Aku hanya seorang ibu rumah tangga,” katanya, setelah keterkejutannya reda.
“Katakan itu nanti kepada suamimu,” seorang petugas menjawab.
Ini pasti malam yang buruk, pikirnya. Para petugas itu bicara mengenai peraturan daerah tentang pelacuran dan memperlakukannya seolah-olah ia pelacur. Dalam hatinya, ia mengakui pernah menjadi pelacur, tapi malam ini ia berani bersumpah bahwa dirinya hanya seorang ibu rumah tangga. Ia belum punya anak memang, Tuhan belum memberinya, tapi ia punya suami. Para petugas tak menggubris soal itu. Menurut mereka, semua pelacur selalu merasa punya suami dan mengaku hanya seorang ibu rumah tangga.
Bersama gadis-gadis dari bar, mereka membawanya ke kantor polisi dan memperoleh interogasi sepanjang malam. Ia meminta gadis-gadis itu membantunya meyakinkan para petugas bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Tapi tiga tahun berlalu dan ia tak lagi mengenali gadis-gadis itu, demikian pula mereka tak mengenalinya. Semuanya gadis baru dan ia tak menemukan teman-teman lamanya di antara mereka. Gadis-gadis itu tak punya gagasan tentang siapa perempuan itu dan apa yang dilakukannya di pintu Beranda pada pukul setengah dua malam.
Menjelang subuh, tanpa tertahankan Marni akhirnya menangis. Ia kembali memohon minta dibebaskan, berkata bahwa suaminya pasti akan merasa kehilangan dan barangkali kini tengah mencari-carinya. Seorang petugas, dengan mulut yang sinis, berkata, “Jika benar kamu punya suami, besok pagi ia akan menjemputmu.”
“Tetapi, suamiku tak tahu aku ada di sini,” katanya.
“Jadi, kamu jual dirimu tanpa suamimu tahu, heh?”
Sejujurnya ia sungguh tersinggung dengan ucapan tersebut. Ia kembali berpikir, barangkali ini memang malam buruknya. Beruntunglah menjelang pagi seorang perempuan dari dinas sosial berbaik hati menghubungi suaminya. Setelah bicara dengan Rohmat Nurjaman, suami Marni, perempuan dari dinas sosial itu kemudian berbaik hati mengantarkan Marni pulang. Penuh rasa syukur Marni mencuci muka, menaburkan bedak yang dipinjam dari seorang gadis bar ke mukanya, dan memoleskan gincu ke bibirnya. Ia akan pulang dan bertemu kembali dengan suaminya.
Namun, sesampainya di rumah, selepas kepergian perempuan yang mengantarnya, Marni dihadapkan pada keadaan yang tidak lebih baik. Di atas sofa, tergeletak koper berisi barang-barangnya. Rohmat Nurjaman berdiri di pintu kamar, memandang wajah istrinya, terutama gincu di bibir Marni dengan sejenis tatapan kau-laksana-perempuan-binal, berkata pendek, “Sebaiknya kita bercerai saja.”
Marni ingin menjelaskan, tetapi tak tahu apa yang harus dijelaskan. Dan, Rohmat Nurjaman tampaknya tak menginginkan penjelasan.
Sebenarnya Rohmat Nurjaman tak suka melihat istrinya mempergunakan gincu. Tapi jika ia melarangnya, dan kemudian mengemukakan alasannya, ia khawatir itu akan menyinggung perasaan istrinya. Marni pasti tak suka jika kepadanya ia berkata, “Dengan gincu itu kau tampak serupa pelacur.”
Masalahnya, ia memang menemukan istrinya di satu tempat remang-remang beberapa tahun lalu. Tentu saja itu masa lampau dan mereka telah bersepakat melupakannya. Itu masa-masa ketika Rohmat Nurjaman bersama tiga temannya menghabiskan malam-malam di beberapa bar dangdut yang berserakan di sepanjang Jalan Daan Mogot. Di sanalah Rohmat Nurjaman berkenalan dengan Marni.
Awalnya hubungan mereka merupakan pertemuan ganjil antara pelanggan dan pelayan. Seperti semua orang tahu, gadis-gadis yang bekerja di tempat serupa itu selalu akan mempertahankan pelanggannya agar tidak diambil gadis lain. Ini menyangkut penghasilan tambahan mereka yang kenyataannya lebih besar daripada upah yang dibayarkan pemilik bar. Tak jarang timbul cekcok di antara gadis-gadis itu jika seorang dari mereka menyerobot pelanggan milik gadis lain. Biasanya ini terjadi dengan gadis baru atau pelanggan yang lama tak muncul.
Bagi pelanggan sendiri, paling tidak bagi Rohmat Nurjaman kala itu, kecenderungan gadis-gadis tersebut juga menguntungkannya. Ini memberinya jaminan setiap kali datang ke bar tersebut, ia akan memperoleh seorang gadis. Percayalah, tak menyenangkan berada di tempat serupa itu, dengan biduan bernyanyi di atas panggung kecil dan bir di atas meja, tanpa seorang gadis bergelayut di sampingmu.
