"Ibumu tak sadar lagi dipancing?" tanya istriku.
"Ibu tak pernah tahu rahasia siasat papa."
"Lantas ibumu menerimanya?"
"Mungkin. Karena biasanya ibu diam saja. Lalu setelah sadar, tertawa terbahak-bahak," jawabku.
"Bahagia sekali mereka."
"Papa yang mampu membangun suasana," ujarku.
Dulu rumah kami termasuk yang terbesar di kampung. Empat kamar tidur, empat kamar mandi, satu dapur, satu ruang tamu, satu ruang baca dan satu gudang. Halaman depan ditanami dengan pohon rambutan dan kelapa gading. Di pagar disusun beberapa pot bunga. Di pintu pagar, dibangun papa sebuah gapura model Jepang, dicat merah. Di halaman belakang, ada sebuah kolam ikan, beberapa kawat jemuran dan beberapa pohon pepaya. Di antara rumah-rumah tetangga di kampung, hanya rumah kami yang berdinding tembok, lantai keramik dan genteng bagus.
Memang waktu itu listrik belum masuk. Tapi papa yang lama tinggal di kota, tak mau rumahnya gelap gulita. Itu yang mendorong papa membeli mesin disel untuk menghidupkan listrik di rumah. Dan beberapa tetangga memanfaatkan pula aliran listrik itu secara gratis. Menurut gunjingan orang orang di kampung, kekayaan yang diperoleh papa berasal dari hasil menyelundupkan senjata dari Singapura, waktu revolusi mengganyang penjajahan dulu. Entahlah. Aku tak tahu itu.
Yang paling aku ketahui dari seluruh kehidupan papa, adalah betapa percayanya ia pada ramalan bintang. Hampir tiap akhir pekan papa membolak-balik koran atau majalah yang memuat ramalan bintang. Dengan tertegun-tegun papa membenamkan dirinya ke setiap baris ramalan tersebut. Lalu setiap ramalan yang bagus isinya, digunting dan ditempelkannya di dinding kamar kerjanya. Sedangkan ramalan yang jelek, dibakar, abunya dikerumus sampai lumat, setelah itu dibuang ke lubang wese.
Pernah suatu kali aku iseng. Sebuah koran lama yang memuat ramalan bintang aku gunting persis pada zodiac papa. Kebetulan isinya buruk. Diam-diam, guntingan itu aku jajarkan disamping ramalan-ramalan lainnya.
"Perhatikan tamu-tamu yang berkunjung ke ruah anda dalam minggu ini. Mereka tidak membawa berkah. Bekas pacar akan berkunjung dengan pengharapan. Rezeki seret. Hati-hati dengan jempol kaki anda, sewaktu-waktu bisa bernanah. Berita buruk datang dari utara, bersiap-siaplah. Ingat, orang yang anda kasihi akan khianat."
Begitulah. Sore itu ketika pulang dari kota, papa segera masuk kamarnya. Seperti biasa, ia akan membaca ramalan bintangnya. Aku perhatikan tingkahnya diam-diam. Agak lama papa di kamar. Ketika muncul di ambang pintu, kulihat wajahnya lesu. Matanya redup, giginya gemeratuk, tangannya seperti meremas-remas sesuatu. Sekali-sekali kelihatan badannya bergetar.
Sampai malam, ketika kami makan bersama, papa lebih banyak diam dan murung. Ibu tak mau mengusik. Sedangkan aku, terus saja memperhatikan kelakuan papa. Dalam hati, aku menyesal dan sekaligus berdoa, mudah-mudahan ayah kapok. Ternyata tidak. Aku dipanggilnya ke kamar. Aku lemes, rahasiaku terbongkar. Pasti papa akan menamparku, begitu pikirku.
"Kali ini papa meleset," katanya. "Ramalan bintang papa minggu ini jelek. Harusnya itu tidak papa tempel di sana," katanya sambil menunjuk dinding.
"Isinya apa pap?"
"Bacalah sendiri," suruhnya.
Aku pura pura tak tahu dan membaca isi ramalan itu pelan-pelan. Kemudian aku manggut-manggut, mafhum.
"Tadi pagi ada yang datang?" tanya papa.
Aku menggeleng.
"Kalau ada yang datang, bilang tak ada," pesannya.
"Siapa saja?"
"Siapa saja!"
"Ibu tadi ke mana saja?" tanya papa lagi.
"Ke pasar. Ke warung Baba Ong," jawabku.
"Awasi ibumu. Jangan sampai ia kepincut Baba itu."
"Tidak mungkin," bantahku.
"Hampir tiap hari ibumu ke sana?"
"Lha, ibu cuma belanja di sana," jawabku.
"Pokoknya awasi. Kau mata-mata papa kali ini."
