Begitu pula dengan Hendra, ia yang saat itu dijodohkan denganku sebenarnya telah memiliki kekasih dengan terpaksa harus belajar mencintai dan memperhatikan aku sebagai calon istrinya. Kami berdua awalnya sangat pesimistis dapat melalui masa perkenalan itu dengan mulus, masalahnya kami sama sekali tak saling mengenal, apalagi memiliki perasaan cinta, kasih dan sayang, ditambah kami berdua telah memiliki pasangan dan kami sempat bersepakat untuk mengakhiri 'lelucon' ini dan menjelaskannya kepada keluarga masing-masing
Namun kenyataannya, setelah dua bulan kami 'bersahabat' dan cukup sering saling curhat mengenai kehidupan kami masing-masing, secara perlahan mulai muncul rasa empati di hati ini tehadap apa yang kami alami. Hendra sempat bercerita mengenai kekasihnya yang kerap berkelakuan irasional. Demikian juga aku yang sempat menceritakan hubunganku dengan seorang mahasiswa yang juga banyak mengalami kendala.
Dan begitulah akhirnya, kami jadi sering jalan berduaan, hanya untuk membahas hal-hal kecil yang berhubungan dengan pasangan kami masing-masing. Terkadang jika keadaan memungkinkan, kami menyempatkan diri mampir di bioskop atau mungkin ke sebuah taman untuk sekedar melepaskan kejenuhan. Entah mengapa, aku merasa sangat nyaman jika sedang berduaan dengan Hendra dan aku ingin sekali setiap hari bisa selalu bersamanya.
Suatu hari, di malam minggu yang cerah, Hendra memberiku sebuah kejutan kecil yang membuat aku merasa sangat terkesan. Ia membawaku ke sebuah kafe dengan tata ruang yang sangat romantis. Ditempat itu mataku menatap sebuah meja yang sepertinya ditata sangat spesial, karena ada setangkai bunga mawar merah, sebotol wine, dua gelas kristal dan sebatang lilin dengan nyala api berwarna biru yang menghiasi meja tersebut, "Wah romantis sekali orang yang memesan meja tersebut," gumamku dalam hati.
Dan betapa terkejutnya aku, ketika Hendra justru mengajakku duduk di meja tersebut, "Ini hadiah spesial untuk persahabatn kita,". Tiba-tiba saja dadaku bergemuruh, entah perasaan apa yang hinggap di hatiku saat itu, apalagi ketika ia memperlihatkan sebuah kotak berwarna merah dan memperlihatkan isinya kepadaku, "Malam ini aku juga ingin melamar kamu," tutur Hendra sambil membuka kotak merah yang ia perlihatkan kepadaku sejak tadi.
Dalam kotak merah itu ada sepasang cicin dengan bentuk yang sangat cantik, seperti sepasang kupu-kupu berwarna biru yang sedang bercumbu, "Dhin, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara yang terdengar sangat lembut. Aku yang sama sekali tak menduga dengan pinangan Hedra tersebut hanya bisa menatapnya dengan pandangan penuh tanya, "Dhin, kenapa jadi bengong seperti itu?" kamu tak bersedia menerima pinanganku?" Hendra kembali bertanya, kali ini dengan suara yang sedikit lemah.
Mendengar itu aku buru-buru memegang tangannya, tersenyum dan dengan cepat mengganggukan kepalaku tanda setuju, "Aku bersedia mas," jawabku singkat. Tapi terus terang aku masih bingung harus bagaimana menyingkapi hal ini, terutama menyangkut hubungan kami dengan pasangan kami masing-masing. "Kita masih punya waktu untuk menjelaskan hal ini kepada pasangan kita," tutur Hendra sambil mencium keningku, perlakuan yang belum sekalipun aku dapatkan dari kekasihku.
Malam itu sepertinya akan menjadi sejarah baru dalam kehidupan kami selanjutnya. Aku sepertinya merasa berada pada dunia baru, merasa kembali dilahirkan menjadi seorang perempuan yang memiliki jiwa dan raga yang baru dengan semangat yang baru pula. Bagaimana tidak, Hendra yang awalnya seolah menjadi batu penghalang bagi hubungan aku dengan kekasihku, justru saat ini berubah menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata, karena pria seromantis Hendra cuma berada dalam angan-angaku.
Setelah malam penuh romantisme itu berakhir, Hendra mengantarku pulang. Sekali lagi ia mengecup keningku saat kami berada di depan pintu rumahku. Ia juga kembali meyakinkan aku tentang hubungan ini. Sepertinya waktu begitu cepat berlalu, saat ia melambaikan tangannya dan menuju mobil yang diparkirnya di seberang jalan. Disaat yang berbarengan sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi dan kemudian aku melihat tubuh Hendra terlempar dengan sangat keras, "Hendraaaa........!!" aku menjerit sekencang-kencangnya dan kemudian gelap menyelubungi pemandanganku.
Dan rupanya itulah lambaian terakhir dari Hendra, malam itu Hendra memberiku sebuah kenangan baru tentang makna sebuah perkenalan, tentang cinta dan kasih sayang. Bahwa itu semua bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja, begitu juga sebaliknya bahwa keadaan itu bisa saja berakhir tanpa diduga-duga dan kita tak akan pernah bisa menghindarinya. Aku cuma bisa mengenang apa yang baru saja terjadi sambil mengusap air mataku yang henti-hentinya mengalir dipelupuk mataku yang redup. [Vivi Tan / Jakarta]