Hendri kelihatan lebih segar, dan menikmati sarapan dalam sunyi. Tak perlu ia menanyakan kepada Bi Nani kenapa Astrid tidak keluar untuk sarapan. Hendri yakin Astrid masih marah besar padanya dan memilih untuk tidak bicara padanya untuk sementara waktu.
Di beranda terdengar Pak Rusman yang sedang bercengkerama dengan Bi Nani sambil menikmati secangkir kopi suguhan Bi Nani
“Pagi yang sepi sekali. Sepinya bak burung pungguk merindukan bulan,” kata Bi Nani pada Pak Rusman. Pak Rusman manggut-manggut, lebih suka meneguk kopinya dari pada susah-susah mencerna omongan Bi Nani yang, seperti biasa, bikin perumpamaan yang tidak sinkron.
Sebelum ke kantor Hendri menyempatkan diri ke rumah sakit menengok Prisma. Gadis kecil ini sudah ceria kembali; wajahnya terlihat sehat dan segar kembali. Ia melahap bubur lewat suapan Sri. Selang infus masih tertancap di lengan.
“Papa, kata dokter siang ini Pris boleh pulang,” teriak Pris begitu Hendri masuk kamar
“Oh, begitu. Baguslah!” ujar Hendri.
“Mama juga baru telepon ke Mbak Sri. Nanti sore pulang”
Ketika Prisma selesai sarapan, seorang perawat masuk.
“Maaf, bisa tunggu di luar. Saya akan melakukan beberapa check-up,” kata perawat.
“Pris, Mbak Sri dan Papa tunggu di luar, ya!” kata Hendri.
“Tapi Mbak Sri cepat balik ke sini, ya?” kata Prisma. Sri mengusap kening Prisma dan mengiyakan.
Hendri diam sesaat tatkala duduk di kursi tamu di beranda kamar rawat Prisma. Sri mengambil duduk agak jauh di seberang.
“Anella bilang apa tadi?” kata Hendri memecah sunyi..
“Ibu berpesan agar jaga makanan Prisma baik-baik dan bilang suruh complain ke sekolah Prisma agar tidak sembarangan mengundang promosi produk-produk minuman yang belum jelas keamanannya,” kata Sri, tidak berani menatap Hendri.
“Cuma itu?” tanya Hendri.
“Cuma itu, Pak. Selebihnya Ibu minta bicara dengan Prisma,” kata Sri.
“Jadi nanti siang Prisma bisa pulang?”
“Begitu kata dokter,” jawab Sri. Hendri mengeluarkan seamplop uang dari tas kerjanya.
“Hari ini saya akan sibuk sekali di kantor. Ini uang buat biaya rumah sakit. Tolong kau urusi semuanya baik-baik. Lalu segera bawa Prisma pulang. Suruh istirahat dulu, nggak boleh main”
Sri menerima amplop uang itu.
“Oh, ya Sri, soal semalam,” Hendri berhenti bicara, dan mencoba menangkap perubahan raut wajah Sri.
“Sepulang dari rumah sakit, kepala saya pening sekali. Astrid masih belum tidur dan membuatkan saya teh, lalu menawari untuk memijat kepala saya. Anella biasa melakukan itu. Semula saya dipijat di sofa. Lalu Astrid bilang lebih baik dipijat sambil berbaring di tempat tidur. Entah kenapa saya menurut. Saya diminta melepas baju agar dia bisa mengurut punggung saya dengan baik. Setelah memijat punggung dan tengkuk saya, ia minta saya berbalik. Ia sekali lagi memijat pelipis saya dengan kedua tangannya. Memang terasa rileks dan segar. Pada saat itulah ia mulai mencium dan menyerang saya setelah melepas bagian atas baju tidurnya. Saya khilaf, saya balas ciuman dan serangannya. Dalam bayangan saya dia itu Anella. Saya kemudian tersadar dan menghempaskan dia. Saya tidak melakukan yang lebih dari itu. Itu benar-benar kekhilafan. Betul-betul saya lepas kendali sesaat,” jelas Hendri. “Saya tak tahu harus ngomong apa kalau Anella tahu ini”
Sri menghela nafas, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons penjelasan Hendri. Jauh dalam hati Sri percaya pengakuan Hendri sepenuhnya.
“Untuk sementara mungkin Ibu tak perlu tahu,” jelas Sri setelah beberapa saat.
“Untuk sementara?” ulang Hendri.
“Ya, untuk sementara. Tapi pada akhirnya Pak Hendri harus mengatakannya pada Ibu. Itu akan jauh lebih baik daripada Pak Hendri tersiksa oleh perasaan bersalah, atau kalau Ibu tahu dari sumber lain,” ujar Sri.
Hendri menatap Sri. Lagi-lagi terkesima pada kebenaran yang tersimpan pada kata-kata Sri.
“Menurutmu, kenapa Astrid begitu?” tanya Hendri.
