KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 29 April 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (37-40)

Usai menyerahkan foto redakturnya, Baskara langsung pulang ke rumah agar segera bertemu Zaliany dan mendapat kabar serta cerita tentang Lili. Betapa gembiranya dia, ketika di rumah ada Zaliany dan Awan.

Seperti dirinya dan Lili, hubungan asmara Zaliany dan Awan juga makin intensif. Sudah tak mengherankan jika malam begini Awan di rumahnya, ngapel. Tanpa sempat lepas sepatu atau ganti baju, dia langsung mendatangi adik dan pacarnya itu.

“Eh, bagaimana tadi jadi ke rumah Lili?” kata Baskara.

“Jadi. Dia sudah sehat, cuma tampak sedih. Dia kirim salam kepada Mas Bas,” Zaliany kali ini tak mau selengekan, karena tahu suasana hati kakaknya sedang gundah gulana.

“Oh, jadi sudah bisa kuliah lagi?” “Sudah, Senin nanti juga sudah masuk. Malah, kalau bisa Minggu besok dia akan ke sini.”

Baskara tampak bahagia. Seolah, sudah banyak rancangan di kepalanya untuk menyambut kehadiran Lili besok. “Eh, Awan apa kabar?” Baskara mencoba menepis kegundahannya. “Baik, Bang. Abang baik juga, kan?”

“Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak. Ha…ha…ha… Eh, kapan kalian bergerak. Di Solo, Jogjakarta, Bandung dan kota lainnya para mahasiswa sudah makin aktif berdemo menuntut perubahan. Bahkan tuntutan agar Soeharto turun makin kencang. Mosok mahasiswa Jakarta nggak gerak-gerak.”

“Tidak Bang. Kita juga sedang intensif melakukan demo. Tapi selama ini penjagaan terlalu ketat. Pernah kami hanya bisa berdemo di dalam kampus. Ketika mau keluar, sudah diblokade aparat keamanan.” “Startnya jangan dari kampus.”

“Iya, tapi mengumpulkan massa yang banyak paling efektif dari kampus. Banyak strategi yang kita siapkan. Saat ini kami terus merancang-rancang aksi, sekaligus menjalin hubungan dengan mahasiswa lain. Pada saatnya nanti, mahasiswa Jakarta akan turun juga dengan sengatan yang kita harapkan lebih tajam.”

“Baguslah, aku dukung.”

“Minggu besok teman-teman mahasiswa juga mau rapat. Maka Lili memaksakan diri datang. Dia tak mau ketinggalan sedetik pun. Selain itu, tentu mau ketemu Mas Bas juga he…he…he…” timpal Zaliany.

“Sip! Eh, kamu juga mau dapat tamu juga lho. Lukito besok mau ke sini he… he… he…” Baskara mulai menggoda.

“Bodoh amat!” Zaliany tampak langsung cemberut, sambil melirik Awan. Tapi sebelum membalas, kakaknya sudah keburu pamitan kepada Awan dan masuk. ***

Mobil Toyota Starlet masuk ke halaman rumah Baskara. Zaliany langsung keluar menyambutnya, karena tahu yang ada di dalam adalah Lili. Mereka langsung berpelukan dan cium pipi kanan-kiri. Zaliany baru menggandeng Lili masuk ke rumahnya, ada mobil lain yang ikut masuk. Wajah Zaliany tampak mulai bingung, karena tahu itu adalah Lukito.

Zaliany memang tak membencinya, tapi kini terasa terganggu karena tahu Lukito tertarik kepadanya. Sedangkan dia sudah semakin intensif berpacaran dengan Awan.

“Eh, Bang Lukito. Mas Bas ada, tuh,” sapa Zaliany mencoba ramah. Bagaimanapun Zaliany tak bisa berlaku buruk kepadanya. Lukito termasuk orang baik dan sopan. Bahkan orangtuanya memperlakukannya seperti anak sendiri. Pernah Zaliany nyaris tertaklukkan sampai berpikir untuk membalas cinta Lukito, tapi segera diurungkannya setelah semakin mengenal Awan.

“Oh, ya ini Lili, temanku,” Zaliany mengenalkan. Ini pertemuan pertama Lukito dengan kekasih Baskara.

“Saya Lukito, teman Baskara. Betapa beruntungya Baskara punya kekasih seperti kamu,” puji Lukito. Lili pun tersipu dan menyalaminya seperlunya. “Abangmu masih tidur?” tanya Lukito. “Sepertinya tadi sudah bangun, tapi masih mengurung di kamar.”

