Setiap orang, dari anak-anak hingga kakek nenek, perempuan dan laki-laki, dari yang pengangguran hingga perangkat desa, dari buruh tani hingga pedagang kelontong, memegang teguh petuah moyang mereka yang dilisankan secara turun-temurun.
“Jangan mengambil sesuatu yang bukan hak kalian. Berbahagialah dengan apa-apa yang kalian punya. Nrimo ing pandum. Sebab, Tuhan tahu apa yang kalian butuhkan. Sebab, Tuhan akan memenuhi apa-apa yang kalian butuhkan. Bukan apa yang kalian ingini.” Maka itu, tak ada penduduk yang terlihat sedih kendati makan sehari sekali, atau karena panen gagal, atau karena tak mampu membayar rekening listrik.
Dan, tembok itu lalu berubah fungsi. Tembok itu berdiri bukan lagi untuk melindungi rumah gedung mewah di baliknya, namun mengasingkan segala yang ada di rumah mewah itu dari lingkungan sekitarnya. Mengasingkan penghuni-penghuninya dari interaksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Orang-orang segan mengetuk pagar besi di salah satu sisi tembok itu yang merupakan pintu masuk ke halaman rumah mewah itu. Hampir 15 meter jarak pintu pagar besi itu dengan pintu rumah. 15 meter yang kanan kirinya ditanami palem botol dan mawar jambe. 15 meter yang meredam suara siapa saja yang memanggil-manggil pemilik rumah bila hendak bertamu. Seringkali panggilan-panggilan itu berujung pada perasaan mengkal sebab tak ada satu pun yang keluar dari pintu rumah itu. Itulah sebabnya kemudian tidak ada yang mengundang pemilik rumah itu bila ada warga yang mengadakan kenduri. Tidak ada pula yang mengajak menghadiri tahlil atau kerja bakti kampung.
Pemilik rumah mewah itu sebenarnya bukan penduduk asli kampung itu. Mereka pindah dari kota sesaat setelah televisi dan koran-koran mengabarkan demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Demonstrasi untuk menurunkan presiden. Demonstrasi yang kemudian banyak diikuti penjarahan dan pembakaran toko-toko serta pusat perbelanjaan. Demonstrasi yang diikuti pula pemerkosaan dan pembunuhan.
Dari desas-desus yang beredar di warung kopi, pemilik rumah dengan perut buncit dan bibir yang selalu basah itu mulanya adalah pejabat tinggi di kota. Lelaki itu pindah ke kampung untuk mengungsi. Untuk menyelamatkan harta dan keluarganya.
Pada masa itu, orang-orang tiba-tiba fasih berbicara tentang korupsi, tentang kolusi, tentang nepotisme, tentang reformasi dan inflasi. Semua orang tiba-tiba mahir berteriak dan berani membakari potret presiden. Semua orang. Dan, itu berarti termasuk mereka yang dulunya rajin membungkuk dan mencium tangan presiden bila bertemu.
Setelah presiden turun, orang-orang itu juga ramai menyeru setiap orang yang dulu dekat dengan presiden, menyeru dengan kemarahan yang sama, meneriakkan kata-kata, “Korupsi, kolusi, nepotisme, reformasi, diadili.” Konon, lelaki pemilik rumah mewah itu adalah salah satu dari mereka yang diteriaki dan disumpahi oleh para demonstran.
Lelaki itu memutuskan bersembunyi di kampung ini untuk menyelamatkan diri dari tuduhan korupsi. Kampung ini sepi dan jauh dari kota. Tak akan ada yang mengira bila ia bersembunyi di sini, pikirnya dulu. Dan itu benar. Hingga 13 tahun setelah kerusuhan-kerusuhan itu, tidak ada orang yang menangkapnya. Tidak ada petugas dari aparat berwenang yang menjemputnya.
Lelaki itu membawa pula keluarganya. Seorang istri dan seorang anak perempuan. Anak perempuan yang cantik dan tengah berada dalam usia yang matang. Sekitar 25 tahun. Anak perempuan yang pendiam dan nyaris tidak pernah keluar dari balik tembok yang mengurung rumahnya. Anak perempuan yang setiap siang berenang di kolam belakang rumahnya dengan hanya berkutang dan bercelana dalam.
Anak perempuan yang tak tahu bila tembok yang tepat berhadapan dengan kolam renang itu berlubang. Kecil sekali. Hanya sedikit lebih besar dari lubang kunci. Dan, seorang pemuda kampung berkulit hitam dengan totol-totol panu di leher rajin mengintip dari lubang itu. Mengintip anak perempuan yang berenang dengan hanya mengenakan kutang dan celana dalam itu. Mengintip sambil berulang mendesis, “Alangkah cantik kau, alangkah cantik kau.”
Pemotong rumput, lelaki itu. Ia mengarit rumput dan menjualnya kepada pemilik sapi yang tak sempat mengarit. Tiga ribu rupiah per ikat besar. Dulu, sewaktu masih di sekolah dasar, gurunya bertanya, “Apa cita-citamu?” dan ia menjawab, “Dokter.” Gurunya mengangguk-angguk senang dan berkata, “Bagus benar cita-citamu. Rajin-rajinlah belajar biar tercapai cita-citamu.”
Dan, pasti guru-guru itu akan lebih senang bila ia benar-benar menjadi dokter. Tapi, seorang lulusan sekolah dasar tidak bisa jadi dokter. Emaknya yang buruh tani tak mampu membayar uang pendaftaran masuk sekolah menengah. Bapaknya sudah lama meninggal. Jatuh dari tebing ketika hendak mencungkil batu padas. Kawan-kawan bapaknya sesama kuli batu menggotong mayat bapaknya yang pecah kepalanya itu. Ia tidak ingat peristiwa itu. Ia masih terlalu kecil waktu itu. Baru menginjak dua tahunan.
