbak Astrid”
“Bukan Diandra, heh? Lalu ini apa?” Anella membentangkan KTP Diandra di hadapan Sri.
“Diandra Almira, tinggal di Batu, umur 26 tahun, seorang master Kajian Amerika, lulusan University of Washington di Amerika Serikat. Pintar Bahasa Inggris, cerdas, bisa komputer, faham internet, punya HP Nokia 7260, punya kartu kredit. Dan kau selama ini berbohong, dan pintar berpura-pura. Siapa kamu sebenarnya?” tanya Anella tenang tapi garang.
Sri meletakkan gunting tanaman di meja dan menghampiri Anella. Sri menatap lurus dan tajam ke arah mata Anella.
“Itu memang saya! Sri Purwanti itu pembantu saya di Malang,” akhirnya Sri tak tahan menyimpan rahasia. “Apa salahnya seorang sarjana S2 bekerja menjadi pembantu?” kata Sri tak kalah tenang. “Ibu bisa lihat saya bekerja lebih baik daripada pembantu lain di rumah ini. Saya tidak rumpi di depan rumah, tidak genit pada pedagang sayur dan saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah dari yang paling bersih sampai yang paling kotor sekalipun….”
Tak sabar Anella menyela :
“Pekerjaannya tidak salah, tapi motifnya tidak jelas bagi saya. Mengakulah, kenapa kau bertahan menjadi pembantu di rumah ini, sementara kau bisa cari pekerjaan yang lebih sesuai dengan gelar sarjana mastermu? Apa pula yang kau maksud dalam sms kepada seseorang yang kau panggil ‘Mirna’ dengan mengatakan kau mulai menemukan titik terang apa yang kau cari. Apa maksud dan tujuanmu sebenarnya?” serang Anella.
“Maaf kalau saya tidak bisa mengatakannya. Ini terlalu pribadi. Tapi mohon Ibu percaya, saya tidak bermaksud jahat pada Ibu dan keluarga Ibu. Ini tidak ada kaitannya dengan keluarga ibu,” kata Sri alias Diandra.
“Boleh jadi begitu. Tapi kemisteriusanmu sangat mengganggu saya. Tolong katakan yang sebenarnya apa tujuanmu?” desak Anella, tak sabar.
“Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengatakannya. Tapi seandainya Ibu minta saya pergi dari rumah ini, saya bisa pergi sekarang juga dan tidak akan mengusik keluarga Ibu,” Sri berhenti sesaat.
“Tapi sebelum saya pergi, ijinkan saya menunjukkan sesuatu pada Ibu,” kata Sri.
Anella memandang Sri. Kalau tadi ia merasa sukses menyerang Sri, kini ia perlu waspada akan dapat serangan tak terduga dari Sri.
“Kau mau menunjukkan apa?” Anella bicara dengan nada yang seolah meremehkan bakal informasi yang diberikan Sri.
“Ibu bisa ke kamar saya?” kata Sri.
“Kenapa tidak di sini saja?” jawab Anella.
“Ibu akan menyesalinya kalau kita bicara di sini,” ujar Sri. Anella merasakan kata-kata Sri sebagai intimidasi awal, “Saya tidak mau pembicaraan kita terdengar siapapun,” tambah Sri.
Anella terpaksa mengikuti Sri ke kamarnya.
Sri mengunci pintu begitu mereka berada di dalam kamar. Ia merogoh sesuatu dari bawah lemari pakaian. Anella mengikuti setiap gerakan Sri dengan tenang.
“Ini dikirim kemarin sore, tak lama setelah Ibu sampai, oleh seorang pria bersepeda motor. Foto-foto dikemas dalam plastik persis seperti ini ketika saya terima. Ia menyuruh saya memberikannya kepada Bapak, bukan kepada Ibu. Saya tak berani dan tak tega memberikannya kepada Bapak. Sebaiknya Ibu lihat sendiri,” Sri memberikan foto-foto itu kepada Anella.
Bergetar tangan Anella meneliti satu persatu foto itu. Ia lalu jatuh terduduk di tempat tidur Sri. Anella menggigit bibir dan airmatanya mulai berjatuhan, nafasnya tersengal-sengal menahan amarah dan kecemasan luar biasa.
