Kata-kata itu membuat Lili mulai bersemangat lagi. Dia tak kuasa menahan tangis yang makin menjadi-jadi. Diraihnya tangan Baskara, lalu diciumnya. Baskara pun langsung mendekapnya. Ibu Baskara yang sejak tadi ingin menyapa Lili, membatalkan diri dan masuk ke ruangan lain agar dua kekasih itu memiliki privasi. Zaliany yang akan menyuguhkan minuman juga menangguhkan diri.
"Jadi, mereka sudah melamarmu?" "Iya, seperti telepon singkatku semalam. Semalam Beng San dan keluarganya datang. Entah kenapa, Lili hanya diam saja tak bisa mengeluarkan kata-kata. Lili tak bisa melawan di acara menyebalkan itu, seolah seluruh kekuatan sudah hilang. Apalagi, aku tak ingin mempermalukan orangtua. Mereka pun beranggapan aku setuju, bahkan hari perkawinan sudah ditentukan atas desakan Beng San dan papahku. Tanggal 1 Juni, tepatnya. Oh, Mas Bas, Lili bingung sekali. Sekarang kita harus bagaimana?" "Kamu masih mencintaiku?" "Kenapa Mas Bas masih meragukannya? Dengan segenap jiwa dan raga, aku tetap mencintai Mas Bas. Biar ajal menjemputku saja, daripada harus kawin dengannya!" "Oke, kalau begitu aku tak akan membiarkanmu menjadi milik si brengsek Beng itu. Tapi bagaimana, aku juga belum menemukan solusinya."
Keduanya terdiam, berpikir keras. Tiba-tiba Lili mengeluarkan kata-kata tegas dengan resonansi yang menggetarkan. Seolah ada kekuatan gaib menyertai kata-katanya.
"Bawalah aku pergi! Lili sudah siap. Biar menjadi dahan rontok seperti istilah papahku, aku tak peduli. Sebab yang penting aku punya cinta yang akan menjadi akar yang kuat dan tumbuh menjadi pohon yang indah dan perkasa. Tak ada pohon yang paling indah selain ditaburi cinta dan berbuah cinta pula."
Baskara mempererat dekapannya. Dia makin terharu oleh besarnya cinta Lili. Dia pun tak bisa membayangkan jika harus pisah dari Lili. Dia mencoba berpikir keras untuk mencari solusi, tapi tak juga ketemu. Hatinya juga semakin sesak.
"Oke, kalau begitu! Hari ini kita akan pergi kalau memang menjadi jalan yang terbaik. Aku sudah tak peduli apa pun yang akan terjadi. Biar cinta yang membuktikan kemenangan itu. Di tangan kita, atau kita akan binasa karenanya."
Baskara pun segera masuk kamar mengambil tas, berbekal sedikit pakaian. Tak lupa dia bawa juga tas kamera. Tanpa pamit, segera dia raih tangan Lili menuju garasi. Tapi sebelum keluar, ibu dan ayahnya menegur. Sementara Zaliany hanya bisa menatap sambil meneteskan air mata, ikut berduka atas nasib kakak dan sahabatnya. Dia sudah tahu apa yang terjadi pada kakak dan sahabatnya.
"Kalian mau ke mana, kok buru-buru?" "Bapak, Ibu, kami mau pergi sebentar. Mohon pamit dan doa restu," jawab Baskara. "Lho, kok tumben pakai minta doa-restu segala, memang kalian mau ngapain?" timpal Pak Sungkono yang tampak necis siap mengajar mahasiswanya. "Kami belum bisa menceritakan. Yakinlah, kami akan baik-baik saja," Baskara langsung menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Untung Lili kali ini tak membawa mobil, sehingga tak perlu repot mengurusnya. Sebelum masuk mobil, Lili memeluk Zaliany erat-erat. Kedua sahabat ini pun menangis sesenggukan. Sementara orangtua Baskara makin bingung oleh adegan itu, tapi tak bisa melarang. Pak Sungkono sempat mau mencegah Baskara, tapi segera diurungkan. Takut terlalu ikut campur urusan anak muda. Dia pikir Baskara dan Lili hanya akan menyelesaikan satu urusan.
Lalu, tak lupa Lili mencium tangan kedua orangtua Baskara. Mereka makin terbengong-bengong oleh adegan yang aneh itu. Sebelum bisa berkata apa-apa, Lili sudah beranjak dan masuk mobil Baskara. Mereka sempat melambaikan tangan, lalu pergi.
"Ada apa dengan mereka, Zaliany?" tanya Pak Sungkono. "Entahlah, yang pasti urusan anak muda. Mereka mau ke mana, Zaliany juga belum tahu. Biar saja, Pak. Mereka sudah dewasa. Paling mereka akan diskusi dan berkeluh-kesah," jawab Zaliany. ***
Sudah pukul 19.00, Lili belum juga pulang. Ini mulai membuat orangtuanya resah, karena sudah mewanti-wanti jangan pulang melebihi sore. Mereka pun mulai bingung bukan kepalang, bercampur marah. Lili sudah melanggar perintah orangtua untuk segera pulang seusai kuliah. Segala prasangka dan kekhawatiran mulai muncul. Apalagi ponsel Lili juga dalam keadaan tidak aktif. Mereka pun segera mengobrak-abrik kamar Lili, mencari nomor telepon yang bisa dihubungi. Tapi, tak satu pun nomor yang didapat karena semua tercatat di HP Lili.
