Dua minggu lalu aku baru saja menikah dengan laki-laki pilihanku. Laki-laki yang selama dua tahun terakhir ini selalu membimbingku dalam segala hal. Membuatku seakan menapak kembali di bumi, setelah sebelumnya kehidupanku seperti berada pada dunia maya yang penuh dengan ketidakpastian dan kebimbangan. Penuh dengan harapan-harapan semu yang membingungkan, bahkan mungkin berada pada titik terendah dalam petualangan kehidupanku.
Dulu, saat aku mulai memasuki bangku kuliah, kebiasaan gonta-ganti pacar sering kali aku jalani. Dari sekian banyak teman lelaki yang dekat denganku, ada satu orang yang begitu memperhatikanku, sebut saja namanya Rio (bukan nama sebenarnya). Di mataku Rio bukan saja teman, tapi lebih dari itu, ia sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Dari Rio pula aku mendapatkan banyak nasehat atau wejangan tentang berbagai hal.
Dikala aku susah, sedih dan membutuhkan teman curhat, Riolah orang pertama yang berada di dekatku. Tak jarang aku mengajak Rio untuk menemani saat aku sedang dalam tahap pendekatan dengan cowok baru. Ia juga kerap mengantarkanku pulang ke rumah saat cowokku tak bisa mengantarkanku. Dan karena hal itu pula Rio jadi begitu dekat dengan keluargaku. Di hari libur, Rio juga kerap datang ke rumah untuk sekedar bersilahturahmi dengan keluargaku.
Sejauh itu, aku tak pernah tau apa yang menyebabkan Rio begitu memperhatikanku, begitu setia menemani saat aku sedang dalam kesusahan, dan begitu empati ketika aku meminta pendapatnya tentang lelaki yang mendekatiku atau lelaki yang tengah jadi incaranku. Terus terang, aku memang pernah memiliki perasaan khusus terhadap Rio, aku juga mengagumi Rio sebagai orang yang memilki sifat ksatria dan jujur. Tapi itu memudar, manakala kulihat Rio sepertinya hanya menganggapku sebagai teman biasa. Selain itu ia juga sudah memiliki kekasih.
Demikianlah, hampir lima tahun lamanya kami menjalin persahabatan. Banyak suka, duka dan kenangan yang kelak akan menjadi coretan indah dalam hidupku. Dari sekian banyak kenangan ada satu kenangan yang tak bisa aku lupakan bersama Rio, yaitu saat Rio dengan setia menungguiku yang tengah berselisih dengan pacarku. Padahal saat itu kami berada di tengah hujan lebat yang mengguyur, tapi Rio rela berbasah-basah demi menjagai aku.
Setelah kami lulus, kami sibuk dengan hidup kami masing-masing. Rio tak pernah lagi bersilahturahmi ke rumah. Hanya sesekali saja ia menghubungiku lewat telepon, itupun hanya sekedar berbasa-basi. Terakhir kali kami berkomunikasi saat aku hendak melangsungkan pernikahan, ia sepertinya memang agak terkejut dengan rencanaku itu. Namun begitu ia berjanji akan datang di pesta pernikahanku.
Rio memang menepati janjinya. Ia datang dengan menggunakan pakaian batik berwarna biru cerah, ia terlihat sangat tampan dengan pakaian itu. Ia juga kulihat membawa sebuah kado kecil. Yang membuatku sedikit agak heran, ia datang sendirian tanpa di temani Mimi (nama samaran), kekasihnya sejak masih kuliah dulu. "Hai...Selamat ya," hanya itu yang terucap dari bibirnya sambil memberikan kado, tak kulihat pancaran ceria dalam sorot matanya
Entah mengapa, Rio menolak ketika kami memintanya untuk foto bersama. Ia langsung menghilang di tengah kerumunan tamu. Tapi aku memang tak terlalu memperhatikannya, aku memang sedang larut dalam kebahagaiaan pernikahan ini. Sampai akhirnya pesta selesai, aku tak lagi mendapati Rio, ia sudah pergi entah dengan perasaan yang seperti apa. Yang jelas tadi kulihat kemurungan di matanya, "Ada apa dengan Rio?"
Keesokan harinya aku baru sempat membuka kado pemberian Rio, karena malam tadi aku disibukan dengan malam pertamaku yang sangat menggairahkan. Aku sengaja membuka kado itu saat suamiku tak berada di kamar, karena kupikir ini hal spesial yang diberikan Rio kepadaku dan dugaanku memang tak meleset, tapi sangat jauh dari perkiraanku semula.
Dalam kotak berwarna coklat itu aku mendapati dua buah anak kunci dan dua lembar kertas yang terlipat dengan rapi. Kertas pertama merupakan sebuah sertifikat kepemilikan rumah, kertas kedua adalah sebuah surat singkat yang membuat hatiku bergetar dan sangat tak percaya
Dear Nur......
Aku cuma berusaha mewujudkan apa yang menjadi impianmu sejak kita masih kuliah dulu, tadinya kupikir kita akan bisa menempatinya bersama-sama untuk membangun sebuah keluarga bahagia, tapi kenyataan berkehendak lain. Tetapi aku tak ingin mengingkari janjiku sendiri untuk memberikan rumah mungil ini kepadamu. Terimalah apa yang sudah lama menjadi impian kamu, memiliki rumah sendiri dan membangun keluarga yang bahagia...walaupun kebahagiaan itu bukan bersama aku...