“Saya tidak tahu, Pak. Tapi mungkin saja Mbak Astrid menyukai Bapak lebih dari sekadar kakak ipar. Itu bisa saya lihat dari cara ia bermanja-manja dengan Bapak di kolam renang kemarin pagi. Ia butuh perhatian dan mengira Bapakpun butuh perhatian yang sama saat-saat ini,” kata Sri.
“Saya salut dan kagum pada Bapak yang tidak menganggap godaan itu sebagai kesempatan untuk melampiaskan rasa sepi Bapak tanpa kehadiran Ibu,” tambah Sri
Hendri menerawang jauh ke depan. Sri bisa merasakan betapa besar rasa berdosa itu dalam diri Hendri. Tapi sepertinya Hendri agak lega karena bisa melontarkan keresahannya pada Sri.
“Terima kasih, ya, Sri. Kau ternyata teman curhat yang sangat bermanfaat,” Hendri menyungging senyum kecil dengan tatapan ke mata Sri.
Perawat telah menyelesaikan tugasnya memeriksa Prisma. Terdengar teriakan Prisma memanggil Sri.
“Everything okay?” tanya Sri pada Prisma. Prisma mengangguk.
“Prisma, Papa ke kantor dulu. Siang ini kau pulang dengan Mbak Sri. Lanjutkan istirahat di rumah, jangan makan makanan yang keras-keras,” kata Hendri.
“Berarti makan bantal boleh dong?” seloroh Prisma. Hendri tersenyum, mengecup kening Prisma.
***.
Anella ternyata tidak datang sore itu, dan mengirim sms ke HP Sri ia baru bisa pulang besok paginya. Prisma tidak tampak kesal ketika diberitahu itu.
“Biar aja, ‘kan ada Mbak Sri,” demikian kata Prisma, keasyikan disuapi Sri.
“Nanti kalau sudah sembuh, Pris harus makan sendiri. Malu, masak anak kelas 3 makan disuapi,” kata Sri.
Telepon rumah berdering. Bi Nani yang terima.
“Sri, ada telepon buat kamu,” teriak Bi Nani.
“Dari siapa, Bi?” Sri menghampiri telepon.
“Nggak tahu, suara laki-laki!”
“Halo,” Sri menyambut telepon itu.
“Sri, ini Alex dari Kuala Lumpur. Aku coba menelepon HP kamu dan menulis sms, tapi tak bisa masuk. Aku ingin tahu kenapa kau menolak pemberianku”
Sri memutar badan membelakangi Bi Nani.
“Maaf, Pak Alex. Saya tak pantas menerima pemberian itu. Dan Pak Hendri menyarankan saya mengembalikan barang itu. Saya minta maaf,” kata Sri.
“Pak Hendri? Bagaimana Pak Hendri bisa tahu?”
“Saya beritahu”
Alex terdiam sesaat.
“Bisa aku ketemu kamu sepulang aku dari Vietnam minggu depan?” tanya Alex.
“Saya minta maaf. Saya tidak bisa dan tidak akan. Saya bahkan tidak bisa menerima telepon ini. Maaf, sejuta maaf,” Sri menutup telepon segera. Suara Alex melayang di udara bersamaan dengan gerakan gagang telepon yang mendarat di dudukannya.
Dan telepon berdering lagi, berdering lagi, beberapa kali. Sri tak mengindahkannya. Ia mencari Prisma untuk melanjutkan menyuapinya.
“Mbak, Sri, nggak usah disuapin tuh anak manja. Antar aku ke rumah Yanti buat pinjam catatan,” Devi berteriak dari kamarnya.
“Aku nggak mau makan sendiri,” Prisma ngambek. “Kamu tunggu aku selesai”
“Manja! Kolokan! Aleman!” umpat Devi mendekati Prisma.
Sri menengahi.
“Non Devi. Kan adik baru sakit, biarlah manja sedikit. Nanti kalau sembuh Prisma janji mau makan sendiri, kok,” ujar Sri.
“Ya, udah. Tapi cepetan. Makan lamban banget, dasar pemamah biak!” kata Devi lagi, merengut menunggui di sofa di depan televisi.
Untung Prisma mau makan lebih cepat. Dan begitu suapan terakhir ditelan, Sri segera menyusul Devi ke garasi yang sudah berteriak-teriak.
“Cepat sedikit nyetirnya. Yanti keburu pergi renang,” Devi mengomentari Sri yang memang tak terlalu cepat mengemudi.
“Sabar, Non Devi,” kata Sri.
“Sabar….sabar. Kalau terlambat, aku nggak bisa menyalin catatan Yanti. Lagian, Mbak Sri mau aja disuruh suapin Prisma. Dia itu sudah gede, tahu!” kata Devi.
“Non Devi nggak boleh gitu. Sama adik sendiri harus banyak mengalah. Lihat tuh, adik kemarin nggak protes Non Devi nggak nengok dia di rumah sakit,” kata Sri.
