KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 18 April 2011

CINTAKU YANG TERTUNDA

Aku masih terpaku. Tak bisa berkata apa-apa. Entah karena baru saja menerima kenyataan pahit tadi pagi, bahwa aku nggak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang aku idam-idamkan. Atau karena harus menerima kenyataan lainnya: Erik akan pergi dari kota tempat tinggal kami. Bukan pergi sebentar, tapi pergi yang lama, bahkan mungkin sangat lama. Bukan hanya ke kota lain, melainkan ke negara lain!

Sedianya ini adalah kesempatan bagiku untuk memberi jawaban apakah aku akan menerima cintanya. Ceritanya, ini pertemuan kami yang terakhir sebelum dia melanjutkan pendidikannya menjadi seorang penerbang. Besok Erik sudah berada di Jakarta. Beberapa hari kemudian dia akan terbang ke Australia. Yah… memang tak ada yang menyangka. Erik yang banyak diremehkan orang, akhirnya lolos tes yang diadakan sebuah perusahaan penerbangan.

Aku membayangkan, akan selalu terkenang sosok Erik yang selalu bermasalah dengan sinusitisnya. Tapi itu semua sudah berlalu. Erik akan segera menjadi penerbang. Erik yang sampai detik ini pun masih akrab dengan kemeja dekilnya, celana butut dan sandal jepit, beberapa bulan lagi akan mengenakan seragam putih biru khas penerbang yang pastinya akan membuat cewek-cewek keder. Ya, siapa sangka.

Dan dari tadi kami hanya ngobrol ngalor ngidul nggak keruan, atau kalau bisa lebih jujur lagi dari tadi kami lebih banyak diam, saling memandang dan saling salah tingkah sendiri. Sementara waktu terus berjalan. Tak terasa kami sudah duduk di ruang tamu rumah orangtuaku selama dua jam. Aku tahu apa yang ada dalam pikiran Erik. Tapi aku tak berani bicara.

Aku tak meragukan cinta Erik. Itu pasti. Aku bisa merasakan Erik menganggapku lebih dari sekadar teman masa kecil. Itu jelas terlihat dari isyarat-isyarat yang diungkapkannya. Selama ini Erik selalu menjadi pelindungku, pahlawanku. Dia rela masuk antrean panjang hanya agar aku kebagian tiket setiap kali mau pergi naik kereta api. Travelling memang hobi kami berdua. Tanpa kuminta dia selalu mengirimkan buku-buku pelajaran bekasnya kepadaku, yang berstatus adik kelasnya.

Yang paling kentara barangkali adalah waktu Erik tahu Anto mengirimiku surat cinta. Erik memperlihatkan ekspresi antara marah dan cemburu. Tapi itu segera hilang ketika dia tahu aku menolak cinta Anto.

Ah… sudahlah… semua itu telah berlalu. Masih banyak isyarat lain yang membuatku yakin bahwa perasaan Erik sama denganku. Sampai kemudian Erik benar-benar menyatakannya pekan lalu. Hingga pagi tadi aku masih yakin akan jawabanku: IYA.

Namun kini aku kembali ragu. Salah satunya gara-gara hasil ujian sialan itu. Itu membuat aku kini benar-benar minder di hadapan Erik! Oh, God! Help me please…. Mungkin masalahnya akan selesai kalau saja aku berani mengatakan: Aku juga mencintaimu, Erik. Aku mau menunggumu pulang dari Australia. Namun shit! Aku tak yakin lagi akan melakukan itu. Dan itu sungguh menggangguku.

Dua jam berlalu. Erik masih berada di depanku. Berlagak menghela napas. Dia kurang lebih sama kakunya denganku. “Jadi bagaimana, Mei?” tanya Erik, akhirnya. “Aku.. aku harap kamu hati-hati di sana,” kataku, asal-asalan. Tentu saja itu bukan jawaban yang diharapkan Erik.

Olala, ke mana kata-kata yang biasanya selalu lancar keluar dari mulutku? Erik lantas diam. “Kamu juga baik-baik di sini, ya,” kata Erik lagi, parau. Aku mengangguk. Dan kami bersalaman agak lama.

