Setiap tiga menit, ada penggalah lain yang berpapasan berlawanan arah. Remon berseru menyapa mereka, mereka berteriak menjawab. Mereka adalah rekannya di sungai ini, masing-masing mengangkut ke hilir sebatang balok sonokeling hitam besar yang dibalak secara ilegal dari hutan hujan ke tempat penjualan kayu di kota Antalaha, Madagaskar timur laut. Di tempat itulah upah menunggu mereka. Begitu Remon menurunkan kami di tepi hutan, dia juga akan melakukan hal yang serupa.
Remon tidak menyukai pekerjaan tersebut. Cukong kayu yang mempekerjakannya - yang dia tidak ketahui namanya—memberitahu Remon bahwa dia harus mendayung sepanjang hari tanpa henti karena jagawana yang disuap hanya menyingkir selama jangka waktu tertentu, setelah itu harus disuap lagi. Namun, mengangkut pohon tebangan lebih baik daripada menebangnya, pekerjaan yang digeluti Remon sebelumnya. Dia berhenti menebang setelah menyimpulkan bahwa risikonya kini terlalu besar. Walaupun pembalakan liar sudah berlangsung bertahun-tahun, kecepatannya tiba-tiba meningkat: hutan tidak dijaga dan dipenuhi geng terorganisasi, deforestasi bebas yang dipicu oleh runtuhnya pemerintah Madagaskar pada bulan Maret 2009 serta oleh nafsu yang tak kunjung terpuaskan dari para pembeli kayu dari China yang mengimpor sonokeling senilai lebih dari 1,8 triliun rupiah dari hutan timur laut Madagaskar hanya dalam tempo beberapa bulan. Seorang pembalak sonokeling yang dikenal Remon dirampok kayunya oleh penyamun hutan yang berkata, "Kami 30 orang, kau sendirian." Dan dia baru saja mendengar bahwa ada dua orang yang dipancung dengan parang karena sengketa kayu beberapa hari lalu.
Sungai kembali tenang dan Remon menyulut rokok campuran tembakau dan mariyuana. Dia berbicara tentang fady, pantangan yang melindungi hutan tersebut selama berabad-abad. Selalu ada bisik-bisik cemas di antara para pencuri kayu setiap kali ada kepala pecah tertimpa pohon atau kaki patah di jeram sungai: kita membuat nenek moyang murka. Mereka menghukum kita. Para tetua telah menceramahi Remon tentang larangan menjarah hutan keramat.
"Baik," ujar Remon kepada mereka. "Suruh saja keluargamu makan kayu."
Dulu Remon mencari nafkah sebagai pekerja di kebun vanili di luar Antalaha, kota pesisir yang seperti pulau itu sendiri, kaya akan sumber daya, tetapi kurang dalam semua hal lain. Dua dasawarsa lalu presiden Madagaskar saat itu Didier Ratsiraka begitu bangga atas reputasi Antalaha sebagai pusat vanili dunia sehingga dia mengutus seorang pejabat untuk mengunjunginya. "Dikiranya kota kami penuh gedung besar dan jalan beraspal," kata seorang eksportir vanili kawakan Michel Lomone. "Presiden sangat kecewa saat menerima laporan penasihatnya."
Sejak saat itu, rentetan badai dan anjloknya harga bergabung melucuti mahkota dari kepala "si raja vanili". Kini Antalaha berdebu dan lengang. Meskipun jalan utamanya, Rue de Tananarive, akhirnya diaspal pada 2005 dengan dana dari Uni Eropa, lalu lintas jalan sebagian besar terdiri atas beberapa taksi mungil, sepeda berkarat, ayam, kambing, dan yang paling banyak, pejalan kaki yang hujan-hujanan berjalan tanpa alas kaki sambil menaungi kepala dengan daun pisang kipas yang juga dikenal sebagai palem rantau.
Kira-kira begitulah lalu lintas Antalaha sampai musim semi 2009. Selama musim itu, jalan-jalan Antalaha tiba-tiba dipenuhi raungan sepeda motor. Satu toko di Rue de Tananarive yang menjual kendaraan tersebut langsung kehabisan stok. Menanggapi kebutuhan, toko kedua buka di jalan yang sama dan dagangannya langsung laku keras. Pembeli sepeda motor adalah para pemuda kurus dan semua orang di Antalaha tahu dari mana asal uang cepat mereka. Bukan ladang vanili. Para pemuda itu terlihat memasuki kota di atas bak truk pikap, di atas tumpukan kayu yang ditebang secara ilegal. Kantong-kantong mereka terisi lewat tebangan selektif pohon sonokeling Madagaskar yang berharga dari hutan.