“Perduli amat! Memangnya aku yang bikin dia sakit. Dia protes nggak kalau Mama nggak nengokin?”
“Nggak juga sih,” kata Sri.
“Ya, udah kalau gitu. Nggak ditengokin juga sembuh sendiri, kan?”
Sri menggelengkan kepala.
“Ngapain Mbak Sri geleng-geleng? Suka-suka aku mau ngomong apa!”
“Nggak gitu, Non Devi. Saya heran Non Devi kok beda banget sama adik. Adik itu perhatian sekali sama Non Devi. Suka muji-muji Non Devi itu pinter dan baik. Suka tanya-tanya kalau Non Devi nggak di rumah” kata Sri.
“Nggak usah bela-belain Prisma, deh!”
“Lho, Mbak Sri nggak belain adik. Tapi ada baiknya kalau Non Devi jangan terlalu judes sama adik. Kasihan kan?”
“Aku nggak perlu nasehat Mbak Sri. Bosan dengar nasehat melulu. Sudah jangan banyak omong, tancap gas!”
Sri tak bicara lagi dan menatap ke depan. Tiba-tiba ruangan dalam mobil Kijang itu terasa panas. AC-nya mati.
“Buka jendela, Non. AC-nya rusak!” kata Sri.
“Huh, mobil brengsek!” Devi membuka jendela lebar-lebar. Ia kemudian menempelkan HP di telinga kiri, menelpon Yanti.
“Yanti, jangan pergi dulu ya, sebentar lagi aku nyampe. Ini nih, pembantuku nyetirnya kayak nenek-nenek,” kata Devi.
Mobil berhenti di sebuah perempatan traffic-light.
“Non Devi HP-nya di kuping kanan saja, ntar dirampas orang, lho!” kata Sri melihat banyak wajah sangar mondar-mandir di dekat mobil-mobil yang berhenti oleh lampu merah. Banyak mata tertuju pada Devi dengan HP mahalnya menempel di telinga kiri.
Devi tak menghiraukan Sri. Dan dugaan Sri ternyata tidak meleset. Seorang pemuda berpakaian kumuh dan rambut gondrong tiba-tiba saja menjulurkan tangan dan menyambar HP Devi dari genggamannya. Devi terkejut.
“Mbak Sri, HP-ku diambil orang itu!” teriak Devi. Sri melihat pemuda itu lari dengan HP rampasan. Ia segera menepikan mobil, dan menyusul penjambret itu yang lari ke arah sebuah taman tak jauh dari perempatan. Devi tercengang-cengang melihat Sri lari sekuat tenaga mengejar sang penjambret tanpa rasa takut. Yang lebih tercengang lagi adalah sang penjambret. Ia baru sadar kalau larinya kalah cepat dari perempuan yang sedang mengejarnya. Begitu jarak Sri dan pencopet makin dekat, Sri menjemba kerah baju pencopet kurus itu dan membantingnya ke kiri. Penjambret jatuh bergulung di tanah. Sebelum sempat bangun, Sri meraih tangan kanan penjambret itu memilinnya ke arah berlawanan, membuat sang penjambret tidak bisa bergerak. Supaya gerakan si copet benar-benar terbatas, Sri menginjak punggungnya.
“Kesinikan HP majikan gue. Lo jangan coba-coba njambret di sini. Ini daerah kekuasaan Parmin Silet, bos preman di sini,” bentak Sri. “Lo kenal Parmin Silet, ‘kan?”
Penjambret itu berusaha menolehkan kepala untuk melihat wajah Sri. Sri memasang wajah seberingas mungkin.
“O, gue tahu, Lo orang baru ya. Pasti lo nggak kenal kakak gue Parmin Silet. Sini HP-nya!” desak Sri, dengan suara yang mengintimidasi, plus jejakan dan pelintiran tangan yang lebih kuat, dan satu tabokan keras di kepala.
“Ampun, neng. Ampun! Saya kenal Parmin Silet! Saya minta maaf. Nih HP-nya,” penjambret itu menjulurkan tangan dan membiarkan HP itu beralih ke tangan Sri.
“Sekarang lo punya tiga pilihan; gue kasih lo ke orang-orang biar ditonjokin sampai mampus, digebukin anak buah Parmin Silet, atau lo menyingkir dari sini,” kata Sri, tetap dengan wajah keras. “Saran gue, lo ambil pilihan yang ketiga”
“Ampun, Neng. Iya deh saya pergi. Lepasin saya!” penjambret itu berubah menghiba. Sri mengendorkan sedikit injakannya dan melihat apakah si copet bereaksi untuk balik menyerangnya. Tapi rupanya sang jambret sudah terlumpuhkan keberaniannya. Akhirnya Sri benar-benar membebaskan injakan di punggung dan pelintiran tangannya. Penjambret itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung lari tunggang langgang entah kemana, tanpa menoleh lagi.
