Kisah yang akan aku ceritakan ini benar-benar membuat aku bingung. Sebut saja namaku Irfan (bukan nama sebenarnya). Aku telah berteman dengan Ririn (bukan nama sebenarnya) sejak usia kami masih sepuluh tahun. Saat itu kami memang satu sekolah dan rumah kami saling berdekatan. Hingga hampir setiap hari kami selalu bermain bersama. Sampai-sampai banyak orang mengira kami dua orang kakak beradik.
Sampai usia kami menginjak remaja, persahabatan kami masih terus terjalin. Bahkan bisa dibilang lebih akrab dari waktu-waktu lalu. Setelah kami lulus dari bangku SMU, kami terpaksa berpisah, karena harus pindah ke daerah lain. Hal itu terpaksa terjadi, karena ayahku dipindahtugaskan oleh perusahaannya.
Saat itu aku merasakan kesedihan yang teramat dalam, begitu juga yang dirasakan Ririn. Selain itu aku merasakan sesuatu yang tak kumengerti ketika aku berpamitan dengan Ririn. Karena keadaan rumah yang sedang sepi aku memberanikan diri untuk mencium pipi Ririn sebagai salam perpisahan, tapi secara tak terduga Ririn memelukku dengan erat, dan mengucapkan kata-kata yang akan kuingat sepanjang hidupku. "Ir, mungkinkah aku mencintaimu, karena tiba-tiba saja aku takut kehilangan dirimu," ujarnya waktu itu.
Sampai saat aku meninggalkannya untuk waktu yang sangat lama, ucapan Ririn terus saja terngiang dalam telingaku. Lima tahun lamanya kami tak bertemu, namun begitu komunikasi antara kami berdua tak pernah putus. Selain lewat telepon, kami juga selalu berkomunikasi lewat surat. Untuk bertemu langsung, saat itu memang tak memungkinkan. Selain jarak yang sangat jauh, karena harus menyebarangi lautan, kami berdua juga disibukkan oleh perkerjaan kami masing-masing.
Karena tak pernah bertemu, perasaan cinta dan sayang kami berdua berangsur-angsur sirna. Hingga kami berdua memutuskan untuk merelakan jika kami menemukan pengganti masing-masing. Aku memang terlebih dulu memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihanku. Setahun kemudian Ririn juga menemukan penggantiku dan menikah. Namun begitu komunikasi kami terus berlanjut. Cuma kali ini bukan lagi bercerita tentang cinta kami tetapi bercerita tentang kehidupan rumah tangga kami masing-masing.
Singkat cerita, dua bulan setelah ia menikah, Ririn mengabarkan bahwa dirinya tengah hamil. Dan secara kebetulan istriku juga sedang mengandung anak pertama kami, maka dengan suka cita kami saling bertukar cerita, berandai-andai, merencanakan masa depan mereka, bahkan kami berniat menjodohkan anak kami masing-masing bila mereka berlainan jenis. Pokoknya saat itu kami berdua dipenuhi eforia dengan calon jabang bayi kami.
Namun belakangan, kabar buruk datang dari Ririn, saat melahirkan bayinya tak terselamatkan. Betapa pedih hatiku ketika mendengar cerita Ririn, bagaimana ia dengan susah payah merawat kehamilannya, memberinya gizi terbaik dengan mengabaikan kepentingannya yang lain demi si jabang bayi. Hati ini semakin pedih manakala aku mengingat cerita-cerita membahagiakan ketika awal-awal ia mengandung.
Tiga bulan sesudah peristiwa itu aku berupaya menemuinya untuk sekedar membantunya membesarkan hati dan bersabar. Ketika bertemu di rumahnya, Ririn langsung memelukku dan menangis, seolah ingin menumpahkan semua air matanya di dadaku. Sementara aku cuma bisa mengusap kepalanya dan memintanya untuk bersabar. Aku dan Ririn memang sudah seperti kakak beradik, sehingga pelukan itu tak membuat suami Ririn merasa cemburu, karena ia sudah banyak mendengar cerita tentangku dari Ririn.
Tak terasa dua hari lamanya aku menginap di rumah Ririn, selama dua hari itu aku mendengar banyak cerita tentang peristiwa yang menimpa Ririn, cerita tentang kesedihannya yang teramat dalam. Sampai suatu ketika aku dikejutkan dengan permintaannya yang tak masuk akal. Ia memintaku menyetubuhinya, memintaku membuahi indung telurnya yang akan menjadi janin di rahimnya kelak. "Mungkin rahim ini memang hanya untuk janinmu Ir, karena aku pernah berjanji," kata Ririn sambil menundukan wajahnya dan kulihat air matanya kembali menetes.
