"Bekerja itu yang ikhlas, Dido," kata Ibu sambil terus mengawasiku merapikan segerobak pasir yang berserakan di samping rumah. "Keikhlasan membuat hati dan dadamu lapang. Tanpa sekat. Kamu tak perlu bekerja dan menyelesaikan tugasmu kalau kamu memang tak mau. Ibumu masih sehat. Masih bisa mengerjakannya sendiri."
Buru-buru aku menyelesaikan tugasku. Sejengkel apapun aku takkan mungkin membiarkan tangan ibu yang makin lemah itu menggenggam sekop dan kemudian merapikan pasir-pasir yang berserakan di samping rumah kami seperti yang pernah dilakukannya bulan lalu ketika aku tidak buru-buru memenuhi panggilannya dan memenuhi permintaannya.
Merapikan pasir memang menjadi tugasku karena akulah satu-satunya anak laki-laki yang tersisa di rumah. Soma kakakku sudah menikah dan tinggal di Surabaya bersama istrinya. Ririn, kakak perempuanku, menetap di Bogor bersama suaminya. Adikku, Sindu, kuliah di Bandung. Ayahku? Ah, tak perlu kusebut-sebut lagi karena itu cuma akan menumbuhkan benih kepedihan di dadaku. Dua tahun lalu ayah wafat karena serangan jantung. Lagi pula, ketika masih ada ayah, Ibuku belum memiliki hobi barunya: memelihara kucing.
Saat ini, sembilan ekor kucing jadi penghuni rumah kami. Tugas kami setiap sore adalah memasukkan kucing-kucing itu ke dalam rumah dan tak boleh ada satu pun yang berkeliaran di luar rumah.
Atas perintah ibu, kami membuatkan sebuah kandang di kamar belakang rumah untuk kucing-kucing itu berkumpul. Di kandang itu pula kami menyiapkan tiga buah wadah berpasir tempat kucing-kucing membuang kotorannya. Menjadi tugas ibu membuang kotoran-kotoran itu di pagi hari. Entah mengapa, untuk tugas yang satu ini, ibu tak pernah mengizinkan aku melakukannya. "Biar ibu saja. Sekalian buat ibu berolahraga," kata ibu.
Setiap hari ibu menyiapkan kantong plastik. Kotoran kucing yang sudah bercampur pasir itu dimasukkan ibu ke dalam kantong plastik dan kemudian membuangnya di kotak sampah di pinggir jalan di depan rumah. Pak Markum, tukang sampah yang setiap hari mengumpulkan sampah bersama sampah-sampah lainnya di lingkungan kami, sudah sangat hafal dengan kebiasaan kami. "Eek kucing lagi!" sesekali dia berteriak sambil mengangkat kantong plastik di kotak sampah itu.
Tugasku yang utama adalah setiap sebulan sekali menelepon toko penjual barang bangunan dan memesan segerobak pasir. Pak Dirman yang selalu membawakan pasir ke rumah kami, meletakkannya begitu saja di samping rumah, lalu akulah yang akan merapikannya. Seperti juga hari ini.
Tugas lain yang selalu dilakukan ibuku dan dia tak pernah mengizinkan aku melakukannya adalah membeli ceker ayam untuk makanan kucing-kucing itu pada tukang sayur keliling langganan kami, mencucinya bersih, lalu menggodoknya dan setelah dingin memasukkannya ke dalam kulkas. Setiap hari ibu tak pernah lupa melakukan tugasnya. Mbok Yem, tukang sayur langganan kami, juga tak pernah lupa membawakan ceker ayam pesanan ibu.
Awalnya aku keberatan ibu memelihara kucing-kucing itu. Jangankan sembilan ekor, satu ekor pun tidak. Apalagi kucing-kucing yang dipelihara ibu bukanlah jenis-jenis kucing ras seperti rumpy, anggora, atau persia. Kucing-kucing peliharaan ibu adalah kucing-kucing kampung yang biasa berkeliaran di mana-mana.
Tapi, ibu punya alasan yang mau tak mau membuatku harus rela berbagi tempat di rumah dengan kucing-kucing itu.
* * *
Awalnya suatu pagi ketika aku tengah memanasi sepeda motor sebelum berangkat ke kantor. Ibu melihat seekor kucing melintas di depan rumah kami. Ibuku buru-buru menyambar kucing itu dan membawanya pulang. "Awas, jangan lewat di depan rumah orang itu," katanya sambil mencangking kucing betina berbulu cokelat itu.
"Ibu omong apa?" aku bertanya karena suaranya tak begitu jelas beradu dengan suara motor. Tanpa menjawab, Ibu membawa masuk kucing itu. Aku sedikit mendongak memandang rumah yang ditunjuk ibu.
Setiap hari ibuku merawat kucing itu penuh kasih sayang. Memberinya makanan. Pada malam hari, ibu juga membawa kucing itu masuk ke dalam rumah. Tanpa kandang. Sambil menonton tv, ibu pun memangku kucing itu seperti seorang nenek memangku cucunya. Di minggu kedua, ibu memberinya nama. Kunis, si kucing manis. Aku meringis mendengar nama itu. Andaikan tahu namanya dipakai untuk nama seekor kucing, aktris cantik Milena Markovna Kunis kelahiran Kiev itu pasti marah.