Madagaskar adalah sebuah pulau—keempat terbesar di dunia. Luasnya lebih dari 585.000 kilometer persegi, tetapi tetap saja sebuah pulau. Meskipun semua pulau diberkahi dengan biosfer uniknya sendiri, Madagaskar (yang terpecah dari Afrika sekitar 165 juta tahun lalu) adalah kekhususan: Sekitar 90 persen flora dan faunanya tak ditemukan di tempat lain di planet ini. Madagaskar memiliki pepohonan baobab berbentuk wortel yang bagaikan berada di luar angkasa, lemur cengkedi, dan "hutan" menara batu yang menjulang dapat membuat pengunjung yang paling sering berpetualang sekalipun takjub melihatnya.
Keindahannya yang langka dan tak terlupakan itu, bersama keputusasaan penduduknya, mewarnai kehidupan sehari-hari. Orang Malagasi, kelompok etnis utama pulau itu, mengemas fatalismenya dengan ungkapan anggun: "Aleo maty rahampitso toy izay maty androany," artinya "Lebih baik mati besok daripada sekarang." Kebanyakan orang Malagasi hidup dengan sekitar sepuluh ribu rupiah sehari.
Mengingat bahwa populasi Madagaskar yang lebih dari 20 juta jiwa itu tumbuh 3 persen per tahun—salah satu yang tercepat di Afrika—ketegangan antara tanah yang kaya dan penduduk yang miskin pada lanskap yang terbatas meningkat hari demi hari. Untuk alasan inilah, para ahli ekologi yang mengkhawatirkan hal itu menyebut Madagaskar sebagai titik api keanekaragaman hayati. Mereka terutama menyesalkan praktik ladang berpindah orang Malagasi yang membakar hutan dan mengubahnya menjadi huma. Sementara komunitas global pemerhati lingkungan bersukacita pada 2002 ketika Marc Ravalomanana menjadi presiden dengan janji menyelamatkan lingkungan, dukacita muncul pada musim semi 2009 saat Ravalomanana dikudeta dan menempatkan mantan penyiar radio yang belum cukup umur sebagai penggantinya. Mengutip kata-kata seorang pekerja bantuan kawakan yang bertugas di Madagaskar, "Saya merasa seakan pekerjaan 25 tahun ini hancur berantakan."
Pada September 2009, setelah beberapa bulan kayu ilegal ditebang setiap hari dengan nilai hingga sekitar empat miliar rupiah, pemerintah baru yang kekurangan uang mencabut larangan ekspor sonokeling untuk tahun berikutnya dan mengeluarkan keputusan yang mengesahkan penjualan kayu yang ditimbun. Karena tekanan masyarakat internasional yang khawatir, pemerintah kembali memberlakukan larangan itu pada April. Namun, penebangan terus berlanjut.
Dunia luar tidak berhak menceramahi, mengingat nafsu serakah mereka sendiri—kadang menguntungkan, kadang tidak—terhadap sumber daya Madagaskar yang menakjubkan. Penjarahan hutan menggambarkan betapa mudahnya keseimbangan yang rapuh antara kebutuhan manusia dan ekologi itu hilang. Pada kenyataannya, keseimbangan tersebut memang tak pernah mantap di Madagaskar. Berbagai kelompok konglomerasi milik asing memiliki sebagian besar hak eksplorasi dan tambang emas, nikel, kobalt, ilmenit, dan safir (yang pernah menyuplai sepertiga pasar dunia) negara itu. ExxonMobil memulai eksplorasi minyak lepas-pantai dalam di Madagaskar empat tahun lalu.
Beberapa pembuat gitar terbaik Amerika telah lama menggunakan kayu hitam Madagaskar yang langka untuk leher gitar mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah federal pulau itu berusaha menyewakan tanah suburnya ke Korea Selatan dan menjual airnya ke Arab Saudi. Dalam suasana pasar bebas ini, banyak yang terjual tapi hanya sedikit yang diperoleh oleh kebanyakan warga Malagasi. Maka, tak mengherankan jika para penambang lokal menjarah batu berharga di pedesaan untuk dijual di pasar Asia. Atau binatang seperti seseke—tokek ekor daun—dan kura-kura lanjam yang genting diselundupkan pedagang kecil dari pulau itu untuk para kolektor. Atau, pemuda kurus dari Antalaha memutuskan lebih baik mati besok sambil menerima uang hari ini dari pembeli kayu sonokeling asal China.