Begitulah, setiap kali ia datang ke Beranda, salah satu bar dangdut di daerah tersebut, Rohmat Nurjaman akan ditemani Marni. Bisa dihitung dengan jari kunjungan Rohmat Nurjaman tak membuatnya bertemu dengan Marni. Biasanya itu terjadi saat jatuh hari libur si gadis, atau si gadis meriang, atau pulang kampung ke Banyumas.
Hubungan ini berkembang menjadi sejenis keseriusan yang menjadi candu. Di siang hari yang penat, dengan udara yang membosankan, sekonyong Rohmat Nurjaman menemukan dirinya mengirimkan pesan pendek kepada gadis itu, “Kamu sedang apa? Nanti malam jangan sama yang lain, aku akan datang.”
Dan suatu pagi, Rohmat Nurjaman menemukan pesan dari si gadis di layar telepon genggamnya, “Mas, nanti malam datang tidak? Aku kangen.”
Tentu saja bukan waktu yang singkat dalam hubungan mereka yang semacam itu, jika kemudian Rohmat Nurjaman memutuskan mengeluarkan gadis itu dari bar Beranda sekaligus meminangnya. Rohmat Nurjaman pergi ke pedalaman Banyumas ditemani ketiga temannya. Di sana ia menikahi Marni, sebelum membawanya kembali ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah mungil agak di luar kota.
Ternyata itu bukan perkawinan yang mudah. Pada hari-hari pertama perkawinan mereka, Rohmat Nurjaman sering didera mimpi melihat istrinya ditiduri para pelanggan lain di kamar-kamar Beranda. Karena Rohmat Nurjaman tahu di suatu masa mimpinya merupakan kebenaran, ia sering dilanda kecemburuan begitu terbangun dari tidur. Marni juga didera khayalan yang mengganggu, membayangkan suaminya pergi ke Beranda dan meniduri gadis lain. Ini pun pernah terjadi dan mereka berdua tahu.
Kecemburuan itu membawa mereka pada pertengkaran kecil, yang lalu diselamatkan oleh cinta. Suatu hari, di bulan ketujuh belas pernikahan mereka, keduanya berjanji untuk tak lagi mengenang masa lalu dan mengubur habis semua kecemburuan. Setelah itu segalanya berjalan lebih baik.
Kecuali gincu di bibir Marni.
Ia belajar mempergunakan gincu dari Maridah, perempuan yang saat itu paling tua di bar. Maridah pulalah yang membawanya dari Cibolang, sebuah nama yang tak ada di peta dan hanya akan disebut sebagai “di pedalaman Banyumas”. Banyak gadis-gadis di awal belasan tahun telah dibawa Maridah ke Jakarta dari tempat itu. Sejak awal mereka tahu akan bekerja di bar-bar semacam Beranda, tetapi Maridah meyakinkan mereka dengan berkata, “Kamu tak perlu jadi pelacur di sana, cukup melayani pelanggan minum bir.”
Awalnya memang begitu, tetapi tidak benar-benar begitu. Para pelanggan itu tak hanya ingin dilayani menuangkan bir ke gelas mereka, tetapi minta didampingi. “Temani saja,” kata Maridah. Jadi, ia duduk di samping mereka, ikut minum dan makan cemilan, dan sesekali ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Itu tak seberapa jika tangan para lelaki pelanggan itu bisa diam. Jemari mereka cenderung bergerak, awalnya hanya menyentuh tangan, lama-lama merayap ke segala arah.
Belakangan ia mulai belajar dengan cara itulah ia bisa memperoleh uang lebih banyak. Dan, kemudian tahu, jika ingin memperoleh lebih banyak lagi, ia mesti tidur dengan mereka. Lima bulan selepas itu Marni kehilangan keperawanannya dan hidupnya terus berjalan dari malam ke malam hingga ia berjumpa dengan Rohmat Nurjaman.
Dalam hal-hal tertentu, Rohmat Nurjaman tak berbeda dengan pelanggan lain yang gemar menjamah. Bahkan, lebih buruk karena kadang membayar lebih sedikit. Tetapi, dalam perkara lain, ada hal-hal berbeda yang disukai Marni. Tidak seperti pelanggan lain yang buru-buru mengajak ke lantai atas menjelang pukul lima, di mana terdapat kamar-kamar untuk telanjang, Rohmat Nurjaman lebih suka membawanya keluar selepas bar tutup.
Mereka akan mencari motel dan itu berarti Marni tak perlu berbagi penghasilannya dengan pemilik bar. Itu bukan satu-satunya yang menyenangkan buat Marni. Di motel mereka tak merasa perlu buru-buru, mereka bisa bermalas-malasan hingga pukul dua belas siang. Mereka juga bisa berjalan-jalan di siang hari selepas itu, mencari sarapan yang terlambat. Apa boleh buat, itu membuat mereka lambat-laun mulai jatuh cinta satu sama lain.