Di minggu ketiga, Kunis mendapat kawan baru. Seekor kucing betina lagi. Bulunya kombinasi kuning dan putih. Tubuhnya lebih kecil dari Kunis. Tapi, sama seperti Kunis, ibu juga mendapatkannya ketika dia melihat kucing itu melintas di depan rumah kami. Buru-buru ibu menangkapnya dan membawanya pulang.
"Kunis!" ibu berteriak memanggil Kunis. Kucing itu mendekat. "Lihat, kau mendapatkan kawan baru. Siapa namanya? Kau mau aku memberinya nama apa? Dahlia? O, jangan. Itu seperti nama manusia. Namanya Dahli saja ya. Dahli artinya indah sekali. Kau setuju?" Kunis menggosok-gosokkan bulu dan ekornya di tangan ibu yang sudah duduk berselonjor sambil memangku kucing baru itu. "Ya, namanya Dahli," kata ibu pula seraya menyambar Kunis dan membawanya pula ke pangkuannya.
Di tangan ibuku, kucing itu jadi dekat satu sama lain. Tak pernah berkelahi seperti yang aku khawatirkan. Dalam dua pekan berikutnya, setiap kali ibu menunaikan sembahyang, kucing-kucing itu berada di dekat ibu. Setiap kali ibu duduk tahyatul akhir, Kunis dan Dahli berada di pangkuan ibu. Sesekali Dahli seperti mencoba naik sambil berpegangan pada mukena ibu.
Kucing-kucing ibu bertambah menjadi empat ekor ketika suatu malam ibu terbangun mendengar rengekan anak kucing. Ibu membangunkan aku dan meminta aku mengantarkannya mencari anak kucing yang mengeong-ngeong itu. Meski dengan mata terkantuk-kantuk, aku terpaksa menuruti keinginannya. Soalnya, jika aku menolak pun ibu akan melakukannya sendirian. Dan aku tidak ingin sesuatu terjadi pada ibu, orang tuaku tinggal satu-satunya setelah kepergian ayah. Kak Soma dan Kak Ririn pasti akan marah besar jika aku tak bisa menjaga ibu. Juga adikku Sindu takkan berhenti menyalahiku seperti pernah terjadi ketika ibu terjatuh di kamar mandi dan kaki kirinya terkilir.
Malam itu kami memang menemukan dua ekor anak kucing di pinggir jalan. Seseorang pasti telah membuangnya begitu saja. Ibu dengan kasih sayangnya meraup kedua anak kucing itu dan membawanya pulang. Tiba di rumah, buru-buru aku mengambil kandang kelinci terbuat dari kawat dan ibu memasukkannya ke sana setelah memberinya kain pelapis agar kucing itu tak kedinginan. Tak lupa ibu memberinya makanan, ceker ayam yang selalu tersedia di dalam kulkas. Aku melihat kepuasan terpancar dari wajah ibu ketika dia menyuruhku kembali tidur.
Ibu merawat kedua anak kucing itu seperti layaknya merawat dua bayi kembar. Diberinya makanan terbaik khusus untuk anak kucing. Diberinya pula susu. Dan dengan cepat kedua ekor kucing berbeda jenis kelamin itu tumbuh besar dan sehat. Ibu memberinya nama Manja untuk si jantan berbulu serba hitam. "Manja itu artinya manis tapi jantan," kata ibu tanpa ditanya. Untuk si betina berbulu kuning dan hitam, ibuku memberinya nama Yibli. "Yi itu untuk Yellow, bli itu untuk black," kata ibu. Aku cuma tersenyum tanpa protes meski aku merasa aneh juga bagaimana mungkin ibu bisa sesembarangan itu. Kenapa harus Yibli? Kenapa bukan Yebla?
Dengan empat ekor kucing, rumah kami tentu saja jadi makin ramai. Sejak itu pula ibu meminta aku menyiapkan kamar di belakang yang tak terpakai untuk kucing-kucing itu tinggal. Awalnya kucing-kucing itu membuang kotorannya sembarangan sampai kemudian ibu memintaku meletakkan pasir dalam sebuah wadah untuk tempat kucing-kucing itu membuang hajat. Untungnya bagiku, untuk tugas membuang kotoran kucing-kucing itu, ibu melakukannya sendiri dan melarang aku membantunya.
Manja dan Yibli terus tumbuh dengan sehat. Bulu-bulu Manja yang serba hitam tampak berkilau dalam perawatan ibu. Bulu-bulu Yibli, perpaduan antara kuning dan hitam, menjadi sangat indah berkat ketelatenan ibu merawatnya.