"Baik untuk perekonomian, buruk bagi ekologi," ujar seorang pelaku bisnis kayu gelap sambil tersenyum dan mengangkat bahu, seraya melompat ke sepeda motornya dan hengkang. Namun, berkibarnya perekonomian di Antalaha terbukti tak bertahan lama. Tanpa memperhitungkan konsekuensi kerusakan jangka panjang akibat penjarahan hutan pun—hilangnya hutan berharga seluas 10.110 hektare dari 4,5 juta hektare hutan lindung negara itu, kepunahan lemur dan spesies endemik lainnya, wabah erosi tanah yang mendangkalkan sungai dan menyapu lahan pertanian di dekatnya, hilangnya pendapatan pariwisata—dampak buruk perampokan sonokeling dirasakan lebih cepat. Penduduk Antalaha yang tiba-tiba harus menghindari sepeda motor yang lalu lalang juga mulai menghadapi naiknya harga ikan, beras, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Penyebabnya sederhana: lebih sedikit orang yang melaut atau bekerja di ladang.
"Mereka di hutan," kata Michel Lomone, seorang eksportir vanili. "Semua orang masuk ke hutan."
Untuk pergi dari Antalaha ke hutan—maksudnya Taman Nasional Masoala, terbesar di Madagaskar—kita harus menempuh perjalanan yang tak akan dilalui orang dengan sukarela. Dimulai dengan bermobil tiga jam dari Antalaha ke barat daya, menyusuri jalan tanah yang sangat hancur akibat berat truk kayu sehingga kendaraan sering terjebak lubang berlumpur dan harus mengerahkan penduduk setempat untuk membantu mendorong mobil hingga keluar. Kemudian, dibutuhkan empat jam bersampan menyusuri Sungai Onive, diikuti empat jam jalan kaki melalui sawah, dan dua jam lagi mengikuti jalan licin berlumpur naik turun bukit granit di tengah hutan perawan yang lebat—dalam curah hujan yang turun tak tentu. Demikianlah cara orang mencapai pinggir hutan Masoala. Namun, untuk menemukan sonokeling yang belum ditebang, kita harus masuk lebih jauh selama berjam-jam.
Di sebelah barat daya, taman tersebut berbatasan dengan Teluk Antongila, tempat paus bungkuk melahirkan dengan riuh antara Juli dan September. Di dalam kehijauan hutan hujan tropis liar seluas 235.000 hektare itu, kegigihan pengunjung mendapat imbalan penampilan sekilas flora fauna terkenal: anggrek, tumbuhan karnivora, elang-ular bido, bunglon Parson yang memukau, dan lemur kerah merah. Masoala menyediakan tumbuhan obat, buah liar, dan kayu bakar dalam jumlah tak terhingga bagi penduduk desa yang berjalan telanjang kaki masuk-keluar hutan setiap hari sambil bernyanyi dan mengobrol. Sebaliknya, para pemuda kota yang datang untuk mencari uang tampak tersasar di hutan yang lembap dan misterius tersebut.
Selama berminggu-minggu mereka berkemah dalam kelompok kecil di samping pepohonan yang mereka pilih untuk ditebang, hanya makan nasi dan minum kopi, sampai si bos tiba. Dia memeriksa pohon sonokeling itu, lalu menyuruh menebang. Ditebanglah pohon itu dengan kapak. Dalam beberapa jam, pohon yang mungkin mulai tumbuh 500 tahun lalu tersebut roboh. Pemotong membuang gubalnya yang putih hingga tersisa teras kayu ungu yang menjadi khas sonokeling. Kayu itu kemudian dipotong-potong dengan panjang sekitar dua meter. Tim lain yang terdiri atas dua orang mengikatkan tali ke tiap balok lalu menyeretnya keluar hutan ke tepi sungai, pekerjaan sukar yang memakan waktu dua hari dan dibayar 100-200 ribu rupiah per batang, tergantung jarak.