Devi yang sedari tadi ikutan berdiri merubung bersama beberapa orang ngeri melihat Sri bisa sekejam itu. Di antara decak kagum dan pandangan heran para perubung, Sri menghela tangan Devi untuk segera menyingkir dari tempat itu. Devi baru sadar pipi kirinya berdarah tersayat kuku pencopet.
Sri mengeluarkan saputangan dan mengusapnya dengan lembut.
“Nanti sehabis dari rumah Yanti kita ke dokter. Kamu perlu antibiotik. Sayatan kuku di pipi nggak boleh disepelekan. Siapa tahu kuku jambret itu kotor dan penuh bakteri. Bisa jadi infeksi dan bekasnya bisa mengganggu kecantikanmu,” kata Sri menstart mobil.
“Mbak Sri kok berani banget sih nginjak-nginjak dan nabokin preman?” tanya Devi membersihkan darah dari pipinya. “Lagian, kok Mbak Sri tahu Parmin Silet. Memangnya dia siapa?”
Sri tersenyum.
“Bukan siapa-siapa. Mbak Sri cuma ngarang-ngarang. Kadang-kadang orang perlu berani dan harus punya akal menghadapi kejahatan macam itu. Orang itu tidak punya enerji untuk berkelahi, dan bisa dikendorkan nyalinya dengan gertakan pakai informasi yang dia tidak tahu betul” kata Sri.
“Kalau dia bawa pisau gimana?” tanya Devi.
“Sudah Mbak Sri perhitungkan. Orang yang bawa pisau di pinggangnya tidak bisa lari secepat itu. Dan kalau dia bawa pisau, Mbak Sri cari akal lain. Terbukti, tanpa senjata Mbak Sri bisa membuat dia lari ketakutan. Senjatanya, cuma sedikit pengetahuan bahwa setiap penjahat punya daerah kekuasaan dan punya bos,”
“Parmin Silet itu, ih, nama yang mengerikan deh!” kata Devi.
“Itulah sebabnya ia ketakutan. Dikira nama itu ada betulan dan dia takut banget pada nama itu. Ha ha ha,” Sri tertawa.
Devi meringis menahan nyeri kecil di pipinya dan menimang-nimang HP yang urung beralih ke tangan penjambret.
Sri menemukan sebuah tempat praktek dokter tak jauh dari rumah Yanti. Dokter membersihkan, merawat dan mengobati luka itu dengan teliti.
“Tolong kasih perawatan yang bagus, Dok, agar bekas luka itu tidak menimbulkan bekas luka yang jelek ,” kata Sri.
“Ibu tak perlu kuatir. Saya buatkan resep antibiotik buat luka sekaligus salep oles untuk mengembalikan warna kulit seperti aslinya. Dalam dua bulan luka putri Ibu akan pulih dan ia tetap cantik,” dokter tersenyum. Sri menunggu Devi meralat kata-kata dokter dengan kata-kata “Mbak Sri ini pembantu” ketika dokter mengatakan ‘putri Ibu’. Tapi kali ini Devi memilih diam.
Sehabis dari dokter, Sri langsung mampir ke apotik dan membeli obat. Devi bisa melihat sejauh ini Sri sudah mengeluarkan uang hampir tiga ratus ribu.
“Kok Mbak Sri bawa uang banyak?” tanya Devi.
“Ini sebagian gaji Mbak Sri yang memang sengaja Mbak Sri simpan sendiri. Kan tidak semuanya dikirim ke ibunya Mbak Sri di Malang. Nanti Mbak Sri minta ganti ke Papa,” kata Sri.
***.
Kalau Sri mengira Astrid akan bersungut-sungut sepanjang hari melihat wajahnya karena peristiwa semalam, maka Sri salah besar. Astrid ceria sekali dan seperti sudah lupa semalam ia dipergoki Sri keluar dari kamar Hendri.
Ketika Devi dan Sri datang, Astrid baru saja meletakkan gagang telepon, dan tersenyum penuh arti pada Sri
“Dengar, ya. Aku nggak ada wawancara lagi sampai minggu depan. Aku baru telepon Malaysian Airlines dan beli tiket untuk ke Kuala Lumpur malam ini. Tahu siapa yang menunggu aku di sana? Alex! Kini dia takluk padaku,” kata Astrid.
“Aku berkemas sekarang. Nanti tolong sampaikan Mas Hendri dan Teh Anella aku ke Kuala Lumpur beberapa hari. So long. Good bye!” Astrid melenggang ke kamarnya dan benar-benar berkemas.
Devi, Prisma dan Bi Nani hanya bisa terbengong-bengong.
“Aduh, Non Astrid itu benar-benar sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga!”
PART.8
Kalau biasanya Anella kelihatan tetap segar walau letih, kali ini Anella tampak terlalu letih dan kusut untuk terlihat cantik. Sri membantu membawakan beberapa potong tas dan bagasi ke dalam rumah.
“Prisma bagaimana?” tanya Anella.