Setelah itu Erik berpamitan pada ayah dan ibu, dan berlalu. Hatiku menjerit lirih. Erik telah pergi. Dan kesempatan terakhir untuk bicara dari hati ke hati itu lenyap sudah. Bahkan aku tak berani menanyakan nomor telepon dan alamatnya di Australia. Betapa sedihnya. Sedangkan besok dia sudah jauh. Kami akan dipisahkan oleh bermil-mil jarak. Dan aku tak tahu apakah kesempatan itu akan datang lagi…

Buntutnya, aku tak bisa tidur semalam suntuk. Melamunkan Erik, membuat mataku enggan terpejam. Semalaman aku hanya berhasil memicingkan mata, tapi tak kunjung tertidur. Hampir semalaman aku gunakan waktu untuk meresapi alunan musik dari album musik klasik yang diberikan oleh Erik beberapa waktu lalu, sebagai hadiah lulus SMA.

Sebenarnya sudah sejak setahun lalu aku minta album itu. Tapi Erik terlalu sayang pada album itu sehingga belum rela melepasnya. “Buat kenang-kenangan, Erik. Siapa tahu aku diterima di ITB dan harus tinggal di Bandung,” kataku waktu itu, hanya bercanda.

Ternyata kondisi sekarang berbalik 180 derajat. Erik yang ternyata akan pergi. Sedangkan aku? Lulus ujian pun tidak! Erik mengabarkan dirinya lolos tes calon penerbang dengan tatapan takjubnya. “Aku lulus!” ujar dia sambil meraih tanganku menyerahkan album yang akhirnya selalu menemaniku saat sendiri. “Jaga baik-baik album ini, Mei. Kalau bisa jangan sampai rusak,” kata Erik sebelum benar-benar memberikan album itu.

Aku tersenyum sendiri. Kecut. Sebenarnya aku dan Erik sudah sama-sama tahu bahwa kami saling menyayangi. Tapi ternyata kami sama-sama pengecut untuk mengatakannya. Dan hari sudah hampir pagi ketika aku tiba pada sebuah kesimpulan, bahwa aku harus bicara padanya.

Maka, persetan dengan semuanya. Aku berlari kencang ke arah rumah Erik yang berjarak satu blok dari rumahku. Aku terus berlari sekencang mungkin, tanpa menghiraukan tatapan heran orang-orang yang kutemui di jalan. Tapi yang kudapati di sana adalah rumah kosong. Dari tetangga sebelah aku tahu bahwa beberapa menit lalu seluruh penghuni rumah telah berangkat mengantar Erik ke bandara. Aku tercekat.

Kuusap peluh yang menetes deras membasahi mukaku. Bersamaan dengan itu sekuntum kembang kopi jatuh di pelataran rumah Erik, seakan mewakili hatiku yang baru saja kehilangan orang tercinta. Erik telah pergi. Aku menjerit tanpa suara. Episode cinta ini telah usai sebelum dimulai. Namun di hatiku masih tersimpan sebuah harapan. Semoga cinta kan membawa Erik kembali.

Ponsel Nokia di sakuku bergetar pelan. Ada SMS dari nomor asing. ”Apakah ini Mei? Meira Ramadhani?”

Aku pun mulai mengetik untuk membalas SMS itu: ”Ya benar. Anda siapa?”

”Aku Erik. Apa kabar?”

Deg. Dia hanya menyebut satu kata. Namun cukup membuatku limbung. Empatbelas tahun berlalu sejak kali terakhir aku melihatnya di teras rumahku.

Setelah berhasil menguasai diri, aku mengetik lagi. Dan dalam waktu singkat terjadilah acara balas berbalas SMS.

“Apa kabar?”

“Baik”

“Skrng di mana? Kok tahu nomorku?”

”Di Jkt. Dr ayahmu.”

”Oh. Anak-anak baik?” tanganku bergetar saat menuliskan pesan yang satu ini.

”Mrk sehat. Keluargamu?”

”Baik2 aja. Mksh.”

”Mei, boleh mnlpon?”

”Sebaiknya tdk.”

”Ya, aku mngrti.”

”Great.”

