Hidup memang seperti mimpi, apa yang semula aku angankan dan hampir menjadi kenyataan akhirnya berubah total. Hidupku yang semula serba kecukupan dan bergelimang kegembiraan akhirnya menjadi sebuah sedih yang berkepanjangan dan itu seperti mimpi bagiku, mimpi yang menjelma menjadi sebuah kenyataan pahit.
Sebut saja namaku Asni (bukan nama sebenarnya), saat ini usiaku 41 tahun. Aku seorang istri dan ibu dari tiga orang anak. Kisahku berawal dari timbulnya perasaan cinta terhadap Mas Toni (bukan nama sebenarnya) seorang duda yang juga atasanku. Saat itu aku sebenarnya masih berstatus istri dari suamiku, sebut saja namanya Baskoro (juga bukan nama sebenarnya) yang telah memberiku dua orang anak laki-laki yang telah berumur 10 dan 12 tahun.
Saat itu aku sendiri tak mengerti mengapa perasaan itu bisa muncul dan tumbuh subur, mungkin karena terlalu seringnya kami berada dalam satu ruang dalam bekerja, maklum aku adalah sekeretaris Mas Toni selama hampir dua tahun belakangan. Sebelumnya aku adalah pegawai staff di bawah departemen yang dipimpin Mas Toni.
Awal tumbuh suburnya rasa cinta ini adalah saat aku mendapatkan sebuah musibah yang menimpa suamiku. Mas Toni dengan gaya dan caranya yang kharismatik turut membantu menyelesaikan permasalahan keuangan yang saat itu aku hadapi, dan karena caranya tersebut aku merasakan kenyaman saat dekat dengan Mas Toni. Dan kenyaman itu berubah menjadi rasa sayang.
Melalui berbagai pertimbang dan ditambah dengan keadaan rumah tanggaku yang kian tidak harmonis, akhirnya membuatku mengabil keputusan, bercerai dengan suamiku dan menikah dengan mas Toni. Dan gayungpun bersambut, Mas Toni menyambut baik keputusanku tersebut, karena tanpa disangka, Mas Toni menyimpan perasaan suka terhadapku dan itu diakui Mas Toni bahwa perasaan itu sudah lama ia pendam.
Dan kamipun menikah, walau banyak orang menentang, baik dari keluargaku, terutama dua orang anakku, alasannya Mas Toni terlalu tua untukku, karena saat itu aku berumur 30 tahun sementara Mas Toni telah menginjak usia 49 tahun. Pertentangan juga datang dari keluarga dan anak-anak Mas Toni, cuma mereka menentang karena aku dituduh hanya akan memanfaatkan kekayaan Mas Toni saja.
Namun semua itu akhirnya kami lalui dengan keadaan yang kondusif, karena pada akhirnya mereka yang semula menentang, secara perlahan mulai bisa menerima keputusan kami. Dan aku bertekad akan membuktikan bahwa aku bukan perempuan yang akan menguasai harta kekayaan Mas Toni walaupun itu sebenarnya sudah menjadi hakku.
Singkat cerita, pernikahanku amat bahagia, apalagi dari pernikahan itu setelah aku dikaruniai seorang putri cantik, apalagi kedua kakaknya bisa mnerima dan menyayangi mereka, sehingga hidup kami semakin diliputi perasaan bahagia dan berbunga-bunga.
Namun rupanya janjiku untuk sehidup semati bersama Mas Toni mendapat ujian dari Tuhan, setelah hampir 10 tahun berumah tangga, mendadak Mas Toni mengalami kelumpuhan akibat strok yang dideritanya, sesuai janjiku aku tetap merawatnya dengan kemampuan yang aku miliki. Dan keadaan itu membuat keluarga Mas Toni semakin percaya kepadaku.