“Buang airnya sudah normal, tapi masih agak lemas dan agak kurusan. Lusa bisa sekolah lagi,” jawab Sri. Anella langsung mencari Prisma di kamarnya.
“Hai, Mama pulang,” sapa Anella. Prisma tengah duduk dengan bonekanya.
“Mama baru pulang?” Prisma tak terlalu bersemangat menyambut ibunya. Ia tetap menyisiri rambut bonekanya.
“Ya, sori ya, Mama nggak bisa pulang tepat waktu untuk nengokin Prisma di rumah sakit. Sekarang sudah sembuh, kan?” kata Anella mencium ubun-ubun Prisma.
“Nggak apa-apa, Ma, ‘kan ada Mbak Sri. Dia yang jagain dan yang nyuapin Prisma di rumah sakit. Mbak Sri juga bacaain cerita,” kata Prisma, hanya sekilas menatap mamanya.
“Mama tahu nggak? Kemarin HP kak Devi dijambret orang waktu di mobil sama Mbak Sri,” kata Prisma.
“Dijambret?”
“Ya, kan waktu itu AC Kijang rusak dan kaca jendela harus dibuka. Kak Devi nelepon Kan Yanti. Lalu jambret itu menyambar HP kak Devi”
“Hilang dong HP-nya?”
“Nggak, juga. Jambret itu dikejar, diinjak-injak dan dipukuli oleh Mbak Sri. Ia lari. Gitu kata Kak Devi”
“Terus, kak Devi nggak apa-apa?”
“Pipinya tergores kuku penjambret. Lalu Mbak Sri bawa Kak Devi ke dokter, nggak serius sih lukanya. Tapi Mbak Sri bilang goresan di pipi harus dirawat dengan baik agar tidak meninggalkan bekas yang jelek,” ujar Prisma.
“Oh, gitu, ya?”
“Eh, Ma, ngomong-ngomong Tante Astrid pergi mendadak ke Kuala Lumpur,” kata Prisma.
“Mama tahu, Tante Astrid kemarin malam sms Mama. Katanya ada pesta perkawinan temannya di Kuala Lumpur”
“Pesta? Bukannya mau nemenin Om Alex yang lagi ditugasin Papa ke Kuala Lumpur?” tanya Prisma polos. Anella mendengar kata-kata Prisma dengan seksama.
“Kok kamu tahu Tante Astrid ke Kuala Lumpur buat nyusul Om Alex?” tanya Anella.
“Tante Astrid sendiri yang bilang. Semua orang juga pada tahu, Mbak Sri dan Bi Nani juga tahu,” kata Prisma. “Cuma Papa yang nggak tahu. Eh, Papa tahu nggak ya?” Prisma menggigit bibir.
Anella duduk sejenak di tempat tidur Prisma, tercenung sesaat sebelum kemudian meninggalkan Prisma sendiri.
“Mama mandi dulu, ya. Mama capek sekali, mau tidur,” kata Anella. Prisma hanya mengangguk dan menatap mamanya keluar kamar.
Anella ternyata tak langsung mandi. Ia mencari Sri di kamarnya.
“Betul Astrid ke pergi ke Kuala Lumpur buat menyusul Alex?” tanya Anella.
“Betul, Bu. Mbak Astrid bilang begitu. Kata Mbak Astrid Pak Alex meneleponnya dan minta Mbak Astrid menyusulnya,” jawab Sri.
“Alex! Dasar Alex! Kamu tahu tidak, Alex itu punya istri di Manado. Tidak ada yang tahu memang, termasuk Hendri,” ujar Anella.
Sri terkesima sesaat mendengar penuturan Anella.
“Saya kenal istrinya. Ia bekas pramugari yang sekarang punya travel agent di Manado. Dia salah satu klien saya,” kata Anella. “Hanya saja Alex berpesan agar saya tidak bilang siapa-siapa kalau dia punya istri,” kata Anella lagi.
Sri tersenyum dalam hati, dan membayangkan betapa play-boy-nya Alex. Pantas ia bisa dengan mudah menebar senyum dan bergenit-genit dengan semua wanita yang disukainya. Diam-diam Sri bersyukur dia tak pernah memberi jalan lebih lebar pada Alex untuk memasuki perasaannya. Dan ia lebih lega lagi tatkala malam itu ia mendapatkan sebuah sms dari Alex yang berbunyi. “Maafkan saya telah banyak mengganggumu. Saya tak akan lagi mengganggumu. Anggap kita tidak pernah kenal. Lupakan semua bicara saya. Selamat jadi pembantu yang baik”