Lalu papa keluar. Ia juga menasehati ibu, agar jangan terlalu sering berbelanja ke warung Baba Ong. Ibu mulanya mau protes, tapi sadar dengan sityuasi papa, ibu diam saja. Aku main mata dengan ibu.
* * *
Begitu takutnya papa, sampai-sampai ia tak mau menerima tamu minggu itu. Dan ia tak pula keluar rumah selama itu. Ia berkurung dalam kamar. Tapi bila ibu hendak ke luar, selalu ditanyanya tujuan ibu. Selalu diingatkannya, agar ibu jangan ke warung Baba Ong.
Agak memusingkan juga sikap papa dalam seminggu itu. Aku menyesal telah mengusik ketenangannya papa. Tapi aku ingin tahu, sampai sejauh mana perhatian papa pada isi ramalan itu. Ternyata, seperti yang anda ketahui, papa sangat takut dan merasa was-was.
Papaku memang selamanya begitu. Diam saja kalau merasa dirinya terpojok. Padahal selama seminggu, ramalan itu tak pernah terbukti kebenarannya. Segala strategi perang yang dipelajarinya semasa aktif jadi tentara, tak pernah muncul lagi di saat itu. Hanya membungkus kedua jempol kaki saja yang dilakukan ayah, agar terlindungi dari apa-apa yang bisa melukakan.
Minggu depannya, papa sibuk lagi menyusuri ramalan-ramalan baru. Yang baik-baik saja tentunya. Tapi sesuatu hal telah terjadi, di luar dugaanku. Jempol kaki papa betul-betul bernanah kedua-duanya, ketika perban dibuka. Papa tentu saja kaget setengah mati. Ibu yang menasihati papa agar tak percaya pada ramalan bintang, ikut-ikutan kaget. Papa disuruh berobat ke dokter. Apa jawab papa? Nanah itu merupakan kutukan Tuhan yang sudah diramalkan. Walau dibawa ke dokter, tetap saja tak akan sembuh. Jadi ditunggu saja sampai Tuhan berkenan menyembuhkannya.
Lalu kejadian selanjutnya, ini di luar dugaanku. Seorang wanita separuh baya bertamu ke rumah. Begitu pintu kubuka, ia menanyakan apakah papa ada di rumah.
Aku buru-buru menemu ibu, mengatakan ada tamu wanita mencari papa. Ibu tidak kenal siapa wanita itu. Setelah dipersilakan masuk - aku ikut-ikutan menyilakan duduk - ibu ke dalam, ke kamar kerja papa. Begitu diberitahu ada wanita yang mencarinya, wajah papa kontan pucat pasi. Ibu heran. Papa terduduk lemas di kursi. Dipandanginya ibu seperti memohon belas kasihan.
"Tanyakan siapa namanya?" pesan papa menunduk.
"Dia tak mau," jawab ibu.
"Seperti apa wajahnya?"
"Agak putih, keriting, pendek, bangir hidungnya."
"Ya Allah!" ujar papa lemah.
"Kenapa?"
"Ramalan itu. Ramalan itu, setan!" gerutu papa.
"Siapa dia?"
"Mati aku!" desah papa.
Aku yang berada di luar, begitu lama menunggu papa datang, langsung masuk ke kamar papa. Kulihat papa ngosngosan. Ibu bingung.
"Ramalan itu terbukti," desis papa.
"Wanita itu?" tanyaku pelan.
"Ya."
"Pacar papa?" tanyaku ingin tahu.
* * *
Ibu, tak pernah tahu masa silam papa dan selama ini menganggap papa suami setia, langsung meradang. Papa dimaki; tidak setia, pembohong, penipu, tukang main jablai, playboy, bandot tua, dan beragam sebutan jelek lainnya. Aku sendiri heran. Padahal ramalan bintang yang kutempelkan secara diam-diam itu berasal dari koran enam tahun lalu. Kok bisa tepat hasilnya?
Papa didorong ibu ke luar kamar, menemui tamu tadi. Aku pun dibentak ibu karena bersikap membela papa. Dalam hati aku ingin mengatakan pada ibu, bahwa ini semua gara-gara aku. Tapi sudah terlambat, perang sudah pecah. Peluru peluru sudah ditembakkan. Tinggal menunggu siapa saja yang akan gugur sebagai pahlawan.
Karena papa tak mau keluar, aku yang menemui tamu tadi. Dengan hati-hati kutanyakan keperluannya menemui papa. Tidak menduga apa telah terjadi di belakang, wanita ini mengatakan bahwa ia cuma ingin memulangkan dompet papa yang tertinggal di tokonya minggu lalu, ketika papa berkunjung ke kota. Itu pun dititipkan oleh suaminya yang memiliki toko itu, karena ia kebetulan ada urusan di kampungku. Setelah itu dia pergi. Tapi ibu tak percaya itu. Papa didampratnya, dituduhnya selingkuh di kota.
