KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 09 Mei 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (45-46)

Ibu Sungkono yang dari tadi diam, kini tak tahan diam saja, "Setahu saya Lili sangat mencintai Baskara. Bahkan dia pernah mengatakan kepada saya siap menikah dengan Baskara. Jadi, Anda jangan terus-terusan menyalahkan anak kami. Kalau sampai mereka pergi, pasti ada penyebabnya. Nah, penyebabnya itu yang kami tidak tahu. Saya kira Anda bisa menjelaskannya."

"Maaf, itu urusan kami. Kami tak ingin anak saya menikah dengan Baskara. Titik! Tolong, Bapak dan Ibu bisa menasihati Baskara agar tak mengganggu anak kami lagi," balas Thio Hok Kie. "Siapa yang mengganggu? Baskara tidak pernah memaksa Lili untuk mencintainya. Saya tahu persis. Tanya saja Zaliany! Anda pikir kami merestui jika mereka lari? Tidak, kami juga punya sopan-santun. Sepertinya Anda terlalu keras dan melakukan pemaksaan hingga Lili sampai berani tidak pulang," Bu Sungkono mulai emosi. "Itu urusan kami!" "Kalau begitu, Anda tidak usah mengurus anak saya. Urus saja Lili. Biar Baskara menjadi urusan kami. Kepergian mereka bukan kehendak Baskara sendiri, tapi juga Lili," kata Bu Sungkono makin emosi. "Sudah. Tak ada gunanya terus berdebat. Sebaiknya memikirkan bagaimana menemukan mereka. Mudah-mudahan nanti pagi atau siang mereka sudah pulang tanpa kurang suatu apa pun. Kita sekarang tak tahu ke mana harus mencari mereka. Sekarang Anda pulang saja, besok kita sama-sama mencari. Setelah mereka kembali, kita bicarakan lagi masalah ini. Tinggalkan nomor telepon Anda. Kalau mereka ke sini, saya akan segera kabari," potong Pak Sungkono yang mulai tak tahan meladeni tamunya.

Papah Lili dan Beng San kehabisan kata, merasa diusir dengan halus. Mereka pun meninggalkan kartu nama, kemudian dengan kaku berpamitan, sambil tetap membawa kekhawatiran, kemarahan, dan kebencian. ***

Baskara dan Lili ternyata pergi ke Puncak. Mereka menyewa sebuah losmen untuk menumpahkan segala perasaan, sekaligus merencanakan apa yang harus dilakukan.

Percintaan mereka bisa dikatakan baru seumur jagung. Bersemi di bulan Januari 1998, kini di akhir April sudah tumbuh begitu besarnya. Waktu sesingkat itu sudah harus mengalami cobaan begitu beratnya.

Keputusan mereka untuk tidak pulang malam ini, ternyata tak diikuti rencana yang matang selain karena emosi. Baskara dan Lili belum juga menemukan pemecahannya. Di satu sisi, mereka tak tega meninggalkan keluarga yang dicintai dan menyakiti mereka. Di  sisi lain, mereka juga tak ingin cinta mereka hancur berantakan. "Aku tak menyangka akan jadi seperti ini," kata Lili. "Kamu menyesal?" "Oh, tidak sama sekali. Tapi jelas, ini sangat berat." "Haruskah kita kawin lari seperti banyak kisah cinta yang tak direstui?" "Entahlah, pokoknya Lili tak ingin menikah dengan siapa pun juga selain Mas Bas." "Tapi kita musti segera punya rencana ke depan," Baskara tampak berpikir keras. "Sudah kepalang tanggung, bawa Lili pergi ke mana Mas Bas suka. Biar kita hidup berdua, tanpa gangguan siapa pun juga. Lili sudah tak peduli lagi, daripada harus menikah dengan orang yang Lili benci. Terserah mau dibilang kawin lari atau apa, aku tak peduli," kata Lili.

Mereka pun segera berpelukan. Segala perasaan cinta, kegalauan, juga ketakutan saling kehilangan, mereka tumpahkan dalam percumbuan. Sampai-sampai mereka tak sadar bertindak semakin jauh dan jauh, bahkan bersiap melakukan hubungan layaknya suami-istri. "Lili, bolehkah?" Baskara meminta izin.

Dengan napas tersengal dan kepasrahan yang bulat, plus rasa cinta yang besar, Lili menganggukkan kepala. Dia ikhlas siap menyerahkan keperawanannya kepada Baskara sebagai persembahan cinta. Daripada sesuatu yang sangat berharga itu kelak menjadi milik orang, apalagi si Beng San.