“Bajingan! Bajingan betul Gunawan itu!” Anella nyaris berteriak histeris. Sri mengisyaratkan agar Anella tidak perlu berteriak-teriak supaya tidak terdengar Bi Nani. Sri menuangkan air dari botol air mineral ke gelas kosong.
“Tenangkan diri Ibu. Silakan minum.” Sri menyodorkan gelas itu. Anella meneguk air itu. Nafasnya masih tersengal-sengal. Ia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya.
“Seharusnya aku tidak membiarkan dia membuat foto-foto ini. Aku nggak tahu ia akan mengirimkannya kepada Hendri,” kata Anella.
Sri duduk di samping Anella dan mengusap punggungnya.
“Saya tahu ini beban berat bagi Ibu.Karena inilah selama ini Ibu harus berbohong dan berbohong terus kepada Bapak. Dan itupula yang menyebabkan Ibu sulit berbagi perhatian kepada Devi dan Prisma. Saya sebenarnya bisa merasakan ini ketika ibu minta saya berbohong soal oleh-oleh dari Jogja itu, dan ketika saya menemukan sobekan boarding pass pesawat dari Surabaya yang pada waktu itu Ibu mengaku diantar sopir dari Semarang,” kata Sri.
Anella tak menyahut. Bahunya naik turun menahan hisak. Demikian tak berdayanya wanita cantik itu saat ini.
“Mohon dengar, Ibu. Untuk meringankan beban Ibu, Ibu bisa cerita semuanya pada saya, nanti kita cari caranya agar ini bisa berakhir tidak terlalu fatal,” kata Sri.
Anella meneguk lagi airnya, dan mencoba sekali lagi menguasai diri.
“Gunawan itu cinta pertamaku sewaktu SMA di Bandung. Kami putus waktu aku hampir menyelesaikan kuliah dan tak pernah bertemu lagi sejak saat itu Enam bulan lalu aku kebetulan menjadi konsultan sistem administrasi di kantornya, sebuah Kantor Akuntan Publik di Bandung. Pertemuan itu rupanya meletupkan kembali benih-benih cinta yang dulu pernah aku dan dia rasakan. Mulanya kami hanya bertukar sms atau telepon tanya kabar dan saling menceritakan kegiatan masing-masing. Sebenarnya, sms-sms itu biasa saja seperti dua teman lama yang baru ketemu lagi. Tapi pada saat itu aku sedang dilanda amarah karena aku tahu Hendri sekamar dengan Liandra ketika sedang bisnis di Singapura. Aku tak percaya begitu pada Hendri yang bersikukuh tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Aku tahu Liandra memang beberapa tahun lebih tua, tapi perempuan itu masih cantik dan sangat menarik dan mungkin pula ia perlu kehangatan karena suaminya, yang harus dirawat di kursi roda, tak bisa lagi memberinya. Rasa tak percaya pada Hendri itu makin menggumpalkan kebencianku padanya. Dan sms-sms Gunawan yang penuh perhatian, penuh sanjungan kian lama kian terasa sangat menghibur, dan itu membuat aku makin terlena. Kata-kata manisnya, cerita-cerita nostalgia semasa pacaran terus bermunculan di sms-sms kami. Hidupku jadi penuh warna. Lama-lama sms-sms itu lebih banyak berisi janji temu untuk makan siang atau ketemu di suatu tempat ketika ia sedang di Jakarta. Selebihnya kami mulai bikin janji makan malam, dan bahkan ia punya banyak akal untuk menemuiku di kota di mana aku sedang bertugas. Aku makin asyik dengan pertemuan-pertemuan itu, dan makin merasa aman dan nyaman di sisinya, apalagi Hendri masih sering bepergian ke luar negeri dengan Liandra meski aku sering menunjukkan perasaan tak senang,” Anella meneguk airnya dan menyeka airmata.
“Suatu hari ketika aku sedang bertugas di Surabaya. Gunawan menyusulku dan menginap di kamar hotelku. Kami bercinta dengan penuh gairah seolah menemukan cinta kami kembali yang tak sempat pernah sampai ke pernikahan. Kami terus terbuai. Ia mengikutiku kemana saja aku pergi, dan tak pernah semalampun kami lewatkan tanpa bermesraan,” Anella menyeka hidung. Sri memberinya selembar tisu.
