Untuk kembali ke rumah orang tuaku rasanya tak mungkin, karena rumah orang tuaku berada di daerah terpencil. Sulit buatku mencari kegiatan dan pekerjaan yang hasilnya bisa membantu taraf hidup kedua orang tuaku.
Aku akhirnya tinggal di rumah Kak Dian setelah pembantunya memutuskan berhenti bekerja. Sejak itu, Kak Dian kelihatan kewalahan mengurusi rumahnya, manalagi harus mengurusi suami dan kedua orang anaknya yang masih kecil. Karena itu, aku menawarkan diri untuk tinggal bersamanya.
Tawaranku disambut baik Kak Dian, dia malah sangat bersyukur aku mau tinggal bersamanya, mengurus anak-anak, membereskan rumah dan mengerjakan hal-hal lain yang bisa membuat beban kak Dian di rumah menjadi lebih ringan.
Di rumah Kak Dian aku juga bisa menghibur diri. Semua fasilitas lengkap. Kala Kak Dian dan suaminya berangkat kerja, aku pun bisa memanfaatkan semua yang ada di rumah. Mulai dari makanan yang serba tersedia, nonton film sampai main playstation.
Aku hanya mengurus dua anak Kak Dian, itu pun tidak perlu terlalu repot, karena mereka sudah cukup besar. Praktis pekerjaan yang berat, hanya menyiapkan makan minum untuk Kak Dian dan suaminya. Setelah itu aku bisa bebas kembali. Itu sebabnya aku betah tinggal di rumah.
Setiap habis gajian, suami Kak Dian, Ferry, selalu memberiku uang jajan. Ya, lumayan banyak untuk membeli kosmetik dan pakaian. Malah, mereka ingin agar aku tinggal di rumah itu saja selamanya. Meskipun katanya jika aku sudah menikah nanti, aku masih bisa tinggal di rumah itu. Rumah Kak Dian memang cukup luas untuk menampung dua keluarga. Jumlah kamar saja ada lima, ditambah ruang tamu dan ruang keluarga yang sangat lapang.
Bulan ketujuh aku tinggal di rumah itu, suami Kak Dian sakit. Ferry harus istirahat selama dua bulan. Karena Kak Dian sibuk kerja, aku yang harus menggantikannya mengurusi Mas Ferry. Mulai dari kebutuhan makan, minum sampai hal-hal kecilpun semua aku lakukan. Maklumlah Kak Dian wanita karier yang sangat sibuk. Ia baru bisa pulang pada malam hari.
Dari sinilah bencana itu berawal. Setelah kesehatannya pulih secara diam-diam, Mas Ferry sering memperhatikanku. Sebenarnya aku menyadari hal itu, tapi aku berusaha untuk menyembunyikannya. Lama-lama Mas Ferry tambah berani, ia mulai memegang tanganku dan mencoba merayuku. Aku hanya diam dan berusaha menghindar, karena itu kuanggap hanya sebatas gurauan.
Namun lama-kelamaan, godaan dan rayuan Mas Ferry semakin membuat perasaanku semakin melambung. Apalagi Mas Ferry sudah mulai berani mengelus-ngelus bagian-bagian tertentu dari tubuhku dan aku mulai merasa nyaman dengan perlakuan itu. Walaupun begitu aku masih tetap menjaga jarak agar perbuatan yang lebih berani tidak dilakukan oleh Mas Ferry, karena walau bagaimanapun ia adalah suami kakak kandungku.
Suatu siang ketika aku tidur lelap di dalam kamar, tiba-tiba ada beban berat yang menindih tubuhku. Aku sempat terperanjat kaget dan berusaha berontak, namun kekuatan itu kian dahsyat menindihku. Dan aku merasakan tangan kekar Mas Ferry, meraba dan mengelusku kian kemari. Rasa kaget dan takut yang semula aku rasakan, berubah menjadi gairah yang melenakan. Dan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhku terlepas. Lenguhan panjang terlontar dari mulutku seiring puncak kenikmatan aku raih saat tubuh Mas Ferry menekanku dengan kuat.
Sejak itulah petualangan kami bermula. Tak ada lagi rasa sungkan dalam diriku, aku jadi lupa kalau Ferry adalah kakak iparku. Kami melakoni petualangan gelap itu tanpa batas. Aku dan Ferry betul-betul merengkuh kenikmatan, tanpa pernah tercium oleh Kak Dian. Sampai detik ini pun kami masih menjalaninya. Kapan mengakhirinyapun, aku tak pernah tahu. [Erni Tjong / Singkawang] Sumber: Koran
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com