"Lili ikhlas…"

Keduanya tegang, seperti akan memasuki dunia baru yang diliputi rasa penasaran. Tapi tiba-tiba Baskara menahan diri. Kemudian melepaskan pelukannya kepada Lili.

"Tidak! Kita tak boleh melakukannya. Selain larangan agama, ini justru akan melukai cinta kita. Kita tak boleh menyerah dan kalah begitu cepat," kata Baskara.

Lili pun terkesiap. Bukan karena menyesali batalnya persembahan cinta, tapi terharu oleh sikap Baskara yang tak sekadar mengikuti hawa nafsu dan emosi.

"Kita harus memperjuangkan sampai benar-benar berhak melakukan hal ini. Itu esensinya. Aku termasuk orang yang menganggap hubungan badaniah adalah sesuatu yang sakral. Kita harus memperjuangkan cinta sampai benar-benar terikat dalam tali perkawinan. Perjuangan cinta tak hanya melulu menyatukan dua insan, tapi juga mampu membangun mahligai cinta yang punya dasar hukum dan norma. Di situlah kelebihan kita sebagai orang timur, sebagai orang yang bermoral. Saya kira, di situ pula letak kehormatan cinta. Apa artinya kita bisa melakukan hal itu berjuta kali, tapi hubungan kita tak mendapat pengakuan. Biarlah perjakaku aku persembahkan di saat yang tepat. Kita belum memperjuangkan pengakuan itu, apa salahnya kalau dicoba dulu. Mari kita perjuangkan dulu dan kita tunggu sampai saat itu tiba, sebagai proklamasi kemenangan cinta kita," jelas Baskara.

Lili makin terharu. Dia justru merasa dihormati, karena kesuciannya dijaga orang yang dia cintai. "Benar Mas Bas. Biarlah kesucian kita tertumpah di dalam kesucian pula. Bukan dalam emosi dan kegalauan seperti ini. Apa artinya malam pertama kelak jika tanpa persembahan suci. Betapa cengengnya kita ini," Lili memeluk Baskara. Kini justru segalanya terasa lega. Cakrawala mulai sedikit terbuka.

"Lalu, selanjutnya apa yang musti kita lakukan?" tanya Lili. "Aku kira kita hadapi bersama saja. Kalau tidak keberatan, pagi ini kita pulang. Aku antar kamu ke orangtuamu dan kita akan bicara. Biar aku lamar sekalian, tak peduli apa reaksi mereka. Asalkan kita tetap menjaga komitmen untuk terus bersatu. Itu yang penting. Setelah itu kita memperjuangkannya dengan cara sebaik-baiknya, lebih bijak dan arif. Kita bisa mengulur waktu perkawinan yang dipaksakan itu. Saya kira cinta punya jalannya sendiri. Jalan itu yang akan kita cari dan lewati, meski berliku dan penuh duri. Percayalah, pasti ada muara cinta. Hanya kita belum menemukan jalan menuju ke sana."

"Baiklah kalau begitu. Lili sudah siap. Sekarang Lili jadi merasa lebih baik, tenang dan percaya diri." *** Pagi belum terlalu sempurna, ketika Baskara dan Lili check-out dari losmen itu. Mereka segera menuruni jalanan di daerah Puncak yang berkelok-kelok. Sekitar pukul 10.00, akhirnya sampai juga dan mobil Baskara sudah terparkir di depan rumah Lili. Mbok Minah yang sedang merawat tanaman di halaman, langsung membuka pintu pagar dan menyambut mereka.

"Waduh, Non Mei Li bikin semua orang kebingungan. Ayo cepat masuk. Tuan dan Nyonya menunggu di kamar. Semalaman belum tidur," ujar Mbok Minah. "Tenang Mbok, Lili baik-baik saja."

Baskara dan Lili baru duduk di ruang tamu, papah dan mamah Lili langsung keluar dari kamar karena mendengar suara anaknya. Dengan lega, mamah Lili langsung memeluk putrinya. Sementara papah Lili kalap dan langsung melayangkan pukulan ke wajah Baskara. Lili teriak, tapi Baskara diam saja meski darah keluar dari hidungnya. [Sebelumnya | Selanjutnya]
--
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email Upload by: Chen Mei Ing - Jakarta

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA