Saya berusia 32 tahun dan istri saya berusia 30 tahun. Kami baru saja menikah selama 1 tahun. Sejak awal kami bertemu, istri terlihat sangat baik dengan saya maupun dengan keluarga saya.
Dia tidak menunjukkan sikap negatif selama berpacaran dengan saya. Sehingga saya sangat sayang kepadanya dan setelah 2 tahun berpacaran, saya berniat untuk menikahinya.
Pesta pernikahan berjalan dengan sangat lancar karena istri saya telah merencanakannya dengan baik dan sangat mendetail. Setelah pesta pernikahan berakhir, kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai.
Rumah yang kami tempati berada dalam komplek perumahan yang tergolong baru.
Rumah-rumah disana pun dihuni oleh keluarga-keluarga muda yang sama seperti kami sehingga membuat kami sangat mudah berteman dengan mereka.
1 sampai 2 bulan kami tinggal di lingkungan tersebut, kehidupan masih aman dan damai. Namun setelahnya, kehidupan rumah tangga saya seperti neraka saja.
Satu sifat istri saya yang semakin hari semakin terlihat sejak pernikahan kami adalah sifat cemburu. Saya tidak habis pikir dengan segala prasangkanya. Ketika saya menyapa ibu-ibu tetangga komplek yang sedang mengerumuni tukang sayur di minggu pagi, saya dianggap mencari-cari perhatian mereka.
Ketika saya disapa ibu tetangga sebelah dan membalas dengan sapaan yang bagi saya adalah sapaan biasa, istri saya mengira saya menggoda ibu itu.
Ketika ada acara ada acara selamatan di rumah tetangga dan saya duduk disamping seorang wanita cantik karena sudah tidak ada lagi kursi yang tersisa selain disampingnya, saya dituduh ingin berkenalan dengan wanita itu.
Semua yang saya lakukan saat ini sepertinya terlihat salah di mata istri. Lebih lagi jika saya berbicara, berjalan beriringan, duduk bersebelahan dan menerima telepon dengan dan dari seorang wanita, istri saya akan marah besar.
Kemarahannya sering membuat saya takut dan sedih. Saya takut sifat itu semakin memperburuk hubungan kami berdua dan hubungan kami dengan orang-orang disekitar kami.
Saya merasa sedih karena saya bingung tidak tahu bagaimana cara menangani sifat istri saya tersebut walaupun penjelasan demi penjelasa sudah saya berikan.
Masalah ini semakin lebar saja ketika istri saya melabrak manager wanita yang bekerja dengan saya. Pekerjaan saya sebagai seorang manager personalia menuntut saya untuk dapat berkomunikasi dengan siapa saja yang dapat menunjang pekerjaan yang saya emban.
Terkadang ketika dirumah, saya terpaksa menerima telepon dari kantor untuk mengurusi pekerjaan kantor yang sifatnya penting dan mendesak.
Hal ini membuat istri saya jengah. Ditambah lagi, orang kantor yang sering menelepon saya adalah seorang rekan kerja wanita yang memiliki posisi yang sama di kantor.
Walaupun istri saya sudah pernah bertemu dengannya, namun kecurigaan yang dia bangun mengenai saya dan teman saya itu membuat saya terganggu.
Suatu saat ketika saya sedang dikamar mandi, istri mengangkat telpon yang masuk ke telepon genggam saya. Ternyata yang menelepon adalah teman wanita saya.
Istri saya langsung marah-marah kepadanya, memintanya untuk tidak menelepon saya lagi dan pergi menjauh dari saya karena saya sudah beristri.
Kata-kata yang diucapkan istri saya sungguh tidak enak didengar oleh telinga. Saya malu sekali. Di kantor, saya kemudian menjadi bahan pergunjingan karena memiliki istri yang sangat pencemburu.