Keadaan Mas Toni semakin lama semakin parah, ia yang semula masih sanggup berkata-kata akhirnya sama sekali tak bisa berbuat apa-apa, hanya isyarat matanya saja yang masih tertangkap olehku. Dan dampak dari itu semua harta kekayaan yang dimiliki Mas Toni nyaris habis untuk keperluan pengobatan. Namun untunglah keadaan itu tak membuat anak-anakku patah semangat.
Hampir lima belas tahun, Mas Toni tak berdaya di pembaringan, dan aku hampir putus asa karenanya, putus asa karena Mas Toni tak kunjung sembuh, putus asa karena tak ada lagi biaya untuk merawatnya. Namun sekali lagi aku masih diberikan kekuatan oleh anak-anakku, terutama anakku yang pertama yang saat itu sudah lulus dan bekerja disebuah perusahan swasta, hingga ia bisa sedikit membantu untuk keperluan adik-adiknya.
Ditengah-tengah kesulitan tersebut, banyak godaan yang menimpaku, mulai dari laki-laki iseng yang merayuku sampai pada fitnah yang menuduhku mendapatkan biaya perawatan dari hasil menjual tubuhku pada pria iseng, maklum walau umurku telah menginjak angka empat puluh, namun kemulusan dan kemolekan tubuhku masih saja menggoda para pria, selain itu mereka juga berpendapat bahwa aku pasti kesepian setelah tak diberi nafkah batin selama belasan tahun
Ditahun ke enam belas, akhirnya ujian yang kuhadapi berakhir, Mas Toni yang begitu aku cintai akhirnya dipanggil Tuhan. Saat itu perasaan sedih dan lega berbaur menjadi satu, sedih karena aku kehilangan orang yang begitu tulus mencintaiku, lega karena satu ujian berat yang selama ini kuhadapi akhirnya berakhir.
Walau demikian ujian selanjutnya datang silih berganti, banyak pria di lingkungan tempat tinggalku masih saja mencoba memancing di air keruh, mencoba memanfaatkan kesepianku. Untunglah aku masih berpegang teguh dengan ikrarku,apapun yang terjadi aku tetap memilih untuk hidup sendiri dan berjuang bersama anak-anakku. [Vivi Tan / Jakarta]
Sebut saja namaku Asni (bukan nama sebenarnya), saat ini usiaku 41 tahun. Aku seorang istri dan ibu dari tiga orang anak. Kisahku berawal dari timbulnya perasaan cinta terhadap Mas Toni (bukan nama sebenarnya) seorang duda yang juga atasanku. Saat itu aku sebenarnya masih berstatus istri dari suamiku, sebut saja namanya Baskoro (juga bukan nama sebenarnya) yang telah memberiku dua orang anak laki-laki yang telah berumur 10 dan 12 tahun.
Saat itu aku sendiri tak mengerti mengapa perasaan itu bisa muncul dan tumbuh subur, mungkin karena terlalu seringnya kami berada dalam satu ruang dalam bekerja, maklum aku adalah sekeretaris Mas Toni selama hampir dua tahun belakangan. Sebelumnya aku adalah pegawai staff di bawah departemen yang dipimpin Mas Toni.
Awal tumbuh suburnya rasa cinta ini adalah saat aku mendapatkan sebuah musibah yang menimpa suamiku. Mas Toni dengan gaya dan caranya yang kharismatik turut membantu menyelesaikan permasalahan keuangan yang saat itu aku hadapi, dan karena caranya tersebut aku merasakan kenyaman saat dekat dengan Mas Toni. Dan kenyaman itu berubah menjadi rasa sayang.
Melalui berbagai pertimbang dan ditambah dengan keadaan rumah tanggaku yang kian tidak harmonis, akhirnya membuatku mengabil keputusan, bercerai dengan suamiku dan menikah dengan mas Toni. Dan gayungpun bersambut, Mas Toni menyambut baik keputusanku tersebut, karena tanpa disangka, Mas Toni menyimpan perasaan suka terhadapku dan itu diakui Mas Toni bahwa perasaan itu sudah lama ia pendam.
