Saat itu pula lewatlah seorang pria muda yang sedang mencari kayu bakar. Saat ia melihat batu mengkilat yang ternyata berlian itu, terperanjatlah dia dan timbullah niat jahatnya.
"Apa itu Nek?" Lelaki itu bertanya, "Bolehkah aku memintanya?"
"Baiklah," jawab nenek itu seraya memberikan batu itu kepada sang lelaki tanpa beban sama sekali.
Setengah tidak percaya, lelaki itu segera menerima dan membawa pulang berlian besar itu. Setiba di rumahnya yang reyot ia mulai merencanakan tindakan apa yang akan ia lakukan terhadap berlian itu agar kaya. Sifat tamaknya mulai muncul, yakni tak mau kehilangan batu itu.
Akhirnya, lelaki itu menggadaikan berlian tadi. Uang hasil gadai berlian itu ternyata cukup besar, dan cukup digunakan sebagai modal usaha. Ternyata jiwa bisnis lelaki itu kuat juga sehingga tak seberapa lama ia pun menjadi pengusaha kaya raya. Berlian yang dulu digadai itu pun akhirnya bisa ditebus kembali.
Namun, entah kenapa, perubahan mulai terjadi pada lelaki itu. Ia menjadi congkak, suka pamer, dan suka hura-hura di kehidupan malam. Lambat laun, teman-temannya mulai menjauh. Tinggal teman-teman yang hanya memanfaatkan dirinya saja yang masih bertahan.
Karena bisnisnya tak terurus dan juga persaingan yang semakin ketat, usaha lelaki itu mulai berguguran satu per satu. Sampai akhirnya ia tidak memiliki apa-apa lagi kecuali batu berlian "rampasan" dari sang nenek beberapa tahun silam. Ia pun mulai menyesal dan ingin mengembalikan berlian itu.
Susah payah ketemu juga rumah sang nenek, sebuah gubuk kecil di perbukitan. Sambil sujud tersungkur di hadapan sang nenek yang mulai renta, laki-laki itu mengembalikan berliannya.
"Kenapa engkau dulu memberikan batu permata ini kepadaku? Seharusnya, engkau memberikan sesuatu yang lebih berharga dari ini ... yaitu kekuatan untuk memberi batu ini," kata lelaki itu sambil menangis.
Sambil tersenyum, nenek itu menjawab, "Aku sedang mengajarkannya padamu." [Jeni Wang / Semarang]