“Selama aku berhubungan dengan Gunawan, aku enggan disentuh oleh Hendri karena aku tak bisa dimesrai oleh dua orang yang berbeda di saat yang sama dan tak bisa membohongi Hendri yang menganggap tubuhku hanya miliknya. Aku tahu aku dan Gunawan telah sangat berdosa. Ia melupakan istri dan anak-anaknya, aku melupakan Hendri, Devi dan Prisma,” Anella terhisak lagi. “Aku tak tahu sebesar apa dosaku kepada keluargaku,” air mata Anella berderai lagi.
“Ibu punya rencana untuk berterus terang kepada Bapak, dengan segala konsekuensinya?’ tanya Sri.
“Sudah lama aku pikirkan itu. Tapi aku selalu merasa waktunya belum tepat. Aku tak kuasa melihat wajah Devi dan Prisma kalau tahu ini. Mereka tak seharusnya mendapatkan ini!”
Sri membiarkan Anella terhisak sepuasnya.
“Menurut Ibu kenapa Gunawan mengirimkan foto-foto ini kepada Bapak?” tanya Sri kemudian setelah isak Anella mereda.
“Setelah sekian lama berhubungan, aku mulai merasa ini sangat tidak benar. Tapi semuanya sudah terlanjur mengarah ke kehancuran keluarga masing-masing. Cepat atau lambat hubungan ini akan terkuak. Gunawan berencana akan berterus terang kepada anak istrinya dan pasrah dengan akibat-akibatnya dan iapun meminta aku melakukan hal yang sama. Kami bahkan sepakat untuk segera menikah dan meninggalkan keluarga masing-masing. Gunawan kemudian memang berterusterang kepada istrinya dan ia siap menerima gugatan cerai dari istrinya. Gunawan juga menuntut aku melakukan hal yang sama. Tapi kemudian aku merasa ini terlalu berat. Aku tidak begitu saja akan bisa meninggalkan Hendri dan anak-anak. Dan inilah yang memunculkan satu ide yang menurutku agak jahat. Aku berpikir aku bisa menyelamatkan keluargaku, dan sebisanya menghindarkan menikah dengan Gunawan. Aku terus mengulur-ulur waktu. Inilah yang membuat Gunawan merasa tak aman dan menganggap aku mempermainkannya. Foto-foto itu dikirimkan pada Hendri agar Hendri segera tahu ketidakberesan ini,” jelas Anella
“Maaf, soal hal yang kata Ibu ‘niat jahat’ tadi, apa maksudnya?” tanya Sri.
“Guilty trap atau perangkap bersalah, yakni suatu cara membuat agar orang lain merasa bersalah. Aku sengaja memasang perangkap dengan meminta Astrid menggoda Hendri dan membiarkan Hendri tidur dengan adikku sendiri. Ini yang kusebut ‘rencana’ dengan Astrid. Rencana ini tidak berhasil, dan kamu memergokinya. Astrid cerita soal itu lewat sms,” kata Anella.
“Aku memang tak bermoral mengorbankan adikku sendiri. Tapi percayalah, Astrid sudah tidak perawan sejak kelas 2 SMA, dan aku rasa tak ada salahnya ia melakukan itu for fun, seperti yang Astrid katakan sendiri ketika menyetujui rencanaku,” ujar Anella benar-benar tanpa rasa bersalah.
“Lalu apa tujuan guilty trap itu?” tanya Sri. Anella menatapnya.
“Menyamakan skor,” kata Anella.
Sri mengernyitkan dahi. “Saya tidak mengerti maksud Ibu,” kata Sri.
“Untuk membuat agar aku dan Hendri sama-sama bersalah, sama-sama pernah selingkuh, sehingga skornya 1 – 1, sehingga ada alasan untuk dengan enak melupakan kesalahan masing-masing,” kata Anella polos.
“Astaga!” gumam Sri.