Setelah tahu tak mungkin jadi dokter, ia mulai berkhayal menjadi Jaka Tarub, tokoh dalam dongeng yang kerap diceritakan emaknya. Jaka Tarub yang penyabit rumput. Jaka Tarub yang pada suatu ketika mengintip tujuh bidadari yang tengah mandi di telaga. Jaka Tarub yang kemudian mencuri salah satu selendang bidadari itu dan memperistri bidadari yang tidak bisa lagi terbang ke kayangan itu. Maka setelah beberapa waktu lulus sekolah dasar, ia memutuskan menjadi penyabit rumput, seperti Jaka Tarub.
Dia pun merasa benar-benar akan seperti Jaka Tarub ketika pada suatu siang, ketika sedang beristirahat setelah menyabit rumput dari pagi hari di sawah belakang tembok rumah mewah itu, ia iseng-iseng membuat lubang di tembok itu dengan ujung sabitnya. Ia hanya ingin tahu ada apa di balik tembok itu. Alangkah terpukau ia, seakan terpaku ia, diam terpana begitu disaksikannya seorang perempuan cantik nyaris telanjang berenang-renang dalam kolam renang itu. “Apakah ia Nawangwulan?” tanyanya, entah kepada siapa. Barangkali kepada dirinya sendiri.
Semenjak itu, setiap siang, ia selalu berada di tempat yang sama. Di sawah belakang tembok itu. Berdiri tepat di hadapan lubang kecil itu. Mengintip anak perempuan bekas pejabat yang dituduh koruptor itu. Memikirkan cara masuk ke balik tembok itu. Mencuri pakaian perempuan itu yang diletakkan di kursi kayu panjang di pinggir kiri kolam renang itu. Lalu menikahinya. Seperti Jaka Tarub menikahi Nawangwulan.
Namun, perempuan itu bukan Nawangwulan. Pun ia bukan Jaka Tarub. Maka sesuatu yang buruk terjadi ketika ia memutuskan memanjat tembok itu. Memutuskan mengambil baju perempuan itu yang akan digunakannya sebagai sarana mantra pengasihan seperti yang diajarkan seorang tua di kampung. Lalu, ia melompat masuk.
Secepat kilat ia mengambil pakaian perempuan itu dan berusaha keluar ke sawah di balik tembok. Gerakannya tak secepat teriakan perempuan itu. Teriakan kaget bercampur takut. Dan, perasaan takut perempuan itu merembet dengan cepat pula pada kedua telapak kakinya. Langkahnya tiba-tiba gaguk. Akar yang menyembul ke atas tanah dari pohon rambutan yang meneduhkan tepi kolam itu membuatnya terjatuh. Tersandung.
Lelaki tua dengan perut buncit dan bibir senantiasa basah itu tiba-tiba sudah berada di tepi kolam itu ketika ia berusaha bangkit dari jatuh. Datang dengan seorang tukang kebun bertubuh kekar. Di belakang mereka, dengan raut cemas, berdiri ibu perempuan itu dengan seorang pembantu setengah tua berdaster lusuh.
Ia mencoba bangkit dan buru-buru berlari. Namun, ada sesuatu yang berat menghantam tengkuknya. Membuatnya kembali tersungkur. Tembok itu terlihat begitu jauh. Teramat tinggi untuk bisa segera dilompati. Sekali lagi sesuatu yang berat menumbuk kepalanya. Lalu, ia merasa segalanya gelap.
“Pingsan,” kata tukang kebun. Tangan kanannya memegang potongan pipa besi. Potongan itulah yang tadi digunakan untuk menghantam tengkuk dan kepala pemuda berkulit hitam dengan banyak totol panu di lehernya.
Pemuda berkulit hitam itu tak tahu apa yang kemudian terjadi. Ia tersadar ketika merasakan tubuhnya basah. Seseorang menyiram tubuhnya yang telah terikat di halaman rumah mewah itu. Tukang kebun itu berdiri sambil memegang ember di hadapannya. Sepertinya tukang kebun itulah yang telah menyiramnya.
“Dasar maling,” maki tukang kebun itu sembari meludahinya.
“Ternyata tembok itu tak cukup efektif mencegah maling masuk. Bahkan, maling ini berani beraksi di siang bolong begini. Pasti masih banyak lagi maling di kampung ini yang juga mengincar rumahku ini. Barangkali tembok itu mesti ditinggikan dan dipasang kawat berduri di atasnya,” kata lelaki gemuk ayah perempuan yang mirip Nawangwulan itu.
Beberapa saat kemudian para polisi datang. Di belakang rombongan polisi itu, beberapa warga melongok. Mereka merasa heran mengapa ada begitu banyak polisi menuju rumah mewah yang senantiasa terkunci pintu gerbangnya itu. Awalnya, mereka mengira polisi-polisi itu bakal menangkap lelaki yang pernah dituduh koruptor itu.
Tetapi tidak. Polisi hanya membawa pemuda penyabit rumput berkulit hitam dengan totol-totol panu di leher yang telah terikat itu. Warga yang belum mengetahui kejadian sebenarnya hanya bisa terlongo-longo. Emak penyabit rumput itu menangis menggerung-gerung melihat anaknya diseret-seret. Anak perempuan yang pendiam itu memandang dengan tatapan jijik dan geram.
Sementara itu, lelaki gendut yang bersembunyi karena dituduh korupsi itu mengisap rokok dalam-dalam. Dia lalu menyalami polisi-polisi itu sebelum mereka pergi, sembari terus berpikir untuk sesegera mungkin memasang kawat berduri di atas tembok yang mengelilingi rumahnya. (*)
Disalin oleh: Chen Mei Ing