”Mat mlm, Mei. Doaku sll.”

”Sama2. Mksh.”

Aku menutup ponselku. Lemas.

*****

Aku tiba di kantor kepagian. Baru mau masuk ruangan, petugas sekuriti terlihat berlari memburu di belakangku.

”Bu, ada titipan,” ujarnya sambil menyerahkan seikat kembang rose putih gading.

Aku tersentak. ”Dari siapa, Pak?”

”Pengirimnya tidak bersedia menyebutkan nama, Bu.”

”Baik, terima kasih, Pak.”

Aku hempaskan pantat di kursi kerja. Bersamaan dengan itu bunga segar yang menebarkan bau wangi itu kuletakkan di meja. Tak terlihat kertas ucapan ataupun sekadar menyebutkan pengirimnya.

Seumur-umur belum pernah ada orang yang memberikanku bunga. Sehingga balik penasaran, ada perasaan senang dan terharu walau tak tahu siapa pengirimnya.

Sesaat kemudian ponselku bergetar lirih dan kubuka kotak pesan. Dari pengirim yang tak ada di memori ponselku, namun aku yakin itu nomor Erik. ”Aku mengirimkan bunga. Sudah sampai, kan?”

Aku tak segera membalas SMS itu. Ada ambigu di dadaku.

Erik memang orang yang kuharapkan mengisi hari-hariku. Tapi itu dulu.

Kini semuanya berubah. Dan dia baru kembali.

Duh, kenapa jadi begini?

Kalau kubalas, aku akan bermain-main pada lingkaran perasaan yang tak menentu, antara ingin dan tak ingin dan norma sosial antara boleh dan tidak boleh. Antara yang sewajarnya dan seharusnya.

Dan entah kenapa akhirnya aku ketik dan kirimkan pesan: ”Terima kasih.”

Dan SMS-SMS itu kembali mengalir.

”Aku terlambat bukan, Mei?”

”Tentu sj. Kmn kau slm ini???” tuntutku.

”Maaf Mei. Banyak hal trjdi. Aku nikah krn utang budi”

”Aku tdk brtanya,” tulisku, bersikap jual mahal. Tapi sebenarnya aku menangis.

Dulu, begitu tahu Erik telah menikah, akhirnya pada tahun yang sama aku juga memutuskan menerima cinta dan tanpa pikir panjang menikah dengan Andi, suamiku yang telah memberi satu anak.

”Aku pengecut ya Mei?”

Air mataku masih mengucur. Ingin aku menulis: ”Pengecut & pecundang” Namun tak kulakukan.

”Skli lgi mhn maafkn aku, Mei”

”Tak ada yg perlu dimaafkan.”

”Tapi aku hrs minta maaf, aku tdk tng kalo blm kaumaafkan”

”Just forget it.”

”You’re unforgettable. And I’m unforgiven.”

“Mei?”

“I’m not going anywhere”

“Ada yg hrs kktakan”

“Just do it.”

“Istriku wafat 1 th lalu.”

Aku tersentak untuk kali kedua sepagi ini.

“Innalillahi wainna ilaihi raajiun. Aku ikut berduka”

“Mksih Mei. Karenanya aku brn menghub kamu”

”Tp untuk apa?”

”Untuk mengucap maaf dan mengtkn aku msh mnympan cinta yg sama. Tinggalkan Andi, menikah dgnku, Mei”

Aku terdiam. Tak berani menulis lagi.

Kenapa kau harus datang kembali, Erik? Kenapa kau datang setelah semua ini?

Mungkin akan lebih baik kalau kau tak pernah muncul lagi, jerit hatiku.

Dan semalaman aku menangis.

***
Aku berpikir, merenung, sebelum akhirnya menulis SMS yang panjang untuk Erik.

“Erik, aku sdh memaafkanmu. Aku jg msh mnympan cinta yg sama. Tp saat ini aku terikat pada pernikahan. Andi org yg baik. Tdk ada alsn mnnggalkn dia. Slmt tinggal, Erik. Mulai saat ini jgn menghub aku.”

Hatiku masih terasa perih ketika terasa getaran ponsel yang menandakan pesanku telah terkirim. [Tamat]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA