Pada 13 Nopember 1908 malam atau hari ke 20 dari bulan ke 10 tahun ke.34 pemerintahan Kuang Hsu, istana adik Kaisar yang aku diami, dilanda kekacauan. Nenekku pingsan. Sementara para kasim dan pelayan kerajaan mencoba menyadarkannya, semua anak dan orang dewasa menangis. Hal itu disebabkan aku, sebagai pewaris Kaisar dari Dinasti Qing, telah menolak panggilan dari kota terlarang yang diantarkan oleh dewan besar.
Aku tidak mengizinkan seorang pun kasim mendekat untuk membawaku ke istana. Aku menangis sedemikian kerasnya sehingga para kasim sampai bertanaya apa yang harus dilakukan kepada dewan besar tersebut. Saat itu ayahku bergegas dari satu ruang ke ruangan yang lain - pertama-tama untuk menyambut perwakilan dewan besar dan para kasim yang telah datang bersama dengan dari istana. Kemudian memerintahkan para pelayanb untuk mengenakan pakaian kepada diriku, lalu mengunjungi nenekku yang masih tidak berdaya dan melupakan sang perwakilan dewan besar yang masih menunggu.
Aku tentu saja, tidak memiliki kesan atau kenangan apa pun atas pandangan keluargaku akan situasi ini atau rasa hina yang mereka rasakan karena penolakanku untuk mematuhi perintah kerajaan. Namun, aku diberi tahu beberapa tahun kemudian bahwa untuk mengatasi penolakanku terhadap para kasim yang mendekatiku, maka akhirnya disepakati untuk mengabaikan semua protokol dan mengizinkan pengasuhku membawaku ke istana.
Sebuah upacara besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di dalam istana diselenggarakan saat aku diserahkan oleh pengasuhku kepada kasim berkedudukan tinggi yang akan membawaku ke hadapan Janda Permaisuri, Tzu Hsi. Yang bisa kuingat dari pertemuan pertamaku dengan bibi tuaku adalah rasa takut yang mencekam saat menyadari diriku tiba-tiba di letakkan di tengah-tengah sedemikian banyak orang asing.
Aku berdiri di depan sebuah kanopi besar berwarna hitam. Duduk di bawahnya, aku melihat seorang wanita tua berwajah tirus yang sangat jelek dan sangat kurus. Ia dalah Tzu Hsi. Menurut apa yang diberitahukan kepadaku, perempuan pertama dengannya menyebabkan diriku tenggelam dalam tangisan histeri. Aku menjerit, menangis, menendang dan benar-benar kehilangan kendali.
Tzu Hsi meminta seseorang untuk memberikan permen kepadaku. Namun bukanya memakannya, aku melemparkannya ke lantai dan menangis mencari-cari pengasuhku. Hal ini sangat tidak disukai oleh Janda Permaisuri. Dia berkomentar kalau aku adalah anak yang keras kepala dan memerintahkan diriku untuk dibawa pergi dari hadapannya.
Dua hari setelahnya, dia meniggal dan tak lama setelah ini keponakannya yaitu sang Kaisar, Kuanh Hsu, juha meninggal. Pada hari ke.9 di bulan ke.11 dari kelender matahari atau tanggal 2 desember 1908, upacara penobatanku ke singgasana Naga Kekaisaran diselenggarakan.
Upacara ini dilakukan di aula kedamaian abadi di dalam kota terlarang yang bisa menampung ribuan orang istana. Namun, menurut kebiasaan, sebelum dimulai aku harus meenerima pimpinan tentara istana dan para menteri istana di aula kedamaian abadi dimana mereka akan melakukan kowtow. Baru setelahnya, aku akan diantar ke aula kedamaian abadi untuk menerima para pejabat sipil dan militer, raja kecil dan gubernur.
Upacara sebelum penobatan ini sangat lama dan menghabiskan waktu hampir sepanjang hari. Terlebih lagi, cuaca terasa sangat dingin dan pada saat aku akhirnya ditempatkan di singgasana kerajaan yang tinggi, maka kesabaranku sudah habis.Ayahku diizinkan untuk berlutut pada salah satu kakinya, dengan wajah terlihat dibawahku.