Mendengar permintaannya, aku menjadi sangat bingung. Di satu sisi aku memang pernah berjanji untuk selalu mengabulkan keinginannya asal ia berbahagia, tetapi di sisi lain aku tak ingin terjerumus dalam perselingkuhan yang aku tahu pasti pada suatu saat nanti akan menghancurkan kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga kami masing-masing
Dalam kebingungan itu aku memang berusaha menghindar, tapi Ririn terus memaksaku dengan berbagai alasan yang membuatku akhirnya menyerah. Pagi itu ketika aku hendak pulang, dengan sangat terpaksa aku mengabulkan permintaannya. Dan satu bulan kemudian ia mengabarkan, bahwa ia kembali mengandung. Dan janin dalam rahimnya itu adalah janin dari darah dagingku. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Mustory
Sampai usia kami menginjak remaja, persahabatan kami masih terus terjalin. Bahkan bisa dibilang lebih akrab dari waktu-waktu lalu. Setelah kami lulus dari bangku SMU, kami terpaksa berpisah, karena harus pindah ke daerah lain. Hal itu terpaksa terjadi, karena ayahku dipindahtugaskan oleh perusahaannya.
Saat itu aku merasakan kesedihan yang teramat dalam, begitu juga yang dirasakan Ririn. Selain itu aku merasakan sesuatu yang tak kumengerti ketika aku berpamitan dengan Ririn. Karena keadaan rumah yang sedang sepi aku memberanikan diri untuk mencium pipi Ririn sebagai salam perpisahan, tapi secara tak terduga Ririn memelukku dengan erat, dan mengucapkan kata-kata yang akan kuingat sepanjang hidupku. "Ir, mungkinkah aku mencintaimu, karena tiba-tiba saja aku takut kehilangan dirimu," ujarnya waktu itu.
Sampai saat aku meninggalkannya untuk waktu yang sangat lama, ucapan Ririn terus saja terngiang dalam telingaku. Lima tahun lamanya kami tak bertemu, namun begitu komunikasi antara kami berdua tak pernah putus. Selain lewat telepon, kami juga selalu berkomunikasi lewat surat. Untuk bertemu langsung, saat itu memang tak memungkinkan. Selain jarak yang sangat jauh, karena harus menyebarangi lautan, kami berdua juga disibukkan oleh perkerjaan kami masing-masing.
Karena tak pernah bertemu, perasaan cinta dan sayang kami berdua berangsur-angsur sirna. Hingga kami berdua memutuskan untuk merelakan jika kami menemukan pengganti masing-masing. Aku memang terlebih dulu memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihanku. Setahun kemudian Ririn juga menemukan penggantiku dan menikah. Namun begitu komunikasi kami terus berlanjut. Cuma kali ini bukan lagi bercerita tentang cinta kami tetapi bercerita tentang kehidupan rumah tangga kami masing-masing.
Singkat cerita, dua bulan setelah ia menikah, Ririn mengabarkan bahwa dirinya tengah hamil. Dan secara kebetulan istriku juga sedang mengandung anak pertama kami, maka dengan suka cita kami saling bertukar cerita, berandai-andai, merencanakan masa depan mereka, bahkan kami berniat menjodohkan anak kami masing-masing bila mereka berlainan jenis. Pokoknya saat itu kami berdua dipenuhi eforia dengan calon jabang bayi kami.
Namun belakangan, kabar buruk datang dari Ririn, saat melahirkan bayinya tak terselamatkan. Betapa pedih hatiku ketika mendengar cerita Ririn, bagaimana ia dengan susah payah merawat kehamilannya, memberinya gizi terbaik dengan mengabaikan kepentingannya yang lain demi si jabang bayi. Hati ini semakin pedih manakala aku mengingat cerita-cerita membahagiakan ketika awal-awal ia mengandung.
Tiga bulan sesudah peristiwa itu aku berupaya menemuinya untuk sekedar membantunya membesarkan hati dan bersabar. Ketika bertemu di rumahnya, Ririn langsung memelukku dan menangis, seolah ingin menumpahkan semua air matanya di dadaku. Sementara aku cuma bisa mengusap kepalanya dan memintanya untuk bersabar. Aku dan Ririn memang sudah seperti kakak beradik, sehingga pelukan itu tak membuat suami Ririn merasa cemburu, karena ia sudah banyak mendengar cerita tentangku dari Ririn.
Tak terasa dua hari lamanya aku menginap di rumah Ririn, selama dua hari itu aku mendengar banyak cerita tentang peristiwa yang menimpa Ririn, cerita tentang kesedihannya yang teramat dalam. Sampai suatu ketika aku dikejutkan dengan permintaannya yang tak masuk akal. Ia memintaku menyetubuhinya, memintaku membuahi indung telurnya yang akan menjadi janin di rahimnya kelak. "Mungkin rahim ini memang hanya untuk janinmu Ir, karena aku pernah berjanji," kata Ririn sambil menundukan wajahnya dan kulihat air matanya kembali menetes.
Mendengar permintaannya, aku menjadi sangat bingung. Di satu sisi aku memang pernah berjanji untuk selalu mengabulkan keinginannya asal ia berbahagia, tetapi di sisi lain aku tak ingin terjerumus dalam perselingkuhan yang aku tahu pasti pada suatu saat nanti akan menghancurkan kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga kami masing-masing
Dalam kebingungan itu aku memang berusaha menghindar, tapi Ririn terus memaksaku dengan berbagai alasan yang membuatku akhirnya menyerah. Pagi itu ketika aku hendak pulang, dengan sangat terpaksa aku mengabulkan permintaannya. Dan satu bulan kemudian ia mengabarkan, bahwa ia kembali mengandung. Dan janin dalam rahimnya itu adalah janin dari darah dagingku. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Mustory
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.