Kebingungan dan kecemasan pun memuncak, ketika pukul 23.30 Lili tak juga pulang. Naluri Thio Hok Kie langsung bicara, pasti ada sesuatu sehingga putrinya tak pulang. Dia memutuskan menelepon Beng San. Yang bersangkutan pun segera datang, karena rumahnya cukup dekat, di daerah Pasar Baru.
Setelah berdiskusi sebentar, mereka memutuskan segera mencari Lili. Tapi tak ada tujuan yang jelas. Mereka tak mengenal kawan-kawan Lili. Yang dikenal papah dan mamah Lili hanya Zaliany dan Awan yang pernah ke rumah saat menjenguk Lili kala sakit. Itu pun mereka tak tahu nomor teleponnya. Semenara Baskara, pemuda yang mereka benci itu, juga tak diketahui alamatnya. Setelah berpikir-pikir, papah Lili segera ingat. Dia pernah pagi-pagi mengantar Lili ke rumah rekannya di Kampung Sawah, daerah Lenteng Agung. Ini satu-satunya tempat yang bisa mereka tuju. "Ya, aku masih ingat tempatnya," desahnya.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengajak Beng San meluncur ke rumah itu. Mamah Lili sebenarnya ingin ikut, tapi dilarang. Dia harus jaga rumah, menunggu siapa tahu Lili akan pulang. Setelah memacu mobilnya, papah Lili dan Beng San akhirnya sampai juga di rumah itu. Meski sudah malam, mereka masuk halaman yang pagarnya tak terkunci kemudian mengetuk pintu rumah.
Agak lama tak ada sahutan. Setelah ketukan kelima, Pak Sungkono baru keluar, membuka pintu. Tapi dia kaget, karena tak mengenal orang-orang itu. "Ada yang bisa saya bantu?" "Maaf, Pak. Apakah di sini rumah temannya Mei Li. Maksud saya Lili?" "Oh, Bapak orangtuanya Lili?" "Benar. Dia belum pulang sejak pamitan kuliah tadi pagi." "Kalau begitu silakan masuk dulu."
Papah Lili dan Beng San pun langsung masuk dan duduk di ruang tamu. Ibu Sungkono ikut bangun dan segera bergabung.
"Lili memang sering ke sini. Dia teman Zaliany, putri kami. Tadi pagi juga ke sini, lalu pergi dengan putra kami. Saya tak tahu ke mana perginya. Memangnya ada apa?" Bukanya menjawab pertanyaan Pak Sungkono, papah Lili malah bertanya, "Putra Bapak? Namanya siapa?" "Baskara! Anda juga kenal?" "Oh, jadi Baskara kakak Zaliany? Putra Bapak? Pantas saja," tiba-tiba papah Lili bersikap sinis. Pak Sungkono pun agak kaget. Sebelum menjawab, Zaliany muncul. Dia juga tampak kaget papah Lili ada di rumah, tapi kemudian mencoba menguasai diri. Thio Hok Kie – papah Lili – langsung menanyai Zaliany. "Kamu tahu ke mana Mei Li dan Baskara pergi?" "Maaf, saya tidak tahu," jawab Zaliany. "Kalian bersekongkol. Ini sudah kejahatan! Bagaimana mungkin kalian tidak tahu?" Beng San mulai gusar. "Apa ini maksudnya? Tolong jelaskan dulu," balas Pak Sungkono dengan tetap tenang, tapi tampak mulai tersinggung. "Anak Bapak pasti melarikan anak saya.
Padahal dia akan segera menikah dengan pemuda ini," kata Thio Hok Kie sambil menunjuk Beng San. "Jangan berprasangka dan menuduh yang bukan-bukan dulu. Mereka sudah biasa pergi bersama dan selama ini tak ada apa-apa. Saya yakin sekarang pun mereka baik-baik saja. Anak saya bukan berandalan. Dia orang yang bertanggung jawab." "Buktinya dia sekarang membawa anak saya dan tak pulang sampai semalam ini. Bahkan ini sudah memasuki pagi!" kata papah Lili. "Zaliany, kamu benar-benar tidak tahu ke mana mereka biasa pergi?" tanya Pak Sungkono. "Tidak Pak. Tadi pagi kan mereka hanya bilang mau pergi. Saya tak sempat menanyakannya. Sudah, begitu saja. Saya juga sudah beberapa kali menelepon ponsel Mas Baskara dan ponsel Lili, tapi tidak aktif." "Saya tidak mau tahu. Baskara harus segera mengembalikan anak saya. Kalau tidak, kami akan segera melaporkannya ke polisi sebagai kasus penculikan." "Silakan, kalau itu mau Anda. Saya yakin, anak saya tak akan berbuat segegabah itu. Sebenarnya kami sudah tahu, mereka berpacaran.
Kalau sekarang pergi tanpa pamit sampai selama ini, pasti ada sesuatu atau masalah." "Benar, masalahnya anak Bapak. Dia tak tahu diri. Sudah tahu anak saya mau menikah, malah terus mengejar." [Sebelumnya | Selanjutnya]
--
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email Upload by: Chen Mei Ing - Jakarta