KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 09 April 2012

PENGALAMAN DENGAN ORANG KETURUNAN TIONGHOA DI JERMAN

Karena diilhami oleh buku "Zehn Jahre in Deutschland," saya hendak menuliskan sekelumit pengalaman saya dengan orang keturunan Tionghoa di Jerman selama studi saya di negara tersebut. Sebagai informasi saya studi Maschinenbau (mechanical engineering) di Jerman antara 1993-1997.

Persinggungan pertama saya dengan orang-orang keturunan Tionghoa (yang dimaksud dengan orang-orang keturunan Tionghoa di sini mengacu para orang-orang yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan beserta keturunan mereka-jadi bukan orang keturunan Tionghoa dari Indonesia) adalah saat mengunjungi toko-toko Asia (asiatisches Lebensmittel).

Saya sendiri kurang cocok dengan makanan Jerman, sehingga harus ke toko Asia guna membeli beras dan juga bahan makanan Asia seperti tahu, tempe, sayuran, dan lain sebagainya. Waktu itu, saya mendapati ternyata banyak juga orang-orang dari RRT dan Taiwan. Meskipun demikian, di toko-toko Asia tidak hanya orang dari kedua kawasan itu saja, melainkan banyak juga orang yang berasal dari Vietnam dan Thailand.

Kebanyakan orang Vietnam dan Thailand secara fisik tidak dapat dibedakan dari orang RRT dan Taiwan. Saya hanya sebatas membeli bahan makanan saja dan tidak banyak berdialog dengan mereka. Selain itu, saya juga mengunjungi salah satu China Restaurant terkenal di Berlin, yakni Good Friend, yang namanya dalam bahsa Mandarin berbunyi "Hao Pengyou." Cukup banyak orang Jerman yang gemar makanan Tionghoa, walaupun cita rasanya agak beda dengan tanah air.

Perjumpaan berikutnya adalah saat perayaan tahun baru Imlek yang diadakan di salah satu bagian Universitas Berlin (Technische Universitaet Berlin). Saya diajak oleh salah seorang teman yang banyak bergaul dengan kawan-kawan dari berbagai bangsa. Jerman memang telah menjadi negara multi-kultur yang sangat baik.

Teman mengajak saya untuk hadir dalam perayaan tahun baru Imlek tersebut. Karena tertarik, saya ikut saja. Di sana ada banyak sekali keturunan Tionghoa dari RRT dan disajikan berbagai makanan khas Tiongkok. Saya diajak mencoba semacam bubur yang disebut Acht Kostbarkeiten atau Delapan Substansi Berharga.

Ternyata ini adalah makanan yang dibuat dari delapan bahan. Di Indonesia saya belum pernah mencoba makanan seperti ini. Setelah mengikuti acara tersebut saya berpikir ternyata perayaan tahun baru Imlek di tengah-tengah keluarga saya agak berbeda.

Perjumpaan berikutnya adalah saya berkenalan dengan kawan sahabat saya yang berasal dari RRT. Saya ingin tahu bagaimana pandangannya tentang Taiwan. Ternyata dia punya pandangan negatif terhadap Taiwan. Waktu saya mencoba menyanyikan Zhonghua Minguo Song karena ingin tahu reaksinya, dia berkata, jangan nyanyikan lagu itu. Kemudian saya perlihatkan koleksi lagu Mandarin saya, yang ternyata beberapa penyanyi dia juga suka.

Hubungan yang lebih erat dengan para keturunan Tionghoa terjadi waktu saya mengunjungi cabang vihara Foguangshan di Berlin. Waktu itu saya baru masuk agama Buddha dan belum tahu apa beda Theravada dan Mahayana. Namun, setelah membandingkan vihara yang bercorak Theravada dan Mahayana (Foguangshan) saya lebih cocok di Foguangshan, karena tokoh-tokohnya saya kenal, yakni ada Guanyin, Dizangwang, Amiduofo, dan lain-lain.

Kebetulan tidak lama setelah saya bergabung di sana, Master Xingyun, pendiri Foguangshan hadir di Jerman (sebenarnya waktu ke Taiwan dulu saya pernah mengunjungi Foguangshan). Saya lantas mengikuti acara ceramah Master Xingyun.

Salah seorang anggota Vihara Foguangshan adalah pemilik salah satu restoran China terkemuka di Jerman. Dia lahir di Taiwan. Saya pernah teringat berdialog dengannya mengenai keturunan Tionghoa di Jerman dan juga masalah agama Buddha (karena baru masuk agama Buddha, saya tertarik ingin tahu tentang agama Buddha).

Dia mengatakan bahwa orang-orang Taiwan di Jerman, selain membuka usaha restoran sebenarnya banyak yang merupakan tenaga ahli, yakni para ahli dalam bidang kesehatan, seperti dokter bedah. Jadi posisi keturunan Taiwan di Jerman cukup terhormat. Ada yang di Jerman sudah 25 tahun, sehingga anak mereka sudah kurang dapat berbahasa Mandarin dan lebih fasih berbahasa Jerman.

Waktu studi saya sudah hampir selesai dan saya lebih banyak berkutat di lab, saya mengetahui adanya program pertukaran pelajar yang diadakan oleh pemerintah Jerman dan RRT. Pertukaran itu berkaitan dengan transfer teknologi berupa penggunaan CAD Software bernama Pro Engineer selama beberapa bulan.

Rupanya pemerintan RRT ingin meningkatkan pengetahuan para insinyurnya. Waktu itu pesertanya sekitar 20 orang dan penampilan mereka menurut saya agak kusut-kusut. Wajahnya kelihatan serius dan kaku. Ketika itu, memang sering terjadi rebutan komputer lab dengan mereka.

Saat acara pengajaran Pro Engineer berawal saya harus keluar, karena komputer dan ruangannya mau dipakai, padahal saya sedang menyelesaikan skripsi atau Diplom Arbeit saya. Pertama-tama memang ada ketidak-senangan terhadap mereka. Belum lagi mereka agak bau. Dalam hati saya berpikir, "Wah payah di negara mereka, masa sabun saja dicatu, sehingga terbiasa tidak mandi."

Lama kelamaan saya kenal salah seorang diantara mereka dan sering berdialog. Saya diajak ke apartemennya dan berbincang-bincang mengenai kondisi RRT saat itu. Saya bertanya apa benar di sana harus punya anak satu. Dia tertawa dan berkata, "Semua bisa diatur." Dia berkata bahwa dia sendiri punya tiga anak. Lalu saya sempat diajak ke pusat kebudayaan Tiongkok di Berlin yang saya baru tahu saat itu.

Di sana kita bisa mendapatkan buku dan brosus mengenai budaya Tiongkok. Saya waktu itu mendapatkan buku mengenai etnis-etnis minoritas di Tiongkok beserta gambar dan pakaian adatnya. Sangat menarik. Sayangnya saya lupa buku itu ditaruh di mana sekarang.

Sebagai tambahan, kawan saya yang sama-sama berasal dari Indoneisa juga pernah kursus Mandarin pada seorang guru dari RRT. Seorang kawan pernah mengeluhkan bahwa meski orang-orang dari RRT tahu dia adalah keturunan Tionghoa dari Indonesia, tetapi para mahasiswa dari RRT juga kadang berlaku kurang etis. Misalnya mereka mendominasi lapangan basket. Saat bermain basket bersama mereka, dia sering tidak dioperi bola.

Demikian sedikit pengalaman saya di Jerman. [Oleh: Ivan Taniputera]

Admin: Terima kasih anda telah berbagi kisah kepada kami dan teman yang lain silahkan kirim ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA