Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini adalah salah satu benteng terpenting Belanda dan merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat China Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran China yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Namun, pada 1740 terjadi kerusuhan yang berbuntut pembantaian orang Tionghoa di Batavia. Tidak kurang 10 ribu orang Tionghoa dibantai dalam peristiwa kekerasan yang dikenal dengan Tragedi Berdarah Angke pada 9 Oktober 1740 itu. Kerusuhan itu disebabkan karena Gubernur Jenderal Valkenier menangkap orang Tionghoa untuk dijadikan pekerja di perkebunan-perkebunan VOC di luar Batavia. Dari mereka yang selamat, ada yang lari dan menetap di kawasan Benteng, Tangerang.
Warga China Benteng sempat terusir oleh penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda.Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga China Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Pribumi menuduh China berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Orang China Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan orang China Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. China Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. China Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Pakaian adat suku China Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinal Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an. Pada tahun 1946 terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh China berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy, tentara China Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang China Benteng karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Poh An Tuy yang membela orang China Benteng. Orang-orang China Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang China benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas orang China benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun orang China Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang China Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Poh An Tuy mengalami kekalahan melawan tentara republik.
Orang China Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan China lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.
Hal menarik dari China Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa China lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang China Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang China Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan.
Selain itu, banyak orang China benteng yang sebenarnya adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap antara Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Wang di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut dipaksa memakai nama marga ibunya, yaitu "Wang" dalam mandarin atau "Ong" dalam Hokkien. Mereka adalah orang-orang China Benteng yang bermarga "Ong" dalam dialek Hokkien atau "Wang" dalam dialek Mandarin. Kebanyakan orang China benteng dari marga tersebut kini mengggunakan nama Indonesia : Wangsa Mulya, Wangsamulia, atau Wangsa Kusuma. Kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya dan keluarga marga Ong lainnya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan kekaisaran, namun bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Itulah mengapa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kaya dan sukses. [Mariati Ong / Tangerang / Tionghoanews]