Saat terseok-seok berjalan menembus hutan, sesekali saya menyaksikan dua sosok yang dengan tabah menarik batang seberat 180 kilogram menaiki tebing terjal, menuruni air terjun, atau melintasi rawa yang seperti pasir apung—kerja keras seperti cerita dalam kitab suci, hanya saja orang-orang ini melakukannya demi uang. Demikian pula orang yang ditemui pasangan ini di sungai, menunggu mengikat balok itu ke radeau atau rakit buatan tangan agar mengapung saat menghiliri jeram (upahnya 250 ribu rupiah per balok). Demikian pula pengayuh sampan yang menunggu radeau di hilir jeram (120 ribu rupiah per balok). Demikian pula jagawana taman yang disuap para cukong kayu agar menjauh (2 juta rupiah untuk dua minggu). Demikian pula polisi di pos pemeriksaan di sepanjang jalan menuju Antalaha (200 ribu rupiah per petugas). Kerusakan hutan jauh lebih besar daripada sekadar hilangnya kayu keras yang berharga: bagi setiap batang sonokeling, ada empat atau lima pohon lebih ringan yang ditebang untuk membuat rakit pengangkut untuk menghiliri sungai.
Di satu kelokan sungai, sampan berhenti di tepian. Seorang pria berkumis berjongkok di tenda, sambil mengisap rokok lintingan. Namanya Dieudonne. Dia bekerja pada tengkulak, bos di lapangan, yang dipercayai para cukong kayu untuk memilih pohon yang akan ditebang dan mengawasi balok kayu dari tepi sungai ke truk pengangkut. Ada 18 truk pagi itu. Ada sekitar 30 balok kayu sonokeling tersebar di sekitar tenda Dieudonne. Bagian Dieudonne adalah 120 ribu rupiah per balok. Saya bertanya uangnya akan digunakan untuk apa. Dia merenung sejenak.
"Aku ingin membeli sepeda motor," jawabnya.
Marc Ravalomanana memukau Barat dengan janji mengantarkan era "Madagaskar alami" yang sadar lingkungan. Dia mantan penjual yoghurt yang naik menjadi wali kota Antananarivo, ibu kota negara itu, menggulingkan Presiden Ratsiraka yang sosialis dan membentuk partai politik Tiako I Madagasikara (Aku Cinta Madagaskar) pada 2002. Sang Presiden membangun jalan dan rumah sakit, membagikan seragam sekolah, dan secara simbolis memotong ikatan dari mantan penjajahnya Prancis dengan mengubah mata uang franc ke ariary Malagasi. Dia juga memperkuat larangan ladang berpindah (sayangnya tidak berpengaruh nyata), mengumumkan Program Kerja Madagaskar untuk mempromosikan keanekaragaman hayati negara itu, dan membuat komitmen untuk melipattigakan hutan lindung Madagaskar. Ucapan seperti "aset kita yang terpenting adalah lingkungan" terdengar indah bagi komunitas lingkungan dan, seperti kata salah seorang pencinta lingkungan, "Saya merasa kami diikutsertakan."
Sayang, "program kerja" yang berbeda terjadi di bawah meja presiden: dia diberitakan menyita sonokeling dari cukong kayu dan menjualnya untuk keuntungan pribadi. Dia menuntut, di hadapan wartawan, bagian 10 persen dari biaya eksplorasi sebuah perusahaan minyak. Sementara dompet presiden kian tebal, daya beli saudara sebangsanya menurun drastis. Ribuan pengunjuk rasa menyerbu istana presiden pada 7 Februari 2009 dan disambut tembakan yang menyebabkan setidaknya 30 demonstran tewas. Namun, sebulan kemudian militer berbalik menentang Ravalomanana yang melarikan diri ke Swaziland. Begitu diasingkan, dia divonis bersalah karena menyita tanah kota untuk bisnis keluarganya dan menggunakan uang negara untuk membeli pesawat senilai 542 miliar rupiah dari keponakan Walt Disney.
Setelah itu, masyarakat dunia tidak mau mengakui pemerintahan baru yang dipimpin mantan wali kota Antananarivo yang berusia 34 tahun Andry Rajoelina. Bank Dunia, PBB, USAID, dan donor lainnya menarik bantuan mereka. Dulu Madagaskar menjadi negara pertama yang menerima hibah Millennium Challenge Account AS senilai 994 miliar rupiah, tetapi empat tahun setelahnya dikeluarkan dari program itu. Negara-negara Barat mengeluarkan peringatan berkunjung (travel advisory) ke Madagaskar. Tangan hijau Ravalomanana telah disingkirkan. Namun, pemerintah baru tidak punya uang untuk menegakkan peraturan di taman nasional.