“Tapi rencana itu tidak berhasil. Hendri terlalu kokoh. Dan itu yang membuat aku beralih percaya dia tidak pernah berbuat yang tidak semestinya dengan Liandra atau dengan siapapun. Aku jadi benar-benar percaya ia hanya mencintai aku, sementara aku terbukti terlalu mudah mengkhianatinya. Sekarang aku benar-benar tak punya cara untuk menyelamatkan perkawinan ini. Rasanya aku harus merelakan semuanya. Biarlah kuanggap ini sebagai balasan bagi dosa-dosaku,” kata Anella.
“Tapi bagaimana dengan Devi dan Prisma? Mereka anak-anak yang manis dan baik. Mereka tak perlu mendapatkan ini. Ibu punya dua mutiara yang masa depannya masih panjang,” kata Sri.
“Masa depan mereka bisa lebih baik tanpa aku,” Anella menatap Sri seolah ingin Sri menyetujui ucapannya. Sri tak menjawab. Ia menerawang jauh ke dinding kamar.
Sri dan Anella sesaat masing-masing tak bersuara dan menikmati sunyi yang tiba-tiba menyelinap di antara keduanya.
“Baiklah, sudah terlalu banyak aku berkeluh-kesah padamu. Kau bukan sekadar pembantu sekarang. Kau adalah orang pertama yang tahu semuanya. Sekarang maukah kau juga berbagi rahasia denganku. Maukah kau ceritakan siapa dirimu sebenarnya dan kenapa kau ada di sini?” Anella sekali lagi menatap mata Sri dalam-dalam. Sri membalikkan badan, menghadap Anella.
“Nama saya Diandra Almira. Ayah saya Sugiarto, yang selama hidup kerja jadi sopir. Nama ibu kandung saya Lie Siauw Yen alias Liandra,” kata Sri tegas.
“Liandra? Bu Liandra maksudmu?” Anella terperangah.
“Ya. Mungkin Ibu tidak percaya. Sejak bertemu Bu Liandra pada jamuan makan malam itu, saya merasakan getar-getar tertentu yang mengisyaratkan ada sesuatu dengan Bu Liandra. Agaknya Bu Liandra merasakan hal yang sama. Kemarin, Bu Liandra secara tak sengaja mengundang saya ke rumahnya, ke rumah yang alamatnya sudah lama saya kantongi dari Malang. Rumah inilah alasan saya berada di perumahan ini pada hari saya menolong Prisma ketika terperosok ke selokan”
“Liandra meninggalkan ayah dan saya pada saat saya masih berusia empat tahun. Orangtua Liandra tak rela ia harus menikahi seorang lelaki Jawa yang miskin, dan menikahkannya dengan perjaka tua kaya raya dikenal sebagai Pak San itu,” kata Sri.
“Ayah sangat mencintai Liandra. Sepeninggal Liandra, ayah seperti kehilangan harga diri dan gairah hidup. Luka hati ayah baru tersembuhkan ketika bertemu Retno tiga tahun kemudian, perempuan yang menjadi istrinya dan ibu Mirna, adik saya. Ayah dan Retno merahasiakan itu sampai setahun lalu, ketika saya balik dari belajar di Amerika. Meski ayah tak pernah cerita soal Liandra, samar-samar saya masih ingat pernah ada sosok lain selain Retno dalam hidup saya. Selain itu saya merasakan ada banyak perbedaan fisik antara saya dan Retno atau Mirna. Sewaktu SMA saya malah pernah membuat penelitian genetis dengan mengambil sampel darah anggota keluarga saya sendiri dan terbukti saya tidak sedarah dengan Retno,” Sri berhenti bicara, dan menyeka matanya yang berkaca-kaca.
“Ayah tetap miskin cuma dengan bekerja menjadi sopir, dan kena stroke,” tambah Sri.
Saya harus turut membantu kerja seperti yang pernah saya ceritakan pada Ibu Hendri dulu agar saya bisa kuliah karena ibu cuma buka warung kecil barang kebutuhan di rumah. Saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, dan selepas kuliah saya mendapatkan beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika. Sekembali dari Amerika saya sempat menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi swasta di Malang selama hampir enam bulan. Dan pada saat itu saya mulai terusik untuk mencari dan menemukan Liandra, ibu kandung saya. Saya membuat kontak dengan sejumlah rekan di seluruh Indonesia yang saya kenal lewat e-mail, melacak nama Cina ibu saya dan akhirnya menemukan nama Lie Siauw Yen lewat search browser pada website Yahoo!. Nama Lie Siauw Yen muncul sebagai penulis artikel tentang industri garmen Indonesia pada sebuah seminar di Singapura. Dari situ saya terus melacak dan melacak sampai saya menemukan alamat Liandra,” kata Sri.
