Pembaca yang aku hormati...
Sejak pacaran dengan Ita, aku memang sering direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, jika malam minggu aku tidak dapat menemuinya. Karena kadangkala aku harus mengantarkan ibu dan ayahku ke resepsi perkawinan. Tapi begitu kuceritakan dengan detail acara tersebut, Ita lalu meminta maaf sembari menciumiku. Dulu kupikir itu hanya sebuah bentuk cemburu kecil semata. Aku layak berbahagia karena toh sebagian orang mengatakan cemburu adalah salah satu bukti cinta.
Namun, setelah setahun usia pernikahanku, cemburu Ita tak juga berkurang, malah makin menggila, bahkan makin menterorku. Bayangkan, setiap pagi aku harus membawa barang miliknya kekantor, alasannya supaya ingat istri. Memang, barang yang dipaksakan aku bawa adalah barang yang kecil dan ringkas, tapi sudah menjadi beban mentalku. Seperti lipstik, saputangan, gantungan kunci berinitial Ita, sebuah rol rambut, bahkan pernah dipaksanya aku membawa celana dalam miliknya. Semua itu harus kubawa setiap pagi dan dimasukkan kedalam tas kerjaku.
Setelah tiba dikantor, aku wajib telpon ke handphonenya dari nomer telpon kantor, agar Ita mempercayaiku bahwa aku sudah tiba dikantor. Kemudian saat jam makan siang tiba Ita yang meneleponku dari kantornya ke nomer telepon kantorku untuk memastikan bahwa aku memakan bekal makan siang yang dibawakannya untukku. Sore harinya usai kantor, aku harus menjemput Ita kekantornya dan pulang bersamaan dengannya menuju rumah kami di Pamulang, di sepanjang perjalanan pulang Ita selalu menggenggam ponselku untuk memeriksa sms yang masuk. Jadi sebelum aku menjemputnya, aku harus men-delete telpon/sms yg masuk, apalagi jika dari kawan perempuan pasti bakal ada seribu bahkan sejuta pertanyaan keluar dari mulutnya. Melelahkan...
Semua itu belum sebanding dengan ulah Ita yang meminta gajiku dan gajinya masuk kedalam satu rekening bersama, tapi hanya Ita yang berhak memiliki ATM-nya. Tiap hari Ita memeriksa isi dompetku dengan alasan mengecek apakah uang didompetku cukup untuk beli bensin dan bayar tol. Aku tidak pernah punya uang lebih sedikitpun, padahal seharusnya aku bisa menikmati sedikit saja uang dari hasil kerja kerasku setiap bulan. Namun, alasan Ita cukup masuk akal, kami harus menabung untuk bisa mencicil rumah sendiri.
Ita memang hemat, dan hanya membelanjakan uang kami untuk seperlunya saja. Kami juga tidak memerlukan pembantu karena kami belum dikaruniai anak, semua pekerjaan dirumah sudah dibagi oleh Ita untuk dikerjakan oleh kami berdua. Sesampai rumah aku harus mencuci serta menyeterika baju, sementara Ita langsung ke dapur membuat makan malam. Sesekali aku menawarkan untuk makan malam di luar, biar lebih praktis. Namun, Ita menolaknya mentah-mentah, karena menurutnya hal itu adalah pemborosan.
Pembaca yang baik...
Aku belum selesai bercerita tentang istriku, tiap malam usai mengerjakan semua pekerjaan di rumah, disaat aku sudah kehilangan tenaga, dan hanya ingin tidur saja, namun Ita memintaku menceritakan secara detail apa saja yang kulakukan di kantor. Dan ini terjadi setiap malam.
Belum lagi, Ita selalu memaksaku mengantarnya ke supermarket untuk belanja keperluan mingguan kami. Bagi Ita pergi berdua ke supermarket adalah kewajiban supaya aku dapat melihat kebutuhan rumah tangga kami dan bekerja lebih giat lagi agar mendapatkan promosi yang otomatis akan menaikkan gaji bulananku. harga-harga barang sekarang sudah naik, makanya kerja yang benar dong supaya cepet promosi, cetusnya berulang kali.
Pembaca yang budiman...
Aku tersiksa dengan perkawinan seperti ini. Tak sedikitpun terbayang olehku jika perkawinan ternyata adalah sebuah penjara. Aku mulai tidak menikmati kehidupan perkawinan ini. Aku muak. Aku bingung mengartikan cinta Ita kepadaku, ini bukan lagi cinta, menurutku ini pengekangan kebebasan hak seorang suami. Bahkan sekarang aku sudah tidak bisa lagi berkumpul bersama kawan-kawanku. "Tak ada gunanya dan hanya menghabiskan uang saja," ujar Ita selalu mengingatkan.
Aku menginginkan sebuah kehidupan pernikahan yang sederhana saja, saling menghormati hak sebagai suami dan istri, saling mempercayai serta menikmati perkawinan dengan nyaman, tanpa harus kehilangan sosialisasi, tanpa harus saling mengekang. Jika ternyata Ita tidak segera berubah atau merubah diri, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk bercerai saja. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com