Satu kelompok jelas senang melihat peristiwa tersebut. Pada 17 Maret 2009, di hari Marc Ravalomanana menandatangani surat pengunduran dirinya, sebanyak 20.000 orang berjejalan di stadion sepak bola Antalaha. Dua belas ekor sapi zebu dipanggang, bir tersedia dalam jumlah melimpah, dan penduduk desa menari diiringi musik sepanjang malam. Biaya perhelatan ditanggung 13 cukong kayu di daerah itu. Hutan tak lagi terlindungi.
Jadi milik mereka.
Seorang cukong kayu duduk di atas kursi kayu cocobolo (Dalbergia retusa) tak berlengan di balik meja kayu hitam, dikelilingi dinding dan langit-langit serta lantai dari cocobolo. Meskipun orang tuanya datang dari China pada 1930-an dan menurut pengamatannya, "orang China tergila-gila pada sonokeling," ia sendiri lahir di dekat Antalaha dan lebih suka pada warna cokelat kemerahan cocobolo, spesies yang berhubungan erat dengan sonokeling yang berwarna lebih merah. Kantornya beraroma vanili yang berasal dari gudang di sebelah, berisi bundel-bundel vanili yang akan diekspor. Raungan gergaji kayu berasal dari panglongnya, tempat timbunan kayu sonokeling tersembunyi. Para pemuda ramping dan berotot duduk di bangku di luar pintu kantor yang menempelkan pengumuman, "Untuk mengambil gaji harus menunjukkan tanda pengenal."
Namanya Roger Thunam dan banyak yang menganggap dia salah satu pengusaha kayu terbesar di Madagaskar. Pria setengah baya bertubuh kecil dan berkacamata dengan fitur khas Asia itu tampak tenang dan percaya diri seperti orang yang memegang kekuasaan besar. Populasi emigran Tionghoa yang sedikit jumlahnya di negeri itu telah berasimilasi sepenuhnya dengan masyarakat lokal. Thunam adalah buktinya: dia berteman dengan semua pihak di Antalaha, mudah mengulurkan tangan apabila petani setempat perlu bantuan untuk membiayai pemakaman, belum lagi pekerjaan bergaji besar yang bisa diperoleh melaluinya. Namun, meskipun banyak biaya yang disetor dalam rantai produksi kayu—untuk penebang, penarik, pengayuh rakit, penggalah sampan, tengkulak, sopir truk, dan polisi sepanjang jalan raya menuju pelabuhan di Iharana dan Toamasina—bagian terbesar didapatkan orang seperti dia yang, seperti pengakuannya, "tidak ingat kapan saya terakhir ke hutan."
"Thunam bukan pengusaha—dia pedagang gelap," ujar seorang pejabat lokal. "Dia menebang pohon yang bukan miliknya. Dia mengambil dari taman rakyat. Dan sekarang orang lain menganggap bahwa boleh saja mengambil yang dilarang." Tidak mengherankan, Thunam membantahnya. Dia lahir dalam keluarga yang berbisnis vanili dan dia mengembangkan bisnisnya ke perkayuan 30 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ujarnya, pemerintah mengeluarkan berbagai izin baginya.
Memang, pemerintah mencabut larangan ekspor kayu pada saat badai memorak-porandakan hutan di sepanjang pantai timur Madagaskar, memperbolehkan pohon yang dirusak badai digergaji dan diperdagangkan. Kebijakan yang berganti-ganti ini memungkinkan cukong kayu menumpuk persediaan kayu ilegal saat larangan tersebut berlaku dan kemudian menjualnya sebagai kayu yang "diselamatkan" ketika larangan tersebut dicabut untuk sementara. Celah hukum hanya mendorong penebangan pohon secara ilegal di taman nasional—tempat sebagian besar sonokeling berada.
Thunam menegaskan bahwa dia hanya memotong kayu yang legal—meskipun memang, panglongnya saat ini dipenuhi balok sonokeling—dan dia punya penjelasan: "Anda tidak akan percaya betapa banyaknya orang menebang pohon. Merekalah yang melakukan tebang dan bakar di masa lalu. Mereka tidak mengenyam pendidikan. Mereka tidak peduli pada generasi berikutnya. Mereka perusak...Tapi kayu ini sudah dipotong. Jika tidak saya beli dari mereka, orang lain yang akan membelinya."