Tanpa dipanggil, Baskara tiba-tiba muncul. Dia langsung menyambut Lili lebih dulu, seolah tak memperhatikan Zaliany dan Lukito. Dia langsung menggandeng Lili dan mengajak duduk di teras. Sementara Lukito dan Zaliany tahu diri. Setelah basa-basi sedikit, mereka langsung masuk ke ruang tamu. Lukito memang sudah biasa di rumah Baskara. Zaliany pun terpaksa menemaninya.

Oh, Zaliany. Kenapa kamu mencintai orang lain, batin Lukito yang tak jemu memandangi kecantikan Zaliany. Dia bertekad akan lebih sering main ke rumah Baskara, agar lebih dekat dengan Zaliany. Sehingga, gadis yang dia cintai tak lepas ke tangan orang lain. Cuma, Lukito termasuk orang yang sabar dan tahu menghormati orang lain. Dia hanya akan bersikap menunggu dan menunggu, siapa tahu takdir akan berkata lain. Toh, dia juga menganggap keluarga Baskara seperti keluarganya sendiri.

Mas Lukito, kamu memang orang yang baik dan punya pribadi menarik. Tapi aku sudah mencintai seseorang. Tolong, hormati hubungan kami, batin Zaliany seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Lukito.

Di teras, suasana tampak haru. Kerinduan seperti tertumpah. Meski tak bertemu seminggu, rasanya sudah bertahun-tahun. Lili menangis di pelukan Baskara. Dia tumpahkan segala keresahan, kesedihan, dan cerita yang membuatnya terpukul. Baskara pun tak sungkan lagi mempererat pelukannya kepada Lili. Sesekali dia mencium keningnya.

“Lili, aku bisa merasakan kesedihanmu. Aku juga merasa terpukul. Apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi juga. Sekarang tinggal bagaimana memikirkan apa yang musti dilakukan ke depan,”  kata Baskara sambil mengusap rambut Lili.

“Lili tidak mau kehilangan Mas Bas. Apa pun yang terjadi.” “Tidak, tidak akan terjadi, Lili. Kita akan tetap bersama, sampai ajal menjemput kita,” Baskara mengusap air mata Lili. Keduanya merasa lebih tenang.

“Persoalannya, sekarang Papah dan Mamah makin protektif dan mulai banyak tanya dan nasihat ketika Lili tadi mau keluar rumah. Apalagi hari Minggu begini, mereka penuh kecurigaan. Tapi Lili beralasan mau mengerjakan tugas kuliah di rumah Zaliany. Mereka tidak tahu kalau Zaliany adik Mas Bas. Ketika ke rumah kemarin, Zaliany juga pintar mengarang cerita kepada Papah dan Mamah Lili. Bahkan mereka sampai tertawa. Kata Zaliany, aku pimpinan studi klub di kampus. Kegiatan belajar akan berhenti tanpa diriku. Maka, dia juga minta izin agar aku bisa ke rumah Zaliany pagi ini. Ada-ada saja, Zaliany,” jelas Lili yang langsung tersenyum geli.

“Dia memang jago membuat cerita,” balas Baskara. “Bagaimana sikap kita selanjutnya, Mas Bas?” “Sebenarnya, aku ingin bertemu keluargamu. Tapi aku pikir terlalu cepat dan akan membuat persoalan semakin meruncing.” “Benar, untuk saat ini sebaiknya Mas Bas tidak ke rumah Lili dulu. Yang penting bagaimana kita sering bertemu.” “Setuju. Tapi, cepat atau lambat kita harus menghadapinya.”

“Lili berharap Papah dan Mamah akan luluh, sehingga tak perlu terjadi perselisihan. Tapi jika terpaksa, percayalah aku akan mempertahankan cinta ini,” Lili kembali menitikkan air mata.

“Oh, Lili. Jika kamu punya tekad sebesar itu, aku pun juga demikian. Tapi aku juga berharap tak perlu ada perselisihan. Maka, sebaiknya kita sabar sambil membangun pengertian. Terutama kepada orangtuamu. Jangan terlalu sering melawan. Beri pengertian pelan-pelan.” “Sepertinya susah. Prinsip Papah sangat kuat,” “Sekeras apa pun, pasti bisa juga. Aku harap kamu juga bisa bersikap lembut kepada mereka, sehingga tak muncul konflik-konflik baru.” “Akan kucoba.”

Tiba-tiba Zaliany keluar. Lukito tampak mengikuti dari belakang. “Maaf, hampir pukul 10.00. Kita musti berkumpul ke markas. Teman-teman pasti menunggu,” jelas Zaliany. “Oh, iya. Kita musti buru-buru. Nanti kalau selesai Lili ke sini lagi,” kata Lili. “Oke, hati-hati!” pesan Baskara. “Rancang aksi yang jitu dan lebih berani, ya,” Lukito menambahi. “Eh, pada mau ke mana?” tiba-tiba Bu Sungkono menyapa. “Oh, maaf Bu. Kita buru-buru ada kegiatan di kampus. Nanti juga ke sini lagi,” kata Lili.