Dia mencoba menolong diriku menaiki singgasana dengan mengunakan kedua tangannya untuk menuntun dan mencegahku membuat gerakan yang tidak menjadi bagian dari tradisi upacara. Tetapi pada saat itu aku sudah sedemikian lelahnya sehingga yang bisa kulakukan hanyalah menjerit bahwa aku ingin pulang ke rumah., Aku tidak mau menghadiri upacara apapun. Aku tidak bisa menjalaninya lagi.
Ayahku menjadi sangat gugup sehingga wajahnya dipenuhi keringat walaupun cuaca dingin. Ratisan dan ribuan pejabat sipil dan militer membungkuk sembilan kali serta melakukan tiga kali kowtow dan saat mereka melakukan penghormatan itu tangisanku semakin keras. Ayahku mencoba membujukku.
"Hus" ujarnya "Jangan menangis. Yang sabar ya. Semuanya segera selesai. Semuanya akan usai." Beberapa orang istana yang berada di dekat singgasana mendengar ucapannya dan setelah upacara, mereka yang berbisik "Bagaimana seorang anggota keluarga kerajaan mengucapkan kata-kata seperti "semuanya akan segera selesai?" tanya mereka "Ini adalah pertanda buruh."
Mereka merasa ucapan ayahku menandakan bahwa masa pemerintahanku akan menjadi masa yang penuh ketidak beruntungan. Kelak, beberapa buku harian dan artikel tentang penobatanku menambahkan bumbu atas kisah ini. Sebuah artikel menyebutkan bahwa bunyi gong dan drum dari musik seremonial menyebabkan diriku menangis. Lainnya mengatakan kalau ayahku telah memberikan mainan harimau untuk membuatku berhenti menangis. Berbagai cerita inbi tidak benar, tetapi kekesalan para pejabat tinggi dengan kata-kata yang diucapkan oleh ayahku "semuanya akan segera selesai" dan tangisanky "aku ingin pulang ke rumah" memang benar. Pada umumnya, semua orang merasa kalau itu adalah pertanda yang sangat buruk.
Namun, tanda-tanda kesulitan yang sesungguhnya mengintai tidak datang dari kedua pernyataan ini. Catatan sejarah dari tahun pertama pemerintahanku menunjukkan asal dari kekhawatiran pejabat Qing yang sesungguhnya. Coba lihat beberapa contoh berikut ini:
* Sekelompok revolusioner di kanton telah memberontak dan menduduki sebagian dari provinsi kwantung, tetapi kemudian berhasil dikalahkan.
* Sun Yatsen memimpin penyerangan terhadap provinsi Kwangsi, tetapi kalah.
* Sebuah perintah kerajaan dikeluarkan untuk melarang para siswa berpartisipasi di dalam politik atau berkumpul dan berpidato.
* Para pejabat di provinsi Kwantung menemukan senjata di sebuah kapal uap Jepang yang berlayar menuju markas para revolusioner.
* Sun Yatsen memerintahkan penyerangan ke provinsi Yunan yang awalnya menuai kesuksesan, tapi kelak berhasil dikalahkan.
Semua hal ini diambil dari catatan sejarah dinasti Qing. Kata "kalah" sering kali muncul dakan semakin sering ia terjadi, maka semakin besar tanda-tanda meningkatnya badai yang datang mendekat. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran utama yang meresapi sanubari para pejabat tinggi.
Saat pemerintahanku berlangsung berbagai rintangan semakin jelas terlihat. Karena saat Yunan Shih-kai dipanggil kembali untuk melayani pemerintahan, banyak yang menyadari kalau keluar Qing kini harus menghadapi dua kekuatan yang bermusuhan - revolusioner republik diluar pemerintahan dan Yuan di dalam.
Aku Kaisar yang berkuasa dalam suasana seperti itu selama tiga tahun lamanya, tanpa adanya kesadaran yang nyata akan situasi politik. Aku diturunkan dari singgasana dengan ketidakpahaman yang sama tentang situasi yang sesungguhnya. Namun, sebuah kejadian pada hari terakhirku di singgasana terpatok dengan jelas di dalam ingatanku.