Pada saat itu saya benar-benar ingin pergi jauh darinya karena kecemburuannya sudah keterlaluan bagi saya. Saya sudah tidak bisa lagi memaklumi tindakannya yang sangat merugikan reputasi saya di kantor. [Vivi Tan / Jakarta]
Dia tidak menunjukkan sikap negatif selama berpacaran dengan saya. Sehingga saya sangat sayang kepadanya dan setelah 2 tahun berpacaran, saya berniat untuk menikahinya.
Pesta pernikahan berjalan dengan sangat lancar karena istri saya telah merencanakannya dengan baik dan sangat mendetail. Setelah pesta pernikahan berakhir, kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai.
Rumah yang kami tempati berada dalam komplek perumahan yang tergolong baru.
Rumah-rumah disana pun dihuni oleh keluarga-keluarga muda yang sama seperti kami sehingga membuat kami sangat mudah berteman dengan mereka.
1 sampai 2 bulan kami tinggal di lingkungan tersebut, kehidupan masih aman dan damai. Namun setelahnya, kehidupan rumah tangga saya seperti neraka saja.
Satu sifat istri saya yang semakin hari semakin terlihat sejak pernikahan kami adalah sifat cemburu. Saya tidak habis pikir dengan segala prasangkanya. Ketika saya menyapa ibu-ibu tetangga komplek yang sedang mengerumuni tukang sayur di minggu pagi, saya dianggap mencari-cari perhatian mereka.
Ketika saya disapa ibu tetangga sebelah dan membalas dengan sapaan yang bagi saya adalah sapaan biasa, istri saya mengira saya menggoda ibu itu.
Ketika ada acara ada acara selamatan di rumah tetangga dan saya duduk disamping seorang wanita cantik karena sudah tidak ada lagi kursi yang tersisa selain disampingnya, saya dituduh ingin berkenalan dengan wanita itu.
Semua yang saya lakukan saat ini sepertinya terlihat salah di mata istri. Lebih lagi jika saya berbicara, berjalan beriringan, duduk bersebelahan dan menerima telepon dengan dan dari seorang wanita, istri saya akan marah besar.
Kemarahannya sering membuat saya takut dan sedih. Saya takut sifat itu semakin memperburuk hubungan kami berdua dan hubungan kami dengan orang-orang disekitar kami.
Saya merasa sedih karena saya bingung tidak tahu bagaimana cara menangani sifat istri saya tersebut walaupun penjelasan demi penjelasa sudah saya berikan.
Masalah ini semakin lebar saja ketika istri saya melabrak manager wanita yang bekerja dengan saya. Pekerjaan saya sebagai seorang manager personalia menuntut saya untuk dapat berkomunikasi dengan siapa saja yang dapat menunjang pekerjaan yang saya emban.
Terkadang ketika dirumah, saya terpaksa menerima telepon dari kantor untuk mengurusi pekerjaan kantor yang sifatnya penting dan mendesak.
Hal ini membuat istri saya jengah. Ditambah lagi, orang kantor yang sering menelepon saya adalah seorang rekan kerja wanita yang memiliki posisi yang sama di kantor.
Walaupun istri saya sudah pernah bertemu dengannya, namun kecurigaan yang dia bangun mengenai saya dan teman saya itu membuat saya terganggu.
Suatu saat ketika saya sedang dikamar mandi, istri mengangkat telpon yang masuk ke telepon genggam saya. Ternyata yang menelepon adalah teman wanita saya.
Istri saya langsung marah-marah kepadanya, memintanya untuk tidak menelepon saya lagi dan pergi menjauh dari saya karena saya sudah beristri.
Kata-kata yang diucapkan istri saya sungguh tidak enak didengar oleh telinga. Saya malu sekali. Di kantor, saya kemudian menjadi bahan pergunjingan karena memiliki istri yang sangat pencemburu.
Pada saat itu saya benar-benar ingin pergi jauh darinya karena kecemburuannya sudah keterlaluan bagi saya. Saya sudah tidak bisa lagi memaklumi tindakannya yang sangat merugikan reputasi saya di kantor. [Vivi Tan / Jakarta]