Pertemuanku dengan Monang telah membuatku guncang!
Cowok gunung yang dulu kekurangan vitamin itu, sekarang telah berubah menjadi cowok yang macho dan keren. Tiga hari yang lalu, ia datang bersama orangtuanya ke kampung ini. Hanya sekali pandang saja, aku sudah tahu bahwa semua yang melekat di tubuh Monang adalah barang terbagus selama ini yang pernah aku lihat. Mereka datang pakai sedan bagus, yang tidak kutahu apa mereknya. Lantas, orang-orang kampung yang amat lugu, termasuk aku dan Tigor, menyambut mereka bak raja. Lalu, dengan senyumnya yang kuakui amat memikat, Monang melemparkan puluhan coklat kepada para penyambutnya.
"Eh, kamu Tigor kan?!" serunya waktu berpapasan dengan pacarku. "Yang pernah terkencing-kencing di kelas?"
"Tapi kamu lebih sering, kan?"
Keduanya terbahak-bahak. Lalu pandangan mata Monang jatuh kepadaku.
"Hai, kamu Sondang, kan?"
Aku mengangguk, agak kikuk.
"Astaga, kamu cantik bener sekarang. Luar biasa," ia berdecak.
"Sondang pacarku, Nang."
"Ah, masak sih? Beruntung bener kamu dapat cewek secantik Sondang."
Aku jadi merenung sepulang dari rumah Ompung Monang. Cantik. Beruntung bener? Kata-kata yang tidak pernah diucapkan Tigor, meskipun kami pacaran sudah hampir tiga tahun.
Lalu, seminggu setelah berada di desa ini, momen manis itu pun terjadi, dan sungguh mati aku tidak sanggup melupakannya.
Waktu itu, Danau Toba sedang sepi. Aku sendirian. Susah payah aku berusaha menaikkan hudon berisi air di kepalaku. Nyatanya, aku tidak berhasil. Keseimbanganku oleng. Dan sebelum hudon jatuh hancur berkeping-keping, tangan kekar itu telah menyangga tubuhku.
Napasku mendadak sesak, karena jarak kami begitu dekat.
"Eh, kamu...," aku tergagap. "Kok kamu tiba-tiba bisa berada di sini?"
"Dari tadi aku malah memperhatikan kamu."
"Dari tadi?"
"He-eh. Pas tadi aku lihat kamu bawa hudon, diam-diam aku mengikutimu dari belakang."
"Mengikuti aku? Untuk apa?"
"Untuk apa kata kamu?" ia tertawa. "Aku pengen ngobrol-ngobrol dengan kamu, apa nggak boleh?"
Monang mengerling nakal. Aku membuang pandang ke arah lain.
"Boleh kan, Ndang?"
Aku mengangguk.
Pelan-pelan, Danau Toba kami tinggalkan.
"Jadi bener kamu pacar Tigor?"
"Ah...."
"Beruntung bener dia dapat cewek secantik kamu. Aku jadi ngiri, Ndang. Sungguh!"
"Ah, cewek-cewek di kota kan cantik-cantik."
"Memang. Tapi jerawatan. Nggak kayak pipi kamu yang mulus banget."
"Siapa bilang pipiku mulus. Ini, ada jerawat yang muncul."
"Mana?"
"Ini!"
"Coba aku lihat, Ah, ini mah jerawat pemanis. Bukan jerawat batu seperti jerawatnya cewek-cewek kota."
Aku bingung. Susah sekali mengelak. Monang telah meraba jerawat di pipiku. Sekarang, tangannya bergerak menjewer hidungku.
Tigor saja, yang sudah tiga tahun jadi pacarku, tidak pernah berbuat seperti itu. Bahkan berpegangan tangan saya kami tidak pernah!
"Kamu benar-benar sempurna."
"Sempurna apaan?"
"Kecantikan kamu."
Aku menggigit bibir.
"Hidung kamu memang pesek, tapi enak sekali dipandang."
Aku, benar-benar salah tingkah.
"Wajah kamu mudah sekali memerah...."
Aku diam.
"Gampang sekali salah tingkah...."
Aku tak tahu, harus bilang apa.
"Apa Tigor belum pernah memberimu ciuman?"