***.
Di tengah seribu satu macam pekerjaan rumah yang melelahkan, kadang-kadang Sri perlu waktu untuk menyendiri di kamarnya selama beberapa saat. Sudah hampir lima bulan ia bekerja di keluarga itu dan rasanya ia telah tahu terlalu banyak hal yang semestinya ia tak perlu tahu. Beberapa kali Sri berpikir untuk mulai ambil ancang-ancang untuk meninggalkan rumah ini dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi ia merasa banyak hal yang memberatkan langkahnya; Prisma dan Devi yang selalu butuh bantuan dan perhatian, serta Hendri yang butuh kepastian bahwa anak-anaknya senantiasa terurusi dengan baik di tengah kesibukan-kesibukan Anella dan dirinya sendiri. Rasanya tak tega ia pergi begitu saja. Setiap bicara dengan Hendri, Sri bisa melihat sorot mata Hendri yang seolah menyiratkan betapa penting kehadiran Sri di tengah keluarga itu; sorot mata yang juga mengatakan bahwa kehadiran Sri di rumah itu sulit diganti dengan sosok pembantu lain.
Dan ada satu dua saat di mana Sri ingin menguji seberapa besar kehadirannya dibutuhkan. Dan itu akan dicobanya saat bicara dengan Hendri suatu sore.
“Maaf, Pak Hendri. Kalau tidak salah, Bapak dan Ibu mengatakan saya bisa meninggalkan rumah ini setelah paling tidak tiga bulan bekerja. Sekarang telah lewat bulan kelima, dan rasanya saya ingin mencari sesuatu yang lain,” ujar Sri.
Hendri urung minum tehnya dan menatap Sri.
“Kenapa tiba-tiba kau ingin berhenti?” tanya Hendri. Kelihatan masygul sekali hatinya.
“Saya ingin mencari suasana baru. Itu pun kalau Bapak tidak keberatan,” kata Sri. Hendri meletakkan cangkir tehnya.
“Kalau gajimu naik 200 ribu apakah itu bisa membatalkan rencanamu?” tanya Hendri.
“Bukan masalah gaji, Pak!” tutur Sri.
Hendri memperhatikan Sri baik-baik. Kelihatan sekali ia seperti tak rela melepaskan sesuatu yang telah menjadi bagian dari kehangatan rumah ini, kehangatan seorang perempuan di tengah keluarga, yang menggantikan kekosongan yang tidak bisa diisi oleh Anella.
“Baiklah, kalau itu maumu. Selama ini saya mempelajari bahwa seorang pembantu yang pingin berhenti bekerja memang susah dicegah,” kata Hendri. “Tapi bisakah kau tunda sekitar lima hari. Kau tahu, Anella tidak akan ada di rumah, saya harus ke Shanghai, sementara Prisma dan Devi akan menghadapi Ulangan Akhir Semester, dan saya tidak bisa percaya segalanya akan beres kalau saya ambil tiga pembantu baru sekalipun”
Sri tercenung beberapa jenak. “Baiklah, Pak. Saya akan tunda dulu kalau begitu. Kapan Bapak pergi?”
“Besok pagi. Ada konperensi Asosiasi Produsen Garmen Internasional di Shanghai. Saya pergi dengan Bu Liandra,” kata Hendri. “Begitu saya kembali dan anak-anak selesai dengan ujiannya, kamu bebas pergi”
***.
Sri menyeterika dan melipat beberapa potong pakaian Hendri dengan teliti, kemudian menatanya dengan rapi dalam travelling-bag di kamar Hendri. Sri berpikir keras untuk mempelajari apa saja yang biasa dibawa seorang laki-laki kalau bepergian ke luar kota selama beberapa hari. Dan ia puas dengan semua yang dikerjakannya. Dehem Hendri mengejutkannya. Ia segera beranjak ke luar.
“Tas Bapak sudah siap dengan isinya. Silakan Bapak periksa, kalau ada yang masih diperlukan, saya akan segera siapkan,” kata Sri. Hendri memeriksa tasnya sejenak, dan membuka tas kecil toilet kit di dalam tas.
“Pencukur, sikat gigi, pasta gigi, cologne, sisir, after-shave. Semuanya lengkap. Terimakasih,” Hendri tersenyum.
Sri mengangguk dan meninggalkan kamar Hendri.
Pak Rusman, dengan rambut disisir klimis, menanti di beranda dengan sabar. Sri membawa tas Hendri ke mobil yang sudah terbuka bagasinya. Sebentar kemudian Hendri siap berangkat.
“Saya berangkat dulu, ya Sri. Pastikan anak-anak belajar dengan baik dan pastikan juga kamu masih ada di sini kalau saya pulang nanti,” pesan Hendri ketika masuk ke mobil.
“Baik, Pak Hendri. Saya akan perhatikan baik-baik pesan Bapak. Saya akan masih di sini nanti saat Pak Hendri pulang,” kata Sri. Hendri mengangguk. Sebelum jendela mobil ditutup, Sri bergerak sedikit ke mobil dan berkata.
“Bapak hati-hati, ya. Semoga perjalanannya sukses,” Sri menyungging senyum.
“Terimakasih, ya, Sri. Kamu juga hati-hati di rumah,” jawab Hendri.