Dia mengakui bahwa orang China yang tergila-gila pada sonokeling merupakan "pembeli terpenting" (meja makan kayu sonokeling yang diproduksi di China dijual pada tingkat pengecer lebih dari 45 juta rupiah). Bahkan ketika pemerintah baru mengakhiri pencabutan larangan sementara pada musim panas 2009, orang China terus memesan sonokeling pada Thunam. Jika dia membiarkan pesaingnya menerima pesanan, mereknya akan turun, ujarnya. "Dalam enam bulan, pasar kami akan jadi sangat kecil."
Istri cukong kayu itu, seorang wanita paruh baya yang berbadan lebar, memasuki kantor dan mendengarkan percakapan kami. Ketika suaminya keluar, ia mengaku, "Saya tidak suka merusak hutan. Saya lebih suka menghentikan penebangan dan hanya mengekspor yang telah ditebang. Beberapa minggu lalu saya naik pesawat dan terbang rendah di atas hutan. Saya bisa melihat kehancuran yang terjadi. Saat itulah saya memutuskan hal ini harus dihentikan."
Hanya saja, bagaimana caranya? Belakangan saya bertanya kepada wali kota Antalaha Risy Aimé. "Menghentikannya mudah," jawabnya. "Tinggal tangkap 13 orang"—mengacu pada Roger Thunam dan cukong kayu yang lain.
Sesekali, pemerintah melakukan hal itu, mendakwa para cukong kayu yang dicurigai melakukan perdagangan ilegal. Akan tetapi, pedagang memiliki kekuasaan yang sangat besar dan mampu memanfaatkan kekacauan status hukum pembalakan. Menurut laporan Global Witness dan Environmental Investigation Agency, Thunam merupakan salah satu dari dua cukong (dari enam kasus yang diketahui) yang dinyatakan bersalah mengekspor sonokeling. Dia dibebaskan dari tahanan tahun 2008 setelah membayar penyelesaian di luar pengadilan. Thunam didakwa lagi tahun 2009, tetapi divonis tidak bersalah. Cukong kayu itu kembali bercokol di balik meja kayu hitamnya, menjalankan panglong yang sibuk.
Pemandu saya di Masoala, mantan karyawan taman nasional yang bernama Rabe, pernah masuk hutan tersebut lebih dari 100 kali dalam satu dasawarsa terakhir. Dia berjalan cepat tanpa alas kaki menembus hutan belantara yang lebat dan mencekam. Dia sangat mengenal tempat itu. Namun, dia terkejut melihat perubahan yang terjadi sejak kunjungan terakhirnya beberapa bulan sebelumnya.
"Tidak ada lemur," ucapnya. "Satwa itu menghilang."
Para pencuri sonokeling yang menjadi penyebabnya. Bosan hanya makan nasi saja, mereka mulai memasang perangkap. Kita menemukan satu tim yang menangkap 16 lemur dalam satu hari. Tidak semuanya dimakan di tempat. Di kota Sambava, tak jauh di utara Antalaha, tiga restoran menyajikan lemur dalam menu mereka, walau hal itu dilarang oleh hukum federal. Dengan cara seperti itu, hutan hujan di timur laut Madagaskar dengan cepat kehilangan lemur kerah merah, lemur garpu (Phaner furcifer), lemur kerdil besar (Cheirogaleus major), dan aye-aye. Lemur tidak ditemukan di negara lain di Bumi, selain Kepulauan Komoro yang tak jauh dari Madagaskar.
"Kami tidak ingin melestarikan hutan kosong yang isinya hanya pohon," kata ahli primatologi Jonah Ratsimbazafy dari Durrell Wildlife Conservation Trust. Walaupun ekologi Madagaskar sangat kaya, satwa maskot tersebut sangat penting bagi pariwisata yang bernilai miliaran rupiah, sebagaimana dibuktikan ribuan orang yang mengunjungi Suaka Khusus Analamazaotra. Primata yang bermata besar seperti serangga dan tinggal di pohon itu memikat bukan hanya karena hanya terdapat di Madagaskar, tetapi juga karena binatang tersebut sangat banyak jenisnya. Meskipun hampir semua dari 50 spesies lemur berpoligami, memiliki ekor indah, dan banyak yang mendengus mirip babi, ada juga lemur indri hitam-putih yang monogami, tidak berekor, dan raungannya terdengar bagai bunyi dedemit di hutan. Yang luar biasa, para ilmuwan terus menemukan spesies lemur baru di pulau itu. Namun, setiap spesies berjumlah sedikit dan saat ini, lima lemur termasuk dalam daftar 25 primata di dunia yang paling terancam punah.