"Papa lupa dompet?
Keenakan pacaran," kata ibu.
"Tapi itu titipan suaminya, kok bu," belaku.
"Tidak bisa!" bentak ibu.
"Ya, sudah."
"Kau mau bela papa, ya?" hardik ibu.
Aku diam saja. Perang terus berlanjut. Tapi papa sudah mulai tenang. Wajahnya sudah mulai berdarah lagi. Dan papa memang selamanya begitu. Diam saja kalau dipojokkan oleh gerutuan ibu.
Sampai pagi besok, hubungan papa dan ibu seperti orang bisu. Papa main mata padaku. Artinya, siasat papa akan dipergunakan untuk menaklukkan hati ibu. Aku tidak tahu dari sudut mana papa akan menyerang ibu.
Sehabis santap malam, ibu duduk sendiri di ruang tamu, sambil menonton televisi. Papa duduk dengan santai di kursi makan. Ketika bangkit, buru-buru kuhabiskan makananku, lalu membuntuti papa ke ruang tamu.
"Masih marah,bu?" tanya papa kalem. Ibu melengos.
"Ramalan itu jahat ya, bu?" tanya papa lagi. Ibu memalingkan wajahnya.
"Ternyata terbukti juga," desis papa.
"Dasar bandot!" bentak ibu tiba-tiba.
"Jempol kakiku bernanah, tepat seperti yang diramalkan. Bekas pacar akan berkunjung, juga benar. Dari utara lagi. Wah tepat sekali, bu," kata papa datar.
"Mau cari gara-gara lagi, ya?" ibu sambil melotot.
"Percaya ramalan, nggak?" tanya papa memanasi.
"Emangnya saya siapa..." bantah ibu.
"Tapi di situ ditulis, orang yang anda kasihi akan berkhianat," kata papa.
Aku rasa, jebakan papa mau masuk. Strategi yang dipola papa, mulai berjalan. Ibu mulai dijerat.
Tahu apa yang terjadi? Ibu terpana begitu ditusuk oleh pertanyaan papa yang terakhir. Tak menduga sama sekali papa akan membalikkan pertanyaan ibu menjadi jebakan maut. Begitu papa menanyakan hubungan ibu dengan Baba Ong, ibu terkesima seperti tak percaya papa akan menuduh seperti itu. Waktu itulah papa menghambur dan mengucup kening ibu. Di balik tirai aku cuma mendengar suara tawa mereka.
Sekarang yang jadi masalah, kenapa kedua jempol kaki papa bernanah. Apa hubungannya antara ramalan enam tahun lalu dengan keadaan sekarang?
"Tidak," kata dokter kepadaku. Pagi pagi aku mengajak papa ke Puskesmas buat mengobati kedua jempol kakinya yang bernanah.
"Lantas kenapa?" tanyaku. Papa sih, diam-diam saja. Sebab pikirannya sudah disetel pada kalimat-kalimat dalam ramalan.
"Kedua jempol itu tidak bisa bernanah walau berhari-hari dibungkus. Waktu mandi, kebasahan dan ketika kering dibiarkan jadi bau," ujar Pak dokter.
"Jadi bukan kutukan Tuhan?" tanya papa.
Pak dokter tertawa terkekeh-kekeh. Aku heran, kenapa papa jadi selugu itu. Kok bekas tentara infantri, bertulang dagu kukuh bersorot mata tajam kupanggil sebagai papa, betul-betul seperti orang kampung yang tak pernah tinggal di kota, tak pernah bertualang di Singapura, tak pernah berjuang di medan perang, dan seperti tak pernah berurusan dengan kesehatan.
"Papa masih percaya pada ramalan," kata papa sesampai di rumah.
"Ibumu tak berhasil mengubah kebiasaan papa itu?" tanya istriku suatu hari.
"Tidak. Malahan ibu mulai ikut percaya," jawabku. "Kamu sendiri?" tanya istriku. Aku diam saja.
Sejak peristiwa dulu itu, aku mencoba belajar ilmu meramal pada seorang sinshe di kota. Hebatnya, sampai sekarang istriku tak pernah tahu. Ia cuma tahu, aku bekerja di sebuah koran, bukan sebagai wartawan, tapi sebagai tenaga administrasi. Istriku tak tahu, kalau ramalan bintang yang dimuat setiap minggu dalam koranku itu, adalah hasil karyaku sendiri. Dan istriku dengan setia menyimak isinya setiap minggu. (*v*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email Upload by: Chen Mei Ing