Setelah berpamitan, Lili dan Zaliany pun segera masuk mobil dan meluncur ke tempat kos Ginting, markas para aktivis mahasiswa. Bagi mereka, ini memang masa-masa sibuk. Para aktivis terus menganalisis keadaan nasional, berdiskusi, dan merancang aksi. Beberapa kali mereka memang sudah berdemonstrasi, tapi masih sebatas di dalam kampus. Pengawalan di Jakarta tampak ketat dan mereka selalu diblokir setiap mau keluar dari kampus. Tapi mereka yakin, keadaan sudah semakin genting. Rekan-rekan mereka di kota lain malah sudah intensif melakukan demonstrasi menuntut perubahan. Aksi makin meluas. Tak hanya di kota Jawa, tapi sudah merambat ke pulau-pulau lain.

Lili dan Zaliany pun jadi lebih sibuk dalam aktivitasnya sebagai demonstran, daripada sebagai mahasiswa. Mereka tak pernah absen berdiskusi di kost Ginting. Bahkan kampanye penyadaran terhadap mahasiswa mulai dilancarkan. Mereka yakin akan segera datang momen untuk melancarkan aksi besar-besaran demi menuntut reformasi, karena keadaan sudah semakin tak jelas. Maka, massa yang besar juga sangat diperlukan. Apalagi memang sudah menjadi kewajiban mahasiswa sebagai salah satu agen perubahan, untuk aktif memikirkan keadaan negeri dan mendesakkan perbaikan.

Hubungan asmara Zaliany dan Awan pun jadi semakin mesra. Bahkan, mereka kini dipanggil Ayah dan Bunda oleh rekan-rekannya, karena saking mesranya. Seperti sepasang suami-istri, meski paling ekstrem hanya berciuman. Apalagi Awan tokoh dan pentolan aktivis mahasiswa. Sementara Zaliany juga punya potensi ketokohan, bahkan terkadang terkesan sebagai wakil Awan. ***

Beda dengan kisah Awan dan Zaliany, hubungan Lili dan Baskara makin mendapat cobaan. Rupanya orangtua Lili semakin takut anaknya akan terlalu jauh larut dalam percintaan dengan Baskara. Maka mereka merasa harus cepat-cepat bertindak. Sebuah rekayasa dijalankan agar hubungan mereka terputus. Mereka sadar, melakukan pelarangan-pelarangan keras kepada Lili justru akan membuat keadaan jadi runyam. Apalagi Lili mudah sakit jika terpukul. Mereka tak ingin gadis kesayangannya kolaps seperti saat masih bayi. Maka, strategi baru diterapkan. Mereka meminta Beng San lebih sering ke rumah menemui Lili, terutama hari Minggu. Harapannya, witing tresno jalaran soko kulino (cinta akan datang karena telah terbiasa bertemu).

Lili semakin resah. Dia sudah bisa membaca apa yang sedang direncanakan orangtuanya. Setiap kali Beng San datang, dia dipaksa ikut menemui juga. Kalau sudah begitu, orangtuanya akan membiarkan Lili berdua saja dengan Beng San. Bagi Lili, itu saat yang sangat menyesakkan.

Apalagi, hampir setiap Minggu Beng San datang. Ini jelas mengganggunya, karena di hari Minggu dia ingin hanya berduaan saja dengan Baskara. Di hari lain, mereka hanya bisa bertemu sebentar karena kesibukan masing-masing. Seperti Minggu ini, dia sebenarnya punya acara dengan Baskara. Tapi lagi-lagi harus membatalkannya, karena orangtuanya melarang. Dan, tak lama kemudian Beng San datang juga. Lili pun terjebak berduaan dengan orang yang kini makin dia benci. Setelah basa-basi seperti biasa, tiba-tiba Beng San mengajukan pertanyaan yang cukup mengusiknya.

“Mei Li, aku dengar kamu berpacaran dengan wartawan?” “Memang, Koh Beng San tahu dari mana?” “Dari Papah dan Mamahmu.” “Iya, tapi saya kira itu bukan urusan Koh Beng San.” “Memang bukan, tapi bolehkah aku cemburu?” “Haa? Apa urusannya Koh Beng cemburu? Memang  kami merugikan Koh Beng?” “Ehm, begini. Kita sudah cukup lama kenal. Kira-kira sebulan dan sejauh ini kita sering bertemu. Terus terang, aku tertarik kepadamu. Ini sudah aku ungkapkan kepada orangtuamu dan mereka setuju. Kalau boleh, berilah kesempatan kepadaku untuk mencintaimu.”