Sejauh ini belum ada limpahan simpati dari masyarakat negara itu untuk masalah lemur. Orang Malagasi "harus bangga terhadap lemur karena hanya ada di Madagaskar," kata Ratsimbazafy. "Namun, sebagian orang di sini tidak tahu atau peduli. Orang Malagasi yang tidak tinggal di dekat daerah wisata menganggap bahwa lemur hanya untuk vazaha [kulit putih] —mereka tidak melihat manfaatnya." Bahkan, meskipun beberapa suku mengeramatkan spesies lemur tertentu, aye-aye yang bentuknya agak menakutkan dengan mata dan telinga yang sangat besar, suku-suku di utara yakin binatang itu adalah pertanda buruk dan karena itu langsung dibunuh.
Pantangan itu menjadi pegangan orang Malagasi selama berabad-abad. Pantangan merupakan peringatan dari arwah nenek moyang yang diyakini berada di bumi sebagai perantara bagi alam baka dan karenanya harus diperhatikan dan ditenangkan—kadang, pernah saya saksikan, melalui famadihana, upacara penggalian tulang nenek moyang. Tulang itu kemudian dibungkus kain kafan yang baru dan dibawa menari mengelilingi makam sebelum dikubur kembali. Di beberapa suku, ada pantangan menyentuh bunglon atau berbicara tentang buaya atau makan daging babi atau bekerja pada hari Kamis. Ada pantangan melanggar gunung, batu besar, pohon, atau bahkan seluruh hutan—semuanya bukti hubungan baik dan mendalam, walaupun rumit, antara tanah dan dunia spiritual. Meski demikian, pantangan yang paling dituruti adalah yang tidak bertentangan dengan keyakinan Malagasi bahwa lebih baik mati besok.
"Anda melihat bagian gundul itu?" ujar Olivier Behra, sambil menunjuk petak gundul yang mencolok di tengah hutan yang luas. "Ada orang yang menebang di situ. Aku berusaha menghentikannya."
"Bagaimana caranya?" saya bertanya.
Sambil tersenyum, Behra berkata, "Mempekerjakannya."
Upaya Behra merupakan solusi cerdas, walaupun bersifat lokal, bagi dilema sumber daya Madagaskar: menginformasikan manfaat langsung dari hutan yang sehat kepada penduduk desa. Pria Prancis ini pertama kali datang ke Madagaskar pada tahun 1987 dalam proyek PBB untuk menyelamatkan populasi buaya yang tak dicintai tetapi hampir habis. Menyadari bahwa "jika kita menyematkan harga pada buaya, orang akan tertarik," dia mulai membayar penduduk setempat untuk mengumpulkan telur buaya. Sejak 2000 Behra menggunakan rumus yang sama bagi hutan Madagaskar yang terancam melalui LSM-nya, Man and the Environment. Dalam hutan Vohimana 160 kilometer di timur ibu kota, Behra menemukan hutan yang tinggal setengahnya karena pembalakan selama empat dasawarsa sebelumnya. Dengan menggunakan keahlian penduduk setempat, ia mencatat 90 tumbuhan obat, kemudian membuat rencana untuk memasarkannya ke luar negeri. Perusahaan parfum Prancis Chanel tertarik pada ekstrak dedaunan Madagaskar seperti marungi. Pada 2007, penggundulan hutan di Vohimana berhenti. Ratusan penduduk desa yang biasanya menebang dan membakar kini mengumpulkan dan menjual daun yang dulu tidak dianggap memiliki nilai ekonomi.
"Saya membangun rumah di sini," kata Behra. "Orang dapat melihat bahwa saya tidak akan pergi besok, jadi mereka dapat memercayai saya." Dia panjang akal tapi tidak mendominasi. Menyadari bahwa "kita tidak bisa mengubah penebang kayu seumur hidup dengan melatihnya bertani begitu saja," Behra membujuk pemerintah Madagaskar agar mengizinkan penduduk setempat untuk terus menebang kayu di sebagian hutan guna dijadikan arang untuk keperluan rumah tangga. Setelah mengetahui bahwa ada pemburu lemur di desa itu, Behra mempekerjakan orang itu sebagai pemandu bagi wisatawan yang terobsesi dengan lemur. Seorang pria lain yang mencari nafkah dengan mengumpulkan anggrek langka di hutan sekarang menjadi kepala konservatori anggrek Behra. Saat Behra mempertimbangkan proyek peternakan babi liar hutan itu, yang merusak perkebunan ubi kayu yang dibuatnya, suku Betsimisaraka memberitahunya bahwa babi itu pantangan, dan "kita harus menghormati hal itu." Dia berhasil membujuk Chanel untuk menyumbangkan uang kepada staf medis dan makan siang sekolah di Vohimana.