Dan kamipun menikah, walau banyak orang menentang, baik dari keluargaku, terutama dua orang anakku, alasannya Mas Toni terlalu tua untukku, karena saat itu aku berumur 30 tahun sementara Mas Toni telah menginjak usia 49 tahun. Pertentangan juga datang dari keluarga dan anak-anak Mas Toni, cuma mereka menentang karena aku dituduh hanya akan memanfaatkan kekayaan Mas Toni saja.
Namun semua itu akhirnya kami lalui dengan keadaan yang kondusif, karena pada akhirnya mereka yang semula menentang, secara perlahan mulai bisa menerima keputusan kami. Dan aku bertekad akan membuktikan bahwa aku bukan perempuan yang akan menguasai harta kekayaan Mas Toni walaupun itu sebenarnya sudah menjadi hakku.
Singkat cerita, pernikahanku amat bahagia, apalagi dari pernikahan itu setelah aku dikaruniai seorang putri cantik, apalagi kedua kakaknya bisa mnerima dan menyayangi mereka, sehingga hidup kami semakin diliputi perasaan bahagia dan berbunga-bunga.
Namun rupanya janjiku untuk sehidup semati bersama Mas Toni mendapat ujian dari Tuhan, setelah hampir 10 tahun berumah tangga, mendadak Mas Toni mengalami kelumpuhan akibat strok yang dideritanya, sesuai janjiku aku tetap merawatnya dengan kemampuan yang aku miliki. Dan keadaan itu membuat keluarga Mas Toni semakin percaya kepadaku.
Keadaan Mas Toni semakin lama semakin parah, ia yang semula masih sanggup berkata-kata akhirnya sama sekali tak bisa berbuat apa-apa, hanya isyarat matanya saja yang masih tertangkap olehku. Dan dampak dari itu semua harta kekayaan yang dimiliki Mas Toni nyaris habis untuk keperluan pengobatan. Namun untunglah keadaan itu tak membuat anak-anakku patah semangat.
Hampir lima belas tahun, Mas Toni tak berdaya di pembaringan, dan aku hampir putus asa karenanya, putus asa karena Mas Toni tak kunjung sembuh, putus asa karena tak ada lagi biaya untuk merawatnya. Namun sekali lagi aku masih diberikan kekuatan oleh anak-anakku, terutama anakku yang pertama yang saat itu sudah lulus dan bekerja disebuah perusahan swasta, hingga ia bisa sedikit membantu untuk keperluan adik-adiknya.
Ditengah-tengah kesulitan tersebut, banyak godaan yang menimpaku, mulai dari laki-laki iseng yang merayuku sampai pada fitnah yang menuduhku mendapatkan biaya perawatan dari hasil menjual tubuhku pada pria iseng, maklum walau umurku telah menginjak angka empat puluh, namun kemulusan dan kemolekan tubuhku masih saja menggoda para pria, selain itu mereka juga berpendapat bahwa aku pasti kesepian setelah tak diberi nafkah batin selama belasan tahun
Ditahun ke enam belas, akhirnya ujian yang kuhadapi berakhir, Mas Toni yang begitu aku cintai akhirnya dipanggil Tuhan. Saat itu perasaan sedih dan lega berbaur menjadi satu, sedih karena aku kehilangan orang yang begitu tulus mencintaiku, lega karena satu ujian berat yang selama ini kuhadapi akhirnya berakhir.
Walau demikian ujian selanjutnya datang silih berganti, banyak pria di lingkungan tempat tinggalku masih saja mencoba memancing di air keruh, mencoba memanfaatkan kesepianku. Untunglah aku masih berpegang teguh dengan ikrarku,apapun yang terjadi aku tetap memilih untuk hidup sendiri dan berjuang bersama anak-anakku. [Vivi Tan / Jakarta]