Setelah itu, dengan cepat kucing-kucing di rumah kami bertambah hingga akhirnya berjumlah sembilan ekor dan ibuku tak pernah kelihatan kewalahan untuk merawat semuanya. Lama kelamaan, aku pun jadi ikut menikmati keberadaan kucing-kucing itu meskipun semuanya kucing-kucing kampung. Setiap kali pulang kerja, lelahku terasa sirna begitu Kunis melompat ke atas sadel sepeda motor dan seperti meminta aku membawanya masuk ke dalam rumah. Terasa sangat membahagiakan ketika aku melihat ibu duduk di atas karpet sambil menonton tv ditemani kesembilan ekor kucing-kucingnya sambil sesekali satu sama lain bergulat seperti tengah berkelahi. Juga sangat menakjubkan melihat kucing-kucing itu menemani ibu setiap kali ibu sembahyang.
Memang bukan berarti tak pernah ada masalah seperti ketika suatu kali Dahli tampak sakit. Atau ketika Kobi, kucing berwarna cokelat kehitaman, tak ditemukan saat matahari mulai terbenam. Meski baru pulang kerja, aku terpaksa ikut pontang-panting membantu ibu mencarinya ke sana ke mari.
Kobi adalah kucing yang juga sangat disayangi ibu. Meskipun cuma seekor kucing kampung seperti yang lain, tubuh Kobi paling besar di antara sembilan kucing peliharaan ibu. Aku melihat wajah ibu begitu khawatir ketika dia membawa aku ke rumah tetangga kami, seseorang yang biasa kami panggil Pak Januso.
"Januso!" teriak ibu dari balik pagar. Aku masih menerka-nerka apa yang akan dilakukan ibu. Aku juga masih tak mengerti mengapa ibu harus mendatangi rumah Pak Januso, tetangga kami yang tak pernah bergaul dengan orang-orang di sekitarnya.
Orang yang dipanggil ibu keluar.
"Mana kucingku?" ibu langsung menyergap. Baru kali ini aku melihat wajah ibu diliputi amarah. Ombak yang tenang itu ternyata bisa juga memperlihatkan suara deburnya.
Pak Januso masuk kembali ke dalam rumahnya. Sesaat kemudian dia kembali dengan Kobi dalam gendongannya. Seperti orang kesetanan, ibu menerobos masuk dan dengan cepat merebut Kobi.
"Awas kalau kau ganggu kucing-kucingku lagi!" serapah ibu ketika dia meninggalkan Pak Januso yang memandangi punggungnya dengan senyuman tipis di bibirnya. Aku mengekor dari belakang ibu yang terus menciumi Kobi seperti seorang nenek yang baru bertemu cucunya setelah lama berpisah.
* * *
Ini cerita ibuku kemudian. Pada suatu hari, dua hari setelah kepergian aku ke Bali untuk tugas jurnalistik selama dua pekan. Ketika ibu tengah pulang belanja sayuran, dia melewati rumah Pak Januso. Dari balik pagar besi setinggi pinggang, ibu melihat seekor kucing melintas. Badannya gemuk. Bulunya bagus. Pak Januso memanggil kucing itu. Kucing itu pun mendekat. Dia memberikan makanan kepada kucing itu. Lalu mengelus kepalanya dengan lembut ketika kucing itu menyantap makanan pemberian si tetangga. Kucing itu tampak tenang. Pak Januso kemudian mengikat kedua kaki depan kucing itu. Kucing itu masih terdiam. Pak Januso lalu mengikat kedua kaki belakang kucing itu. Kucing itu tetap terdiam. Tiba-tiba, si tetangga itu membunuh kucing itu. Kucing itu sempat melengking. Meronta-ronta. Tapi, dengan keempat kaki terikat, kucing itu tak bisa berbuat apapun. Setelah beberapa saat meregang nyawa, kucing itu pun mati.
Ibu tercekat melihat kejadian itu. Berdiri terpaku. Memandang tak percaya. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya Pak Januso akan melakukan perbuatan sesadis itu. Belum pernah pula ibu menyaksikan peristiwa seperti itu.
Sesaat kemudian ibu berteriak. Marah.
"Kenapa kau bunuh kucing itu? Apa salah kucing itu?" "Ini kucing ibu?" Pak Januso balik bertanya.
"Bukan. Tapi, kenapa dia kau bunuh?"
"Ini kucing ibu atau bukan?"
"Bukan."
"Ya sudah. Kucing ini mau saya makan."
Dengan lutut gemetar ibuku pulang. Sambil mengomel panjang pendek. Terus terbayang dalam benaknya bagaimana Pak Januso dengan tangkas memenggal kepala kucing tak berdosa itu.
"Sejak itu," kata ibu sebelum menutup ceritanya. "Ibu takkan pernah membiarkan kucing-kucing berkeliaran di sekitar kita. Ibu takkan membiarkan Januso membunuh kucing-kucing itu untuk memakannya."
"Meskipun nanti rumah kita akan penuh dengan kucing-kucing?" aku penasaran.
"Ya iyalah," ibuku tersenyum. Berdiam sesaat, ibu lalu melanjutkan. "Oya, kalau kau kawin nanti, kau harus kawin dengan wanita yang suka kucing. Sebab dia harus tinggal bersama kita di sini. Bersama kucing-kucing ibu." (*v*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Disalin oleh: Chen Mei Ing - Jakarta