“Sungguh menarik kisah itu. Apakah Bu Liandra tahu kau anaknya?”
“Mungkin ia tahu. Tapi di rumahnya kemarin, ia cuma mengatakan ia pernah akrab dengan bocah usia empat tahun anak tetangganya di Surabaya bernama Diandra. Saya tahu Liandra berbohong. Ia tak mau lekas mengakui Diandra adalah anak kandungnya,” kata Sri.
“Kamu sendiri tak bilang siapa dirimu atau ayahmu untuk memaksa Liandra mengakuinya?” tanya Anella.
“Saya akan menunggu sampai ia sendiri yang mengakuinya. Saya tidak akan meminta-minta,” kata Sri.
“Boleh jadi itu karena menyangkut soal warisan,” kata Anella tiba-tiba. “Bu Liandra tak punya anak dengan Pak San. Bu Liandra dan Pak San sama-sama anak tunggal dalam keluarganya. Jadi, kalau benar kau anak Liandra, kau akan mewarisi semua kekayaannya”
Sri tersenyum. “Itu sama sekali bukan tujuan saya. Saya hanya ingin dia meminta maaf pada ayah karena meninggalkannya begitu saja, dan mengakui saya adalah anaknya. Cuma itu. Saya tidak perduli pada harta berlimpah yang bukan hasil jerih payah saya; hidup miskinpun bisa indah!” kata Sri. Anella menatap Sri dan mengusap punggungnya.
“Kau orang baik, Sri. Ini saatnya aku harus berterimakasih kau telah membantu keluargaku dan membuat anak-anak tetap bahagia meski aku sering harus tidak berada di antara mereka saat dibutuhkan. Bagaimana aku harus membalas kebaikanmu?” kata Anella.
“Gaji yang Ibu beri, HP, kepercayaan Ibu dan Pak Hendri pada saya dan rasa nyaman dengan pekerjaan dan suasana rumah ini sudah cukup bagi saya,” Sri tersenyum. Anella membalikkan badan dan menatap tembok di hadapannya.
“Ya, kini kau tinggal menunggu kabar baik dari Liandra,” kata Anella, “dan kalaupun kau sudah mulai bosan dengan pekerjaan kotor seorang pembantu, kau boleh tinggalkan rumah ini kalau mau. Saya tidak akan menahanmu. Biar nanti saya pikirkan cara saya mengatasi masalah saya. Jangan kuatirkan anak-anak, untuk sementara saya akan lebih banyak tinggal di rumah”
Sri mendekapkan tangan ke tangan Anella.
“Bu, kalau Ibu ijinkan, saya akan tinggal beberapa saat di sini sampai saatnya tepat bagi saya untuk pergi. Saya akan tetap menjadi pembantu rumah tangga Ibu, dan membantu memikirkan jalan keluar terbaik bagi masalah Ibu”
Anella menatap Sri sekali lagi, dan memeluknya. Bagi Anella kini Sri bagai seorang teman lama, yang merupakan tempat terbaik untuk berkeluh kesah dan berbagi derita, dan mungkin menjadi salah satu kunci pemecah masalah.
“Aku tahu kau bermaksud baik. Aku tahu kau bisa diandalkan. Seandainya aku harus meminta pengorbananku untuk memecahkan masalahku, maukah kau membantu?” kata Anella dalam isak kecilnya. Sri mengangguk
“Saya akan coba, Bu Hendri. Saya akan coba! Hanya saja, bisakah kita saling menjaga rahasia agar Pak Hendri dan anak-anak tidak tahu masalah kita masing-masing? Biarlah saya tetap Sri pembantu, dan bukannya Diandra”
Anella mengangguk dalam pelukan Sri. Sebuah anggukan tulus. [bersambung]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