"Bekerja dalam skala kecil seperti yang dilakukan Behra mungkin lebih efektif daripada mimpi menyelamatkan seluruh hutan," kata Jean-Aimé Rakotoarisoa, direktur Museum Seni dan Arkeologi di Université d'Antananarivo selama 30 tahun. "Kebanyakan program lingkungan mengatakan, jangan membakar hutan karena itu masa depan Anda. Tapi, orang-orang ini tidak dapat menunggu masa depan. Mereka sekarang lapar. Anda harus menunjukkan manfaat langsung kepada masyarakat."
Pesan itu diterima beberapa gelintir pengeksploitasi sumber daya berskala besar. Rakotoarisoa sekarang menjadi konsultan proyek Ambatovy, operasi pertambangan nikel dan kobalt senilai 40 triliun rupiah yang dipimpin konsorsium asing dan berlokasi di dekat hutan Olivier Behra. Proyek ini, meskipun kontroversial karena belum memenuhi semua janjinya, berhati-hati dan menghindari tempat keramat, mengompensasi (dan, jika perlu, merelokasi) penduduk desa yang terkena dampak, dan berhubungan secara terus-menerus dengan masyarakat. Upaya ini tidak altruistis, Rakotoarisoa mengakui dengan segera. "Demi citra perusahaan, mereka harus menangani masalah lingkungan dan sosial. Mereka tidak bisa berbisnis di sini kalau ada protes sosial."
Di dekat Tôlanaro di ujung tenggara pulau itu , perusahaan tambang Inggris-Australia Rio Tinto mencoba kebijakan bertetangga baik yang ambisius untuk mengompensasi proyeknya yang senilai 8,4 triliun di sepanjang pantai Samudra Hindia. Perusahaan itu menambang ilmenit—kaya titanium—yang biasa digunakan untuk cat, kertas, dan plastik. Kegiatan tersebut termasuk membabat hutan pesisir unik yang berisi 19 spesies endemik di samping tumbuhan obat dan gelagah yang menjadi bahan anyaman. Namun, berbeda dengan cukong kayu beberapa ratus kilometer dari pantai itu, Rio Tinto mencoba melestarikan semua spesies itu. Perusahaan tersebut menyisihkan lahan hutan untuk pelestarian, meluncurkan program pelatihan pertanian, membangun pelabuhan umum, dan berencana mulai merehabilitasi lahan itu tahun depan.
"Kami memiliki standar tinggi dan kami ingin memengaruhi perusahaan pertambangan lain agar mengikuti cara yang sama," ujar Manon Vincelette, insinyur perhutanan yang dipekerjakan sejak 1996 untuk memimpin program keanekaragaman hayati Rio Tinto. Meskipun penduduk Tôlanaro memiliki jalan baru, sekolah baru dan direnovasi, dan, dalam beberapa kasus, pekerjaan baru di pertambangan, warga setempat tetap skeptis terhadap ketulusan perusahaan asing tersebut. "Rio Tinto melakukan hal-hal yang baik," ujar etnolog Jean-Aimé Rakotoarisoa. "Tapi saya mendengar desas-desus dalam masyarakat—dan dari sudut pandang sosial, rumor lebih penting daripada fakta. Kita tidak bisa hanya berurusan dengan insinyur dan pakar. Tidak ada cara lain, kita harus tahu persis apa yang dipikirkan masyarakat."
Bandara Antalaha kecil dan sama sekali tak berhias. Anjing dan ayam berkeliaran mencari sisa makanan. Beberapa puluh orang menunggu kedatangan pesawat dari Antananarivo. Di pintu masuk tampak Roger Thunam yang didampingi asistennya. Cukong kayu itu berjalan dari ujung bangunan ke ujung yang lain, menjabat tangan semua orang, memeluk wanita, bertukar sapa.
Lalu dia berjalan-jalan di luar dan, sampai kedatangan pesawat, bersandar dengan puas di kedai buah sambil minum air kelapa bersama penduduk desa yang lain—tidak berbeda dengan yang lain, orang yang merakyat, orang yang tahu pikiran mereka...dan orang yang memberi jalan penghidupan, setidaknya untuk hari ini. ***
Disalin oleh: Tiffanny Lim, London