Betapa terasa tulus dan sejuk ucapan Sri itu. Selama beberapa saat Hendri memandang Sri, dan tak seperti biasanya, Sri kali inipun membiarkan matanya terus ditatap Hendri sampai kaca jendela tertutup.
“Walah, walah, mustinya yang berdiri di sini mengantar keberangkatan Bapak adalah Bu Anella,” celetuk Bi Nani. “Benar-benar seperti anjing menggonggong, kafilah berlalu”
“Super ngawur deh, Bibi,” jawab Sri.
“Let’s get back to work, deh!” kata Sri, berbalik masuk ke rumah.
“Apaan itu artinya, Sri?” kejar Bi Nani
“Kucing kurus mandi di kali,” kata Sri sekenanya.
***.
Kecipak air yang disembur-semburkan Prisma dari kolam renang ke arah Sri memang membuatnya basah, tapi terasa segar.
“Mbak Sri, ayo ikut renang,” teriak Prisma.
“Nggak bisa renang, takut tenggelam!” teriak balik Sri, menutupi French-fries hangat di atas meja dengan selembar tissue makanan.
Devi muncul dengan pakaian renang plus sepasang sepatu katak di kakinya.
“Non Devi mau renang juga?” tanya Sri.
“Ya, memangnya kenapa?”
“Itu luka di pipi mestinya nggak boleh ke air,” Sri mengingatkan.
“Aku cuma mau mengambang pakai pelampung,” kata Devi.
“Terus sepatu katak itu buat apa?” tanya Prisma.
“Ah, banyak omong kamu!” Devi mengambil pelampung bundar di ruang penyimpanan, kemudian memakainya mengelilingi pinggang dan mencebur ke kolam renang. Barulah Prisma tahu sepatu katak itu membantunya bergerak cepat ke sana kemari di atas air.
“Jangan lupa kalian cuma punya waktu sampai jam 5. Setelah itu, belajar. Ingat besuk mulai UAS,” Sri mengingatkan, sambil menyapu pinggiran kolam.
“Ya, ya, resek amat sih,” balas Devi, mendekati Prisma yang berada di tengah kolam renang, di atas sebuah pelampung.
“Hei, Pris, lihat. Aku punya cincin bagus, dikasih Bagus,” Devi menunjukkan cincin aluminium berukir kata ‘I love you’ di pinggirannya.
“Cincin bagus dikasih Bagus. Aha, Bagus anak Bali yang katanya naksir kakak itu, ya?” kata Prisma. “Lepas, dong, biar aku lihat,” kata Prisma.
Devi melepas cincinnya. Baru saja ia hendak memberikannya kepada Prisma ketika cincin itu terjatuh.
“Yah, jatuh!” Devi melihat cincin itu tenggelam cepat ke dasar kolam yang terdalam.
“Ambil, kak, ntar keburu hilang,” kata Prisma.
Tanpa pikir panjang, Devi menundukkan kepala dan mengarahkan kepalanya ke dalam air untuk menyelam mengambil cincin itu. Tapi kelihatannya ada yang tidak beres. Kedua belah sepatu katak tersangkut pada lubang tengah pelampung. Devi tak bisa menggerakkan kakinya dalam posisi kepala di bawah. Berulang kali ia berusaha menhentak-hentakkan sepatu katak yang tersangkut, tapi tetap saja sepatu itu tak bisa lepas. Hampir satu menit kepalanya berada di dalam air, dan ia berjuang hebat untuk membawa kembali kepalanya ke permukaan.
“Pris, kak Devi kenapa?” teriak Sri dari pinggir kolam renang.
“Sepatu kataknya nyangkut. Kak Devi nggak bisa bergerak!” teriak Prisma panik.
“Astaga!” Sri serta merta melompat ke kolam renang, berenang cepat ke arah Devi, menekan sepatu katak dari atas, menyelam dan meraih tubuh Devi dari dalam air menuju ke permukaan. Devi terbatuk-batuk hebat saat menghirup udara. Sri telah membawanya ke permukaan pada saat yang tepat. Muka Devi memerah akibat menahan nafas terlalu lama.
Segera Sri membawa Devi ke pinggiran kolam, membaringkannya dan menekan-nekan perut Devi untuk mengeluarkan air dari perutnya. Devi memuntahkan banyak air, diikuti dengan semburan air melalui batuknya yang hebat. Sebentar kemudian Devi bisa bernafas dengan normal.
“Thanks God. Non Devi tidak apa-apa?” tanya Sri.
“Nggak apa-apa. Sialan deh sepatu katak itu. Hampir mati, gue!” kata Devi, melepas sepatu katak dan membantingnya.
“Oke, sekarang sudah dulu renangnya. Pris ayo naik,” Sri mengambilkan handuk untuk mereka dan mengeringkan keduanya dengan sabar.