Suatu hari, di salah satu ruangan istana penenangan pikiran, sang Janda Permaisuri Lung Yu[1] duduk di atas Kang[2} di dekat jendela selatan dan menghapus air matanya dengan sapu tangan. Di hadapanya seorang pria tua bertubuh tambun berlutut di atas karpet merah dengan air mata membanjiri wajah. Aku yang duduk di sebelah kanan Janda permaisuri merasa bingung, karena tidak mengerti kenapa kedua orang dewasa ini menangis. Tidak ada orang lain di dalam istana selain kami bertiga dan suasana sangat sunyi. Pria gendut ini tersedu-sedu sedemikian kerasnya sehingga aku tidak bisa memahami ucapannya saat dia berbicara. Kelak aku mengetahui kalau ia adalah Yuan Shih-kai. Itulah satu-satunya kesempatan aku bertemu dengannya dan itu adalah kali terakhir dia mengunjungi Janda permaisuri. Jika apa yang di informasikan kepadaku adalah benar, itu adalah satu-satunya saat dimana Yuan mengajukan permintaan penurunan takhtaku kepada Lung Yu. Setelah pertemuan itu. Yuan menggunakan dalih bahwa sebuah ancaman pembunuhan telah ditujukan kepadanya di salah satu gerbang istana untuk tidak pernah mendatangi istana kembali.
Pemberontakan Wuchang oktober 1911 telah membangkitkan revolusioner di seluruh penjuru negeri. Saat pimpinan kekuatan kerajaan Manchu terbukti tidak mampu mengarahkan tentara Peiyang modern untuk menghadapi pasukan republik, ayahku sebagai pangeran Wali tidak memiliki pilihan, kecuali memanggil kembali Yuan Shih-kai dari masa pensiunnya. Yuan, yang telah menunggu untuk mengadakan perjanjian politik, selalu mendapatkan informasi mengenai perkembangan yang terjadi di Beijing dari teman-temannya yang tergabung dalam dewan besar kerajaan. Oleh karenanya, dia sangat memahami situasi yang terjadi dan berkali-kali menolak tawaran Beijing untuk ditugaskan kembali sampai dia dijanjikan jabatan perdana menteri dan tumpuk tertinggi pimpinan militer. Barulah pada saat itu dia menerima perintah kerajaan dan memerintahkan tenta Beijing untuk menyerang pasukan revolusioner republik. Setelah merebut kembali Hanyang, dia menghentikan pergerakan tentaranya dan melakukan sebuah kunjungan ke Beijing dimana dia diterima oleh Janda permaisuri Lung Yu dan pangeran Wali.
Yuan Shihkai bukan lagi Yuan Shihkai sang jenderal yang sebelumnya. Dia tidak hanya telah menikmati kekuasaan militer dan politik, tetapi juga telah menikmati sesuatu yang jauh lebih berharga, pengaruh orang asing, termasuk menteri inggris di Beijing, bertindak dibawah perintah dari London, sangat tertarik dengan dirinya dan dia juga memiliki teman-teman disisi republik yang memberi informasi kepadanya akan perkembangan di markas revolusioner. Selain itu, beberapa pendukung monarki konstitusional mulai membenci kehadirannya.
Dengan semua teman baru dan lamanya dari dalam maupun luar dinasti Qing[3], begitu juga dengan pendukung dan teman-temannya diluar negeri, posisi Yuan sebagai politikus yang paling diandalkan kedua belah pihak menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dalam waktu satu bulan sejak kembalinya ke Beijing dia mampu memaksa ayahku, Pangeran Wali, untuk memasuki masa pensiun. Langsung setelahnya, dengan dalih memerlukan uang untuk biaya militer dia mengambil alih perbendaharaan istana dari Janda permaisuri Lung Yu dan, pada saat bersamaan, dia memaksa para pejabat tinggi dan pangeran untuk memberikan kontribusi untuk mendukung tentara. Oleh karena itu, kekuatan politik, militer dan keuangan terkonsentrasi di tanganya sendiri. Begitu hal ini di raih. Yuan meminta menteri China untuk Rusia, begitu juga dengan para diplomat di luar negeri, agar mereka menyampaikan permintaan penurunan diriku kepada pemerintahan Qing. Sementara pada saat itu, dia menyerahkan memo rahasia atas nama seluruh kabinet pemerintahan kepada Janda Permaisuri, mengatakan bahwa sebuah republik adalah satu-satunya jalan menyelamatkan negeri ini. Dia pastinya telah menyerahkan memo ini pada hari aku melihatnya dan hal itu menjelaskan kenapa Lung Yu menangis sedemikian dahsyatnya. Hal yang paling menakutkan baginya adalah kalimat-kalimat di dalam memo tersebut. [Meilinda Chen / Jakarta / Tionghoanews]
Bersambung ...