Teman-temanku mengenalku sebagai sosok yang periang. Kami mengamen dengan cara bergantian dan cara kami sopan, hingga hampir tak ada keluhan dari penumpang yang ada masalah dengan kami. Sebagian dari kami bekerja di café-café daerah Jakarta dan sekitarnya, dan ada yang sudah sukses dengan band mereka.
Aku selalu bersyukur, dengan begini aku tidak terlalu membuat keluarga angkatku repot. Setidaknya aku bisa mencukupi kebutuhanku sendiri, dan sedikit membantu adik-adikku. Risah, Kekasihku yang perhatian (bukan nama asli). Dia adalah salah satu pelajar SMA di Jakarta. Kami bertemu di angkot saat dia hendak pulang sekolah.
Hampir setiap hari dia membawakan makanan untukku, hingga teman-temanku iri padaku. Teman-temanku mendukung hubunganku dengan dia. Ibu kekasihku pun tahu kegiatanku. Dia percaya kepadaku. Dan aku pun berjanji untuk menjaga anaknya, yaitu kekasihku sendiri.
Setiap sore di hari sekolah, kusempatkan diri untuk menjemput kekasihku, hanya untuk sekedar mengantarnya pulang, kemudian aku kembali beraktifitas. Genap setahun hubungan ini terjalin, pro dan kontra mewarnai jalan cerita kami, dari pihak kekasihku ataupun dari pihak keluargaku.
Kami berbeda agama, namun ibu kekasihku menyetujui hubunganku, karna selama berpacaran denganya, tak pernah ku buat ibunya kecewa. Pola pacaran kami sehat, sebatas berkunjung kerumah masing-masing, dan berjalan-jalan saat dia libur. Waktuku pun tak banyak, karna aku harus kuliah. Saat itu, aku sudah semester akhir . kami berdua saling mengerti keadaan kami.
Pagi hari tiba. Seperti biasa, aku lanjutkan aktifitasku. Sedikit tegang, karna ada razia. Kami semua mengamen dengan hati-hati. Kami sudah terbiasa dengan hal ini, sampai kami tidak tabu lagi dengan namanya kantor polisi atau panti rehabilitasi. Buat kami, inilah hidup kami.
Tidak terasa, sudah siang. Keringat sudah membasahi tubuh kami, para pengamen jalanan. Aku sudah tak sabar menunggu sore hari, karna aku menunggu kekasihku mengantar makanan, yang biasa dia bawakan untukku. Sore telah tiba. Namun dia tak datang juga. Teman-temanku mengajakku pulang , namun aku menolaknya. Aku tetap bertahan disini menunggu dia.
Siang berganti malam, aku tetap menunggu. Aku bertanya-tanya? Ada apa gerangan, dia takkunjung datang. Akhirnya kuputuskan untuk pulang . sampai dirumah pun, aku masih bertanya-tanya. Aku coba telepon dia , tapi tak ada jawab sama sekali.
Keesokan harinya, aku harus teruskan kuliahku. Banyak tugas yang belum ku kerjakan. Selesai kuliah, aku kembali ke jalanan untuk mengamen. Semua temanku bertanya akan sikapku beberapa akhir ini. Aku memang cendrung berdiam diri. Aku berfikir, apa salahku, hingga dia tak pernah datang lagi. Bahkan aku tak diperbolehkan bertamu kerumahnya.
Malam itu sepih, tepatnya jam 1 malam, tak ada orang sama sekali. Tiba-tiba ada beberapa orang menaiki motor berhenti didepanku. Dia menghampiriku, dengan kata-kata kotor mereka yang tertuju padaku. Mereka memulai aksi brutalnya. Mereka memukuliku tanpa belas kasihan. Aku terjatuh, dan aku coba berdiri lagi. Pukulan benda tumpulpun mengenai pelipis kananku, entah benda apa? Akupun terjatuh untuk kedua kalinya.
Darah segar mengalir deras di wajahku. Saat mereka ingin pergi, salah satu orang itu berdiri menatapku. Dia memperingatkanku agar jangan mendekati sepupunya lagi, yang tidak lain adalah kekasihku. Ternyata dia saudara dari ayah pacarku, yang tidak setuju akan hubungan kami. Aku pun ditinggalnya di pertigaan jalan, dengan luka di pelipis kananku yang mengeluarkan banyak darah.
Aku masih sadar saat mereka tinggal pergi, aku bersyukur tidak kehilangan nyawaku. Handphon milikku berdering, kulihat ada panggilan dari nomer yang tidakku ketahui. Kujawab panggilan itu, itu suara kekasihku. Dengan nada terbatah, dia meminta maaf padaku. Aku dengar tangisan dia. Dia berkata padaku, jikalau dia sunggu-sungguh menyayangi aku. Aku dengar suara tamparan yang cukup keras, dan tak sengaja aku dengar pertengkaran kekasihku dengan seseorang lelaki , yang aku rasa itu ayahnya.
Suaranya di handphonku terhenti, seperti denyut nadiku yang seakan berhenti , saat mendengar suaranya yang terakhir. Tidak terasa, air mata ini mengalir bersama darahku. Inilah akhir dari semuanya. Perbedaan memisahkan kami. Sungguh malam yang tak akan bisa aku lupakan. Luka ditubuh ini sungguh tak sebanding dengan pedih di hati ini. Kini aku jalani hari-hariku tanpa dia. [Riko / Jakarta]