“Nah, ‘kan, kalian tahu sekarang, jangan menyepelekan hal-hal kecil. Kalau nggak ada orang di sekeliling, siapa coba yang nolong,” kata Sri, menyelimutkan handuk di sekeliling tubuh Devi.
“Yuk sekarang bilas yang bersih, ganti baju dan mulai belajar!”
“Sebentar. Mbak Sri tadi bilang nggak bisa renang. Nah itu tadi buktinya, gimana?” tanya Prisma.
Sri tersenyum. “Mbak Sri sebenarnya bisa renang, kok Pris, he he!”
“Mbak Sri kok suka bohong, sih?” kata Prisma memeluk sayang pinggang Sri yang basah. “Thank you, ya, Mbak Sri telah menyelamatkan kakak saya yang cantik,” ujar Prisma.
Kedua anak itu menurut saja ketika Sri menggiringnya masuk rumah. Selebihnya, Sri senang bisa membuat kedua anak ini duduk di meja belajar masing-masing untuk mulai buka-buka buku pelajaran.
Sepanjang malam Devi dan Prisma dibuat sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan Sri untuk mengecek apakah mereka telah menyerap pelajaran dengan baik untuk ujian besuk paginya. Sri juga membuatkan coretan-coretan kecil untuk memberikan contoh soal, dan Sri merasa lega karena Devi yang biasanya cerewet dan banyak maunya, kini lebih banyak diam, dan hanya sesekali menatap Sri lewat sudut matanya yang cantik.
***.
Anak-anak baru saja makan siang sepulang sekolah. Setelah membereskan meja, Sri kembali ke meja setrika.
Sri tengah melipat satu potong pakaian ketika seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Sri menoleh.
“Eh, Non Devi”
Devi tersenyum manis. Tak pernah Sri melihat Devi semanis itu padanya.
“Mulai sekarang jangan panggil saya ‘Non’. Devi saja, setuju?” kata Devi.
“Lho kok?”
“Nggak usah ‘lho kok’. Pokoknya nggak usah aja. Aku lebih senang dipanggil Devi”
“Oke, deh, Devi”
Devi tersenyum lagi.
“Nih, buat Mbak Sri,” Devi mengangsurkan sebuah kalung berbahan alloy ringan dengan liontin merah berbentuk bunga adenium jenis ‘big mama’ berkelopak merah dengan semburan putih di tengahnya.
“Ini dibeliin Papa di Thailand. Aku belum sempat pakai. Mbak Sri pakai, ya?” kata Devi.
“Kok Devi ngasih saya hadiah?” Sri ragu menerimanya.
“Karena Mbak Sri baik banget pada aku meski aku sering jahatin Mbak Sri. Ujian matematikaku dapat 100, karena Mbak Sri yang ngajarin. Mbak Sri menyelamatkan HP aku jadi aku nggak kena marah Papa. Mbak Sri juga punya perhatian pada aku agar pipiku nggak baret-baret bekas goresan kuku, dan Mbak Sri menyelamatkan nyawa aku di kolam renang kemarin. Tadi pagi Papa telepon dan aku cerita soal kejadian di kolam renang itu. Aku bilang aku mau kasih hadiah Mbak Sri kalung itu, dan Papa setuju, nyaranin banget malah. Sekarang aku mau peluk Mbak Sri,” Devi tiba-tiba saja mendekapnya. Sri agak membungkuk untuk menerima dekapan Devi. Sri bisa merasakan hangat tetes air mata Devi di pundaknya.
“Terima kasih, ya, Mbak Sri. Aku sayang banget deh sama Mbak Sri. Papa bilang Mbak Sri mau pergi. Mbak Sri jangan pergi, ya?” lembut sekali suara Devi, matanya masih berkaca-kaca.
Sri tak sadar matanya berkaca-kaca juga. Tiba-tiba terasa ada yang menggoyang kaosnya. Prisma telah berdiri pula di samping mereka.
“Bagi peluknya dong!” kata Prisma. Sri lebih membungkuk dan merengkuh Prisma lalu mendekap keduanya.
“Waduh! Waduh! Kayak teletubbies berpelukan!. Ada apaan sih ini?” Bi Nani berseru begitu mendapati mereka tengah berpelukan.
“Oke, kalian jangan bercengeng-cengeng begini. Mbak Sri nggak akan pergi. Sekarang kalian mulai belajar lagi. Nanti Mbak Sri tanya-tanya hasilnya,” Sri melepaskan pelukannya. Devi menyeka air mata, dan sebelum menjauh ia sempat berbisik di telinga Sri.
“Jangan bilang-bilang Bi Nani aku suruh Mbak Sri panggil aku nggak pakai ‘Non’. Bi Nani tetap harus panggil aku pakai ‘Non’”
Sri terkekeh mendengar bisikan Devi. Sesaat kemudian ia tercenung dan merasakan bahwa janjinya kepada Prisma dan Devi untuk tidak meninggalkan mereka mungkin tidak sepenuhnya benar.
Disalin oleh: Chen Mei Ing