"Ciuman?!" Aku memekik kaget.
"Kenapa respon kamu begitu luar biasa, Ndang?" ia tertawa. "Apa ciuman itu salah? Sekadar cium di pipi, atau di kening, apa itu dilarang? Justru aku kira, ada yang salah dalam hubunganmu dengan Tigor, jika memang dia belum pernah menciummu."
Keringat banjir di keningku. Aku merasa diteror habis-habisan.
"Ciuman sayang dari sang Pacar bisa menumbuhkan rasa percaya diri, Ndang!"
"Oh...."
"Kalo boleh aku menilai, dari sikap dan gaya kamu, aku yakin Tigor belum pernah menciummu. Hehehe...."
Mulutku bergerak-gerak, tak mampu membela diri.
"Tanyakan padanya, Ndang, kenapa ia nggak pernah menciummu!"
"Apa?!"
"Ciuman itu wujud nyata bahwa pacar kita mencintai kita, Ndang!"
Aku gelagapan.
"Dan itu artinya, Tigor tidak sungguh-sungguh mencintai kamu."
Aku gamang.
"Jangan khawatir, Ndang. Jika Tigor memang nggak mencintai kamu, masih ada aku, Monang, yang bisa memberimu cinta dan ciuman. Hehehe...!"
Ingin sekali aku marah. Cara Monang bicara, berani sekali dan cenderung merendahkan. Tapi aku tidak berdaya. Kata-kata Monang benar-benar membuatku jengkel pada Tigor. Betul kata Monang, kenapa Tigor tidak pernah menciumku?
***
Anak-anak sebayaku bermain gala di halaman rumahku, dengan bulan pernama sebagai latarnya. Tigor ada duduk di sampingku. Kami lebih banyak diam. Tigor terlalu sibuk dengan permainan gitarnya. Beginilah kebersamaan kami. Tidak diwarnai apa-apa kecuali berangkat dan pulang sekolah bersama, lalu siangnya sama-sama menjaga padi di sawah.
Sejak pertemuanku dengan Monang di danau, rasanya tidurku tidak pernah lagi tenang. Sebenarnya, aku ini pacar atau sekadar teman Tigor? Tapi....
"Anu... maukah kamu jadi pacarku?"
"Pacarmu?"
"Iya, Ndang. Aku suka sekali padamu...."
"Oh...."
"Kamu mau kan, Ndang?"
"Mau...."
Pembicaraan kami tiga tahun yang lalu di suatu siang itu, bukankah itu bukti nyata bahwa aku resmi pacar Tigor? Lantas sekarang, aku harus menanyai ulang lagi? Bahkan disertai embel-embel kenapa kamu nggak pernah menciumku? Norak sekali! Tabu sekali!
"Gor...."
"Iya!" Tigor menoleh sekilas.
"Anu...."
"Pe-er Bahasa Inggrismu belum selesai?"
"Bukan itu. Anu...."
"Ada apa, sih?"
"Anu...."
Kuremas-remas tanganku. Tidak, tidak, aku tidak sanggup menanyakannya.
"Kamu aneh sekali, Ndang. Dari tadi bawaanmu gelisah. Kenapa?"
"Ah, nggak. Aku cuma mau bilang...."
"Apa?"
"Aku nggak bisa ngerjain pe-er Fisika.
"Ngomong dari tadi!" suaranya ketus. "Cepat bawa ke sini! Kamu sih, ilmu-ilmu pasti kurang kamu kuasai! Bisanya kamu cuma ilmu-ilmu sosial. Kalo gitu terus, kamu kan bisa nggak terpakai nanti!"
Aku mendengus. Huh, cowok yang sama sekali tidak romantis!
***
Monang sudah kembali ke kota.
Antara aku dan Tigor sekarang ada jarak. Aku yang sengaja menjauh darinya. Kami tidak lagi berangkat bersama ke sekolah. Pulangnya juga tidak. Bahkan menjaga padi di sawah juga aku tidak mau lagi. Aku malas bertemu tigor! Malas!
Berminggu-minggu keadaan itu berlangsung. Tapi senja ini, tak sengaja kami bertemu di danau. Aku tidak sempat menghindar.
Ia memandangku. Sekilas, tapi tajam.