Lili terdiam. Hatinya teraduk-aduk. Rasa kebencian  dan keresahan menjadi satu. Ingin rasanya dia lari segera meninggalkan pemuda pebisnis yang lancang itu. Kenal baru sebulan, dekat juga tidak. Berani-beraninya dia langsung nembak. Tapi Lili tak bisa meninggalkannya, demi menjaga kesopanan dan nama orangtuanya.

“Kalau kamu diam, bolehkah aku terjemahkan kamu setuju?”

Lili tambah kaget. Ini orang tebal muka dan Ge-Er juga. Buru-buru dia melontarkan jawaban agar Beng San yang tak tahu diri itu tak tambah Ge-Er. “Oh, asal tahu saja Koh Beng. Saya sangat mencintai kekasih saya. Rasanya tak ada ruang lagi buat orang lain,” ujarnya ketus.

Beng San tampak terpukul, tapi dia mencoba menyembunyikan kekagetan dan kegeramannya. Orang seperti Beng San memang tak gampang menyerah atau malu hanya karena ditolak. Dia sudah berpengalaman menghadapi wanita.

Entah sudah berapa wanita yang pernah berhubungan dengannya. Selama ini, karena kekayaannya, dia merasa mudah menaklukkan hati wanita. Dia pun berharap Lili juga akan bisa ditaklukkan, semudah wanita yang pernah dia pacari, bahkan dia tiduri.

"Oke, aku menghormatinya. Tapi tolong, beri kesempatan. Boleh, dong. Toh, orangtuamu sudah setuju. Apa salahnya menuruti orangtua, lagi pula aku juga akan menyayangimu sepenuh hati. Aku tak akan memaksa, tapi tolong dipikirkan lagi.”

Lili sebenarnya ingin mendamprat kekurangajarannya. Tapi dia menahannya, takut konflik dengan orangtuanya semakin meruncing. Cuma, dia sudah tak tahan berduaan dengan Beng San yang di matanya jadi semakin terlihat sebagai lelaki tengik. Maka, dengan kesopanan yang dipaksakan, Lili mengatakan, “Terima kasih atas pengertian Koh Beng. Sekarang izinkan saya undur diri, karena ada acara dengan teman-teman kuliah.”

“Minggu begini ada acara?” “Iya dan itu sangat penting!” “Silakan, kalau begitu. Pembicaraan bisa dilanjutkan kapan-kapan. Aku tak akan segan-segan main ke sini.” “Silakan, rumah ini tidak pernah melarang siapa saja untuk main.”

Lili langsung undur diri. Papah dan mamah Lili yang sejak tadi menguping, langsung masuk ke ruang tamu, menemui Beng San.  Tak lama, papah Lili bangkit  dan minta pamit sambil mengatakan, “Tenang saja. Dia masih labil. Lama-lama juga luluh juga.”

Papah Lili menyusul putrinya yang masuk kamar. Lili tampak terpukul. Dia berebahan dan mengigit bantal, sambil membayangkan Baskara. Baru akan memencet ponsel untuk menelepon Baskara, papahnya masuk.

"Lili, kamu tidak sopan. Bukannya menemani tamu, malah tiduran.” “Saya sudah menemani seperlunya. Lagi pula dia kan tamu Papah.” “Dia tamumu juga.” "Saya tak pernah mengundangnya.”

Kemarahan mulai menyala di hati Thio Hok Kie. Dia tak menyangka putrinya makin keras kepala. Dia pun tak kuasa lagi menahan kemarahan itu.

"Mei Li, sebagai orangtua Papah dan Mamah tak pernah minta apa-apa. Sekarang, tolong penuhi satu permintaan kami. Satu saja.” “Kalau Mei Li bisa memenuhi, dengan senang hati akan saya penuhi sebagai bakti Mei Li.” “Oke. Lili, Beng San dan keluarganya punya pengaruh besar dalam dunia bisnis. Bahkan bisnis Papah juga banyak tergantung pada bisnis mereka. Beng San orang yang baik dan sudah sukses berbisnis. Dia juga mencintaimu. Aku kira itu baik. Papah akan setuju jika kamu mau dengannya. Maka, terimalah dia. Dia akan menjadi suami yang baik dan kamu akan hidup bahagia,” kata Thio Hok Kie mencoba lembut.

Tanpa terasa air mata Lili mengucur lagi. Di satu sisi dia tak ingin menyakiti orangtuanya. Tapi permintaan yang satu ini tak bisa dia penuhi.

“Papah, mohon maaf dengan sangat. Papah dan Mamah silakan meminta apa saja, tapi jangan meminta Mei Li mencintai Koh Beng. Saya tak akan bisa. Apalagi menikah dengannya, tak bisa!” tangis Lili makin menjadi-jadi. (okps) [Sebelumnya | Selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA