Saat usiaku masih sekitar 17 tahun, aku suka sekali berkenalan dengan seseorang walau hanya melalui surat. Beberapa majalah Kawula muda sengaja aku beli demi untuk mendapatkan teman-teman baru untuk berkorespondensi, dan berkenalan sambil berharap ada sahabat korespondensi yang tak saja mau berkenalan namun uga mau bertemu langsung denganku.
Di suatu saat aku menerima sepucuk surat dari seorang perempuan yang isinya mengajaku berkenalan, ia mengaku bernama Vera (bukan nama sebenarnya) yang tinggal sekota denganku. Awalnya aku tak begitu menghiraukan isi surat itu, karena aku sudah terbiasa dengan basa-basi seorang perempuan yang awalnya ingin berkenalan namun selanjutnya tak pernah membalas semua surat-suratku dan aku sudah bosan dikecewakan.
Namun ternyata dugaanku meleset, aku dan Vera semakin sering berkorespondensi, saling berbalas dan saling memberi harapan, namun ada satu yang membuatku agak bingung, terkadang dalam surat ada tulisan-tulisan atau bahasa-bahasanya yang aku tidak bisa mengerti, pernah aku bertanya tetang hal itu, namun Vera selalu menjawabnya dengan jawaban yang semakin aku tidak mengerti.
Beberapa bulan lamanya kami berbalas surat, dan semakin lama rasa penasaran dihati kami semakin memuncak. Hingga akhirnya di akhir pekan pada bulan Agustus kami sepakat untuk bertemu di sebuah Mall yang ada di kota kami, namun rencana itu gagal, karena Vera berhalangan untuk datang.
Hampir satu bulan lamanya Vera tak pernah membalas lagi surat-suratku, dan aku menduga Vera tak ingin lagi membalas suratku, namun sekali lagi dugaanku meleset, karena keesokan harinya datang surat dari Vera yang memberitahuku bahwa ia sakit hingga tak bisa membalas suratku.
Sekali lagi kami sepakat untuk bertemu muka. Hingga hari yang sudah ditentukanpun tiba dan aku semakin berdebar. Kami memang sepakat untuk memberitahu cirri-ciri masing-masing sehingga tidak akan sulit untuk saling bertemu. Hari itu Vera berjanji akan mengenakan baju berwarna merah, sementara aku menggunakan baju warna putih dan memakai topi.
Dan hari itulah aku merasa sangat berdosa, karena aku bertindak curang dengan tidak menggunakan pakaian yang telah kami sepakati. Aku sengaja menggunakan pakaian hitam dan tidak menggunakan topi, maksudku aku ingin menghindar tatkala apa yang kuharapkan ternyata meleset.
Dan dugaanku ternyata benar-benar terjadi, di tempat yang telah kami sepakati aku melihat seorang perempuan berbaju merah seperti ciri-ciri yang dijelaskan Vera kepadaku. Dan sesaat aku begitu terkejut. Perempuan yang mengenakan baju merah tersebut ternyata seorang gadis dengan keterbelakangan mental.
Terus terang aku merasa gelisah, aku tak tahu harus berbuat apa. Sementara Vera terlihat begitu sedih karena sampai lewat 1 jam dari waktu yang kami tentukan, aku belum juga muncul. Ia tampak seperti orang yang kebingungan. Dan sesaat kemudian muncul seorang laki-laki yang mencoba menenangkannya, membujuknya untuk segera pulang dan kulihat Vera menangis sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sesaat sebelum pergi, laki-laki itu sekali lagi melemparkan pandangan ke seluruh tempat, seolah mencari-cari sesuatu, sesaat kemudian ia mencurigai keberadaanku dan menatapku lama, sekali lagi aku merasa gelisah, antara ingin pergi atau ingin menemui Vera, namun rasa egois rupanya lebih menguasaiku, secepat kilat aku menghindari tatapannya dan pergi menjauh.
Keesokan harinya sepulang dari sekolah, aku mendapatkan sepucuk surat dari Vera namun dengan tulisan yang lebih rapi, berbeda sekali dengan tulisan tangan Vera yang biasa aku baca. Dengan hati berdebar aku membaca isi surat itu dan sekali lagi aku merasakan sesak di ulu hatiku, rasa bersalah seketika itu menyergap seluruh jalan darahku.
Si penulis surat menjelasakan bahwa ia adalah kakak dari Vera, ia memang sudah menduga apa yang akan di alami Vera, ia sungguh menyayangkan tindakan yang aku ambil saat tahu bahwa Vera adalah gadis yang mempunyai cacat mental, namun ia juga tak mau sepenuhnya menyalahkanku.
Laki-laki bernama Arman (bukan nama sebnarnya) itu meminta maaf jika Vera telah membuatku kecewa, arman Menjelaskan bahwa Vera hanya ingin bersahabat tak lebih dari itu, namun ternyata jika persahabatn ternyata bukan menjadi bagian dari kehidupan Vera, arman menyatakan pasrah. Arman juga menjelaskan bahwa saat ini Vera begitu terguncang hingga tak ingin menemui siapapun dan akhirnya jatuh sakit.
Dan aku hanya terpaku, sesaat aku menyesali apa yang telah aku perbuat, dan terasa air mataku jatuh menentes, hingga saat ini surat-surat terakhir yang aku kirim tak pernah terbalas, bahkan aku begitu sedih saat surat terakhirku kembali ke rumah dan pak pos menjelskan bahwa pemilik alamat yang aku tuju sudah pindah. Saat ini aku ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Vera dan keluarganya, mudah-mudahan mereka membaca tulisan ini. [Vivi Tan]