Nikmatilah hari-hari indah bersama suamimu, layani ia dengan baik, berbahagialah seperti saat kita menikmati persahabatan kita, berbahagialah seperti aku yang saat ini tengah berbahagia karena melihat kamu yang tengah berbahagia... [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Love-Story
Dulu, saat aku mulai memasuki bangku kuliah, kebiasaan gonta-ganti pacar sering kali aku jalani. Dari sekian banyak teman lelaki yang dekat denganku, ada satu orang yang begitu memperhatikanku, sebut saja namanya Rio (bukan nama sebenarnya). Di mataku Rio bukan saja teman, tapi lebih dari itu, ia sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Dari Rio pula aku mendapatkan banyak nasehat atau wejangan tentang berbagai hal.
Dikala aku susah, sedih dan membutuhkan teman curhat, Riolah orang pertama yang berada di dekatku. Tak jarang aku mengajak Rio untuk menemani saat aku sedang dalam tahap pendekatan dengan cowok baru. Ia juga kerap mengantarkanku pulang ke rumah saat cowokku tak bisa mengantarkanku. Dan karena hal itu pula Rio jadi begitu dekat dengan keluargaku. Di hari libur, Rio juga kerap datang ke rumah untuk sekedar bersilahturahmi dengan keluargaku.
Sejauh itu, aku tak pernah tau apa yang menyebabkan Rio begitu memperhatikanku, begitu setia menemani saat aku sedang dalam kesusahan, dan begitu empati ketika aku meminta pendapatnya tentang lelaki yang mendekatiku atau lelaki yang tengah jadi incaranku. Terus terang, aku memang pernah memiliki perasaan khusus terhadap Rio, aku juga mengagumi Rio sebagai orang yang memilki sifat ksatria dan jujur. Tapi itu memudar, manakala kulihat Rio sepertinya hanya menganggapku sebagai teman biasa. Selain itu ia juga sudah memiliki kekasih.
Demikianlah, hampir lima tahun lamanya kami menjalin persahabatan. Banyak suka, duka dan kenangan yang kelak akan menjadi coretan indah dalam hidupku. Dari sekian banyak kenangan ada satu kenangan yang tak bisa aku lupakan bersama Rio, yaitu saat Rio dengan setia menungguiku yang tengah berselisih dengan pacarku. Padahal saat itu kami berada di tengah hujan lebat yang mengguyur, tapi Rio rela berbasah-basah demi menjagai aku.
Setelah kami lulus, kami sibuk dengan hidup kami masing-masing. Rio tak pernah lagi bersilahturahmi ke rumah. Hanya sesekali saja ia menghubungiku lewat telepon, itupun hanya sekedar berbasa-basi. Terakhir kali kami berkomunikasi saat aku hendak melangsungkan pernikahan, ia sepertinya memang agak terkejut dengan rencanaku itu. Namun begitu ia berjanji akan datang di pesta pernikahanku.
Rio memang menepati janjinya. Ia datang dengan menggunakan pakaian batik berwarna biru cerah, ia terlihat sangat tampan dengan pakaian itu. Ia juga kulihat membawa sebuah kado kecil. Yang membuatku sedikit agak heran, ia datang sendirian tanpa di temani Mimi (nama samaran), kekasihnya sejak masih kuliah dulu. "Hai...Selamat ya," hanya itu yang terucap dari bibirnya sambil memberikan kado, tak kulihat pancaran ceria dalam sorot matanya
Entah mengapa, Rio menolak ketika kami memintanya untuk foto bersama. Ia langsung menghilang di tengah kerumunan tamu. Tapi aku memang tak terlalu memperhatikannya, aku memang sedang larut dalam kebahagaiaan pernikahan ini. Sampai akhirnya pesta selesai, aku tak lagi mendapati Rio, ia sudah pergi entah dengan perasaan yang seperti apa. Yang jelas tadi kulihat kemurungan di matanya, "Ada apa dengan Rio?"
Keesokan harinya aku baru sempat membuka kado pemberian Rio, karena malam tadi aku disibukan dengan malam pertamaku yang sangat menggairahkan. Aku sengaja membuka kado itu saat suamiku tak berada di kamar, karena kupikir ini hal spesial yang diberikan Rio kepadaku dan dugaanku memang tak meleset, tapi sangat jauh dari perkiraanku semula.
Dalam kotak berwarna coklat itu aku mendapati dua buah anak kunci dan dua lembar kertas yang terlipat dengan rapi. Kertas pertama merupakan sebuah sertifikat kepemilikan rumah, kertas kedua adalah sebuah surat singkat yang membuat hatiku bergetar dan sangat tak percaya
Dear Nur......
Aku cuma berusaha mewujudkan apa yang menjadi impianmu sejak kita masih kuliah dulu, tadinya kupikir kita akan bisa menempatinya bersama-sama untuk membangun sebuah keluarga bahagia, tapi kenyataan berkehendak lain. Tetapi aku tak ingin mengingkari janjiku sendiri untuk memberikan rumah mungil ini kepadamu. Terimalah apa yang sudah lama menjadi impian kamu, memiliki rumah sendiri dan membangun keluarga yang bahagia...walaupun kebahagiaan itu bukan bersama aku...
Nikmatilah hari-hari indah bersama suamimu, layani ia dengan baik, berbahagialah seperti saat kita menikmati persahabatan kita, berbahagialah seperti aku yang saat ini tengah berbahagia karena melihat kamu yang tengah berbahagia... [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Love-Story
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.