Ia datang mendekat. Aku pura-pura tak melihat.
"Aku nggak ngerti kenapa tiba-tiba kamu menjahiku, Ndang...," suaranya datar, tanpa beban.
"Malas saja."
"Kamu sudah bosan bersama aku terus?"
"Ah, nggak! Lagi malas saja, kok. Lagian kerjaan di rumah sedang banyak-banyaknya."
"Kamu lain sekarang."
"Kamu juga."
"Aku juga?"
"Iya!"
"Kamu membuatku bingung," ia geleng-geleng kepala.
"Kamu apalagi!"
Ia terdiam
***
Musim mangga telah tiba di Samosir. Aroma buah mangga menyebar di mana-mana. Masa memotong padi telah berakhir, dan sekarang penduduk konsentrasi memanen buah mangga.
Pohon-pohon mangga di halaman rumahku berbuah lebat. Buahnya harum sekali. Manis sekali.
Dan sekarang ini, aku berada di puncak pohon mangga. Merenung, sambil makan buah mangga dan menikmati keindahan Danau Toba di kejauhan. Alangkah indahnya, jika sekali-sekali aku dan Tigor berkejar-kejaran di bibir Danau. Alangkah indahnya jika sekali-sekali, Tigor mencubit mesra pipiku.
Kupetik beberapa buah mangga yang sudah meranum. Lalu kulemparkan ke bawah dengan jengkel. Betul kata Monang, Tigor memang tidak mencintaiku. Tiga tahun bersama-sama, sekarang semuanya harus berlalu seperti angin?
Huh! Kulemparkan satu lagi mangga! Tidak peduli sudah matang atau belum!
Apa artinya tiga tahun bersama-sama, jika Tigor menganggapku sekadar teman?
Huh, huh! Kulemparkan lagi mangga. Terus, dan terus. Biar semua buahnya terkuras. Aku tidak peduli! Tidak peduli!
"Ndang! Berhenti dong menjatuhkan mangganya!"
Aku hampir terpeleset. Astaga, di bawah ada Tigor sedang mendongak.
"Aku boleh naik kan, Ndang?"
Aku tidak perlu mengiyakan, karena Tigor sudah memanjat pohon mangga.
Jarak kami begitu dekat sekarang.
Kami berpandangan. Lama, lama sekali.
"Halo, Ndang...."
"Halo juga."
"Apa kabar?"
"Baik...."
"Lama iya, kita nggak ngobrol...."
"Iya...."
"Ndang...."
"Iya...."
"Sungguh, aku merasa tersiksa dengan keadaan begini. Tersiksa sekali."
Aku mendunduk.
"Sekarang aku ingin kepastian, benarkah kamu sudah bosan pacaran dengan aku?"
Aku menganga. Pacaran? Jadi aku memang benar-benar pacarnya?
"Atau ada orang ketiga, Ndang?" suaranya bergetar.
Ragu-ragu, aku menggeleng.
"Jadi benar kamu nggak bosan padaku?"
Masih ragu-ragu, aku menggeleng.
"Juga nggak ada orang ketiga?"
"Nggak...."
"Benar?"
"Benar...."
"Jadi, kamu mau kembali padaku?"
Aku membuang pandang.
Kurasakan, tangannya mengambil daguku. Pelan, pelan sekali. Mata kami beradu.
"Ndang... aku benar-benar kangen...."
Tangannya terulur, menyentuh rambutku, menyentuh mataku, menyentuh pipiku, menyentuh bibirku.
Aku seperti mimpi.
"Sungguh, Ndang, aku anggak sanggup bermusuhan dengan kamu. Aku... aku kelewat sayang padamu...."
"Apa?"
"Aku cinta padamu, Ndang...."
"Apa?"
"Aku sangat, sangat, sangat cinta padamu, Ndang! Ngerti nggak?"
Airmataku merebak. Tuhan, Tuhan, Tigor sudah mengucapkannya. Apalah artinya ciuman seperti yang dimaksud Monang dibanding dengan kebersamaan kami yang begitu indah dan suci?
Namaku Sondang, cewek yang tinggal di sebuah pedesaan adem, yang bahagia punya pacar bernama Tigor.
Disalin oleh: Mei Ing