Menurut Cherie, sejak "memperoleh" tubuhnya, manusia mulai memasuki sekolah kehidupan. Yang dihadapi setiap hari tak lain adalah "pelajaran" demi "pelajaran". Setiap pelajaran selalu diulang sampai kemudian dikuasai. Tak ada kata salah-benar, yang ada hanya pelajaran. Proses belajar itu tak ada akhirnya. Orang lain adalah cermin bagi kita. Seperti apakah hidup kita nanti amat tergantung pada diri sendiri.
Anto memiliki tabiat yang kurang baik. Gampang marah, memaki, atau ngomel. Suatu hari ayahnya memberi sekantung paku seraya berpesan, setiap kali marah atau ngomel, ia harus menancapkan sebuah paku pada kayu pagar belakang rumah.
Hari pertama, Anto menancapkan 27 paku. Hari demi hari berikutnya ia mampu mengurangi jumlah paku yang mesti ditancapkan. Lama-lama ia sadar, ternyata lebih mudah mengendalikan emosinya daripada harus menancapkan paku. Ia melaporkan hal itu pada sang ayah. Setelah itu ayahnya menyarankan, mulai sekarang Anto diharuskan mencopot kembali satu paku setiap kali ia berhasil mengendalikan emosinya. Pada akhirnya anak muda itu berhasil mencopot semua paku yang tertancap pada kayu tersebut.
Sang ayah kemudian menggandeng Anto melihat pagar kayu. "Kau telah melakukan sesuatu yang baik anakku. Namun, lihatlah kayu besar ini sekarang berlubang-lubang, tidak mulus lagi. Inilah cermin hidup. Setiap kemarahan, kegusaran, akan menimbulkan bekas luka di hati orang. Persis seperti bekas-bekas lubang paku pada kayu ini. Betapapun kita berkali-kali minta maaf, luka itu masih ada."
Dalam bukunya, Cherie Carter-Scott menulis, "... Setiap kemarahan akan membuatmu menjadi lebih kecil, sementara memaafkan akan mendorongmu untuk berkembang jauh melebihi ukuranmu." [Mariati Ong / Tangerang / Tionghoanews]