Peristiwa itu terjadi saat ayah memutuskan untuk kembali menikah dengan seorang perempuan bernama Ningrum (bukan nama sebenarnya). Perempuan yang awalnya memberikan kesan baik di hatiku, namun pada akhirnya justru orang yang paling berperan dalam menghancurkan hidupku. Dari ibu tiriku ini pula aku akhirnya memiliki seorang adik perempuan yang selama ini aku idam-idamkan.
Kehidupan ekonomi keluarga kami memang tidak bisa dibilang serba berkucukupan. namun begitu, untuk keperluan sehari-hari ayah bisa mencukupinya dengan bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah perusahaan yang tak jauh dari tempat kami tinggal, sehingga ayah bisa menghemat pengeluaran karena tak perlu ongkos dan tambahan biaya untuk makan.
Kesulitan mulai datang saat adikku mulai masuk sekolah TK, pendapatan ayah yang semula cukup, saat itu tak lagi bisa untuk menutupi semua biaya kebutuhan kami. Dan keadaan itu mulai menyebabkan pertengkaran diantara ayah dan ibu. Aku yang saat itu masih duduk di bangku SMP kelas tiga tak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka berdua.
Karena alasan itu pula ibu akhirnya mencoba untuk mencari penghasilan tambahan. Kebetulan ibu dulu pernah beraktifitas dilingkungan para pejabat, tapi aku juga tak mengetahui secara persis apa aktifitas ibu saat itu. Yang jelas, entah kapan mulainya ibu setiap hari ibu selalu berangkat pagi dan pulang sore menjelang malam. Aktifitas itupun tak selalu dapat membantu kesulitan ayah.
Hingga suatu hari, ibu mengajakku untuk menemui seorang pejabat kota yang katanya bisa membatu aku untuk mendapatkan uang tambahan. Aku sebenarnya sudah curiga dengan ajakan tersebut, tapi jika mengingat kesulitan yang kami hadapi, aku akhirnya membuang jauh-jauh kecurigaan tersebut dan berharap pejabat dan ibu berkata benar dan tak menipu aku.
Masih lekat diingatanku, ketika ibu meninggalkan aku berdua dengan laki-laki itu sebut saja namanya Herry (bukan nama sebenarnya) disebuah Mall. Awalnya aku hanya diajak jalan-jalan, Om Herry juga membelikanku pakaian serta barang-barang lain. Kemudian ia mengajakku kesebuah hotel. Jelas saja aku menolak ajakannya. Tapi ia terus merayu dan menjanjikanku uang jutaan rupiah jika aku mau menemaninya masuk kedalam hotel.
Saat aku hendak beranjak pergi untuk meninggalkannya, tiba-tiba ibu muncul dan memaksaku agar aku mau menuruti semua keinginan Om Herry. Ibu juga mengintimidasiku dengan ancaman-ancaman yang membuat aku takut, "Kamu tega melihat ayahmu terus-menerus bekerja, dan akhirnya jatuh sakit, kamu mau melihat ayahmu meninggal?" sergah ibu dengan mimic wajah mengancam. Hari itu akhirnya aku kehilangan kehormatanku. Setelah puas menikmati tubuhku, Om Herry memberiku uang sebesar dua juta rupiah, namun uang tersebut diambil ibu.
Dua minggu setelah peristiwa itu, di sekolahku beredar kabar bahwa ada video mesum seorang pejabat dengan seorang siswi SMP. Celakanya siswi SMP yang ada di video itu adalah aku. Aku sendiri bingung dan tak percaya dengan kabar tersebut. Tapi setelah aku melihat langsung video itu dari HP kawanku aku langsung terkesiap karena aku yakin gambar itu adalah aku dan Om Herry.
Kabar tersebut akhirnya sampai juga ditelinga tetangga-tetanggaku, mereka menyebutku sebagai pelacur kelas tinggi yang bisa di 'pakai' oleh para pejabat. Kabar tersebut jelas saja membuat ayah terkejut. Semula ia memang tak percaya dengan hal itu, namun setelah ia menyaksikan sendiri video yang beredar lewat telepon genggam tersebut, ayah terlihat sangat shok dan malu. Aku dimarahinya habis-habisan, pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhku, sementara aku hanya bisa menangis dan memohon agar ayah menghentikan pukulannya.
Aku mencoba menjelaskannya pada ayah, bahwa ibulah yang telah menjerumuskan aku, memaksaku untuk melayani nafsu binatang Om Herry agar ibu bisa mendapatkan uang. Peristiwa itu memang akhirnya bermuara pada proses pengadilan, namun setelah itu aku tak mendapati ayah di rumah, ia menghilang entah kemana. Kemudian aku memutuskan untuk menyingkir ke kota lain, sementara adikku tinggal bersama keluarga ibu.
Sampai kini aku tak tahu lagi tahu dimana ayahku tinggal, aku sendiri sudah lima tahun tak memberi kabar kepada keluarga ayah dan ibu. Aku memutuskan untuk menghilang dan melupakan semua kenangan pahit itu. Rasa malu sepertinya membuatku tak pernah ingin untuk bertemu lagi dengan orang-orang yang pernah aku kenal sebelumnya, pun dengan adik atau keluargaku, biarkan semuanya terhapus bersama kenangan pahit itu. [Vivi Tan / Jakarta]