Sejarah kecil itu diketahui sepenuhnya oleh Rohmat Nurjaman.
Tiga tahun usia perkawinan mereka, namun Rohmat Nurjaman masih merasa sesuatu mengganjal dalam kehidupannya. Itu adalah gincu di bibir istrinya. Gincu yang sama sebagaimana ia pernah melihatnya di keremangan bar Beranda. Memang ketika mereka mengikrarkan pernikahan, keduanya telah berjanji untuk menjalani hidup baru sebagai suami dan istri, bukan pelayan bersama pelanggannya.
Tetapi, Marni masih mempergunakan gincu yang sama dan dengan cara yang sama. Rohmat Nurjaman ingin melarangnya, tapi berpikir jika ia melakukannya, itu hanya akan mengingatkan kepada masa-masa mereka di bar. Dari pagi ke pagi, dari senja ke senja, gincu itu semakin mengganggunya. Hingga akhirnya Rohmat Nurjaman mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan istrinya sementara ia pergi bekerja.
Rohmat Nurjaman tak pernah berhasil membuktikan kecurigaan atas istrinya. Bahkan, meskipun beberapa kali ia sengaja mendadak pulang, ia selalu menemukan istrinya ada di rumah, menunggunya. Hingga suatu pagi seorang perempuan dari dinas sosial meneleponnya dan ia merasa memperoleh bukti untuk kemudian menghukumnya tanpa ampun dengan sebaris kalimat pendek:
“Sebaiknya kita bercerai saja.”
Tak ada tempat untuk pergi kecuali ke Beranda. Pemilik bar masih mengenalinya dan memperbolehkan Marni untuk kembali bekerja di sana.
Di tempat itu ingatannya kepada Rohmat Nurjaman malah menjadi-jadi. Saat menemani seorang pelanggan, ia akan mengenang masa ketika mereka bicara tentang banyak hal. Kebanyakan tak dimengertinya, tapi dengan senang hati ia mendengarkan, dan Rohmat Nurjaman tak pernah menuntutnya untuk mengerti. Suatu ketika Rohmat Nurjaman berkata kepadanya, “Banyak perempuan di luar sana, beberapa pernah jadi pacarku, gemar bicara padahal mereka tak mengerti apa pun.”
Ia merasa itu pujian untuknya. Tetapi, saat paling membahagiakan dalam hidupnya adalah malam ketika Rohmat Nurjaman berkata:
“Rasanya aku mencintaimu.”
Sejak itu ia mulai sering berdandan setiap tahu akan bertemu Rohmat Nurjaman. Ia tak tahu banyak hal untuk diberikan kepada kekasihnya, kecuali memamerkan senyum yang tulus berhias gincu.
Hingga tiga tahun perkawinan mereka dan Marni mendapati suaminya berubah. Rohmat Nurjaman sering tak pulang dan tak lagi mencumbunya dengan kegairahan seorang lelaki cabul. Barangkali aku tak lagi cantik, pikirnya. Barangkali karena tak juga kami punya anak, katanya kepada diri sendiri. Atau barangkali suaminya pergi kembali ke Beranda dan menemukan gadis yang lebih manis di sana? Barangkali gadis itu masih empat belas tahun dan mengoleskan gincu lebih tebal di bibirnya? Marni merasa panas namun mencoba membuang kecurigaan tersebut. Meski begitu, suatu malam ketika suaminya tak juga muncul selewat pukul dua belas dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tak pula menemukan jawaban, perempuan itu memutuskan keluar rumah.
Marni memoleskan gincu ke bibirnya, percaya itu akan membuat Rohmat Nurjaman kembali ke pelukannya. Ia menghentikan sebuah taksi dan minta diantar ke Beranda. Di sana, atas nama peraturan daerah tentang pelacuran, lima orang petugas menangkap Marni. Sejujurnya ia mulai menganggap semua itu hukuman untuknya, yang telah berburuk sangka suaminya pergi ke Beranda untuk meniduri perempuan lain. Menurut dia, itu malam buruk yang diawali pikiran buruk dan ia sungguh menyesal.
Kini, kembali bekerja di bar tersebut, Marni terus memelihara keyakinan bahwa suatu malam suaminya akan muncul, lalu mereka akan memulai semuanya dari awal. Dalam penantiannya, ia masih kukuh pada janji yang tak pernah diucapkannya. Ia tak mengenakan gincu. Seorang gadis dua belas tahun yang baru bekerja di sana pernah menanyakan mengapa ia tak bergincu, dan Marni menjawab:
“Gincu ini merah, Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.”
Memang sejak ia jatuh cinta kepada Rohmat Nurjaman, apalagi setelah mereka menikah, ia tak pernah membuat merah bibirnya untuk lelaki lain. [Chen Mei Ing]