Misalnya saja gambang Semarang, adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional kota Semarang yang terdiri atas seni musik, vocal, tari dan lawak sebagai seni tradisi kerakyatan. Sejatinya gambang Semarangan bukan kesenian asli pribumi Semarang, tetapi berasal dari Gambang Kromong Jakarta sebagai perpaduan unsur kesenian masyarakat Cina dan pribumi. Namun di Semarang, kesenian ini mengalami perkembangan sehingga berbeda dari Gambang Kromong.
Hampir sama dengan masyarakat Jawa, warga peranakan di Semarang juga mempunyai ritual slametan yang dilaksanan di Klenteng. Saat ritual tersebut, keturunan Tionghoa ini pun membuat makanan yang tak jauh berbeda dengan yang dibuat warga pribumi, seperti nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, opor ayam, enten-enten, ketan, nasi dengan ikan laut, bubur merah dan bubur putih.
Pemerhati Budaya Tionghoa di Semarang, R Soenarto menjelaskan, masyarakat Tionghoa itu sudah hadir di Indonesia berabad-abad lalu. Kedatangan mereka di Semarang diperkirakan pada awal abad ke 15, antara tahun 1416.
Asisten Direktur Bidang Pengembangan Teknologi Suara Merdeka ini menambahkan, sebelumnya masyarakat Tionghoa ini lebih dulu mendarat di Banten, kemudian berpencar mendarat di Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran dan baru mereka mendarat di Pulau Tirang dan Bukit Simongan (Semarang).
"Kehidupan warga Tionghoa di Semarang dari waktu ke waktu semakin baik dan maju. Terlebih dengan berkembangnya wilayah Pecinan, maka wilayah ini makin lama makin berkembang dinamis," papar R Soenarto saat mengenalkan berbagai akulturasi Semarang-Cina kepada mahasiswa-mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang berkunjung ke Kantor Suara Merdeka CyberNews, siang ini (26/10).
Perpaduan budaya Cina di Semarang selalu menarik untuk diperbicarakan. Terlebih, etnis Tionghoa bersama warga pribumi mulai membangkitkan kearifan lokal baru. Sebut saja, perayaan festival Bukan Bee-kun yang merupakan ide dari perkumpulan Rasa Darma Semarang. Perayaan ini mulanya hanya untuk memperingati datangnya Sam Poo Tay Djien di Semarang, tetapi kemudian dikembangkan untuk ikut memeriahkan festival budaya yang lain, misalnya pawai Dugderan.
Potensi budaya di Semarang ini sangat memungkinkan untuk lebih dikembangkan, utamanya akulturasi budaya Cina di Semarang. Berdasarkan budaya Cina yang ada di Semarang ini, beberapa mahasiswa Universita Brawijaya tersebut berupaya melakukan penelitian tentang tata bangunan dan lingkungan yang ada di Pecinan.
"Budaya Semarang-Cina sangat berpotensi untuk dikembangkan agar lebih baik. Sebab itu kami tertarik untuk meneliti aspek penataan kota di Semarang, khususnya di kawasan Pecinan," kata Rezky Anggi, mahasiswi Fakultas Tekni Universita Brawijaya. [Jeni Wang / Semarang / Tionghoanews]