Peristiwa itu memang aku alami beberapa tahun yang lalu, ketika aku memutuskan untuk menikah dengan laki-laki berkebangsaan asing, sebut saja namanya Michael (bukan nama sebenarnya). perekenalanku dengan Michael terjadi saat aku bersama teman-temanku mengunjungi sebuah tempat hiburan malam di kawasan Jakarta pusat. Saat itu kami memang saling tertarik, selain tampan, Michael merupakan sosok laki-laki yang selama ini menjadi obsesiku. Dan perkenalan itu akhirnya membawa kami pada hubungan yang lebih serius.
Harus aku akui bahwa hubunganku dengan Michael memang terlampau bebas, Mic memang relative lebih memilih etika asingnya. Dari hubungan itu aku akhirnya hamil, untunglah Mic mau bertanggung jawab dan akhirnya memutuskan untuk menikahiku secara sah. Memasuki usia ke empat kehamilanku, Mic membawaku ke negara asalanya.
Kehadiranku di tengah keluarga besarnya memang tak bisa mereka terima begitu saja, intimidasi, pengucilan dan kekerasan sering sekali aku alami. Tapi setelah kelahiran anak pertama kami, secara berangsur-angsur perlakuan keluarga besarnya mulai berubah. Mereka mulai bisa menerimaku dan putri kecilku. Saat itu aku mulai bisa menatap masa depanku dan anakku dan aku mulai percaya bahwa aku akan bisa meraih kebahagiaan bersama mereka.
Sepuluh tahun aku begitu jauh meninggalkan tanah airku, meninggalkan keluargaku, teman-teman dan berbagai kenangan indah. Terkadang aku begitu ingin pulang ke tanah air, namun Mic tak pernah mengizinkan aku. Satu-satunya izin pulang yang ia berikan adalah saat ibuku meninggal dunia, itupun cuma beberapa hari saja. Keadaan itu membuatku semakin hari-semakin membuat jiwaku memberontak.
Apalagi setelah kelahiran anak ketiga kami, Mic mulai menampakan perubahan yang drastis. Ia mulai sering berlaku kasar terhadapku, ia tak segan-segan melayangkan pukulan dan tamparan tangannya ke wajahku karena hal-hal yang sepele. Pernah suatu kali ketika aku sedikit telat menyiapkan makan malam keluarga, Mic, adik dan ibunya menyiksaku dengan pukulan-pukulan yang menggunakan tangan dan benda keras, bahkan mereka tega menggunduli kepalaku.
Prilaku keras Mic tidak hanya sebatas dalam urusan rumah tangga saja, dalam urusan ranjangpun Mic mulai melakukan penyimpangan. Prilaku anal seks yang sama sekali belum pernah aku terima, saat itu mulai sering ia lakukan. Ia sepertinya begitu bahagia 'menari-nari' diatas tubuhku, sementara aku merasakan kesakitan dan kepedihan yang luar biasa, bukan saja pada bagian-bagian fisikku tetapi juga hati dan jiwaku.
Hingga pada akhirnya aku nekat melarikan diri dengan membawa serta anakku yang ketiga pulang ke tanah air. Namun ternyata kenekatanku itu membuat aku harus berurusan dengan pihak berwajib, lantaran aku dituduh menculik seorang anak kecil dari luar negeri, mereka juga menuduhku terlibat dengan jaringan sindikat penjualan anak antar negara. Selama beberapa bulan aku harus menjalani pemeriksaan seolah melengkapi penderitaanku selama ini.
Dokumen-dokumen yang aku miliki terkait hubunganku dengan Sella anakku (bukan nama sebenarnya) ternyata tidak sepenuhnya bisa melepaskan aku dari jeratan hukum. Keluarga Mic tetap menuduhku membawa secara paksa Sella tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka. Sementara ketika aku menjelaskan alasan membawaa Sella karena penyiksaan yang aku alami tak membuat pihak berwajib bisa bertindak, karena aku tak memiliki bukti-bukti dan saksi yang kuat, pun soal tuduhan sodomi yang aku ajukan.
Aku memang akhirnya tak harus menjalani hukuman secara fisik, tetapi aku harus menjalani hukuman yang lebih menyiksa dan menyakitkan. Karena aku pernah mencoba membawa anakku secara paksa, aku harus kehilangan hak asuh ketiga anakku. Aku juga harus kehilangan semua yang pernah aku usahakan bersama Mic, rumah, mobil, dan lain-lainnya. Tetapi aku tak memperdulikan hal-hal semacam itu. Yang aku pikirkan cuma ketiga anakku yang berada sangat jauh.
Mudah-mudahan dengan ceritaku ini, bisa menjadi pelajaran untuk kaumku yang terobsesi memiliki pasangan pria asing agar senantiasa berhati-hati dan memikirkan segala sesuatunya dengan serius agar kejadian yang menimpaku tak terjadi lagi dengan perempuan-perempuan lain. Karena aku merasakan sendiri betapa tersiksanya kehilangan anak-anak yang dicintai. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]