Bapaknya dengan sabar dan penuh kasih mengelus kepala anak perempuan itu. Ia menghibur anaknya agar jangan bersedih. Lalu katanya, "Mulai besok kalau berangkat sekolah kamu bawa tiga buah jeruk besar. Taruh ketiganya di dalam tasmu, ya Nak. Jangan dimakan, tapi hanya dibawa saja kemanapun kamu pergi."
Hari berikutnya, anak itu pun menuruti perintah bapaknya. Ditaruhnya tiga buah jeruk di dalam tas sekolahnya. Terbersit di benak anak itu untuk memakan buah jeruk yang dibawanya saat istirahat. Tapi, diurungkannya niat itu. Dibiarkannya jeruk itu di antara buku-buku sekolahnya.
Ketika pulang sekolah, anak itu menceritakan pada bapaknya bahwa tiga jeruk yang dibawanya masih utuh. Bahkan ketika hendak pergi les sore harinya, tiga jeruk itu pun harus dibawanya serta dalam tasnya.
Demikian dilakukan anak itu sampai seminggu. Anak perempuan itu semakin penasaran. Ia tidak mengerti mengapa tiga buah jeruk yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi tidak boleh dimakan sama sekali. Ia merasa bahwa tas sekolahnya kini menjadi semakin berat karena ada tambahan buah-buah jeruk tersebut. Anak itu merasa kesal. "Pak, mengapa aku tidak boleh makan jeruk yang kubawa itu? Aku capek membawanya setiap kali ke sekolah. Rasanya berat. Sekarang malah sudah bau busuk. Kenapa sih, Pak?"
"Biarkan saja, Nak. Jeruk-jeruk itu harus kamu bawa terus kemanapun kamu pergi. Biarkan mereka busuk. Tugasmu hanya membawa kemanapun kau pergi," sahut bapaknya.
"Aku tidak mau, Pak. Aku ingin membuang saja jeruk-jeruk busuk itu. Berat dan bau. Aku capek, Pak bawanya. Aku malu baunya. Pokoknya aku tidak mau lagi membawa jeruk itu ke sekolah besok," ujar anaknya sengit.
"Kalau memang itu maumu, baiklah. Mulai besok kamu boleh tinggalkan buah-buah jeruk itu dari tas sekolahmu. Kau bebas. Tapi ada syaratnya. Kamu tidak boleh sakit hati lagi kepada teman-teman yang pernah menyakitimu, ya Nak. Janji ya."
Bapak itu hanya ingin mengajarkan anaknya bahwa rasa sakit hati dan dendam itu ibarat buah jeruk yang dibawa anak kecil itu. Kemanapun, dimanapun, kapanpun ia pergi, ia selalu membawanya serta. Anak itu pun mengerti. Mulai hari itu ia sudah membuang jauh rasa sakit hatinya. Hidupnya kembali ceria tanpa beban seperti dulu.
Sakit hati yang kita bawa itu rasanya memberatkan. Pikiran pun menjadi kacau. Akhirnya buah jeruk yang melambangkan rasa hati yang sakit dan penuh dendam itu makin mengganggu kehidupan kita. Orang yang menyakiti hati kita selalu kita pikirkan. Lalu, semakin lama, seperti buah jeruk, rasa sakit hati pun akan membusuk dan mengganggu. Rasa dendam dan sakit hati itu makin lama makin menjalar dan membuat hati kita seolah ikut membusuk oleh rasa dendam. [Natalia Lim / Cirebon]