Setiap kali kotak plastik kembali, kertas tulisan itu pun masih utuh di dalamnya. Terkadang Susan bertanya-tanya, dibaca enggak sih tulisan-tulisan itu? Meski begitu, ia terus melakukan hal yang sama setiap pagi.
Suatu siang, seperti biasa, Ahiang mengembalikan kotak. Anehnya, kertas tulisan itu tidak ada. Shoi Na bertanya, "Sayang, kemana kertas tulisan Mama?" Yang ditanya menjawab kalem, "Tadi aku kasih Acu." Ahiang melanjutkan ucapannya, "Ibu Acu tidak memberi kertas kayak gitu. Saya pikir ia bisa menggunakan punyaku."
"Oh, begitu?" jawab Shoi Na.
"Acu tadi cerita, Mbaknya (pengasuh, Red.) lagi sakit. Ia sedih." Tanpa ditanya lebih lanjut Ahiang menjelaskan, "Kalau gitu besok Mama bikinin tulisan untuk dia, ya! Kalau enggak, akan aku kasih catatan Mama hari Rabu lalu. Isinya cukup bagus kok."
Susan terpana mendengar kalimat sang anak. Keraguannya seketika lenyap. Ternyata, Ahiang tidak hanya bisa menghargai tulisan-tulisan pada kertas tersebut, tapi justru memperlakukannya sebagai barang berharga yang layak diberikan kepada orang lain.
Terkadang orang dewasa pun perlu berkaca dari dunia anak-anak. Sebagai bocah, Ahiang sudah berusaha menjadi manusia komplet, ingin menjadi bagian dari hidup orang lain. Di kala temanya sedih ia merasa perlu membagi yang ia punya, meski sekadar kata-kata di atas kertas. [Widya Wong / Pontianak / Tionghoanews]