Sebenarnya orangtua kami tidak setuju dengan keputusan kakakku tersebut, karena orangtua kami tidak mau terjadi sesuatu dalam rumah tangga mereka seperti yang dialami kakak kami yang pertama. Tapi Feri selalu meyakinkan orangtua kami dengan janji-janji yang diberikan calon mertuanya, bahwa mereka yang akan menanggung semua biaya pernikahan, bahkan setelah mereka menikah nanti mereka akan dibelikan sebuah rumah dan tempat usaha.
Orangtua kami sebenarnya tetap tidak menyetujui keinginan Feri menikah terburu-buru tersebut, bahkan mereka memberikan nasihat agar selalu waspada, sebab janji-janji yang seperti itu biasanya hanya di bibir saja. Orangtua kami mengatakan hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat kami bukan dari kalangan orang berada. Sekadar mengingatkan agar tidak ada penyesalan setelah menikah nanti anak mereka tidak bisa memberikan yang lebih untuk kehidupan rumah tangganya.
Tapi akhirnya orangtua kami merestui pernikahan mereka, karena takut kalau nanti kakakku akan berbuat hal-hal yang nekat. Dulu pernah kakakku berlaku nekat saat keinginannya belum bisa dikabulkan orangtua kami dan hal itu membuat aku dan orangtua kami merasa takut.
Setelah menikah, di tahun pertama mertua kakakku masih menanggung perekonomian mereka. Mungkin gaji kakakku yang dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kakak iparku yang lumayan agak boros. Tetapi menginjak tahun kedua pernikahan mereka, apalagi setelah bapak dari kakak iparku (bapak mertua kakakku) meninggal dunia, semuanya jadi terbalik. Ibu mertua kakakku yang tadinya selalu memenuhi kebutuhan mereka berubah 180 derajat, bahkan mereka pernah diusir dari rumah ketika mereka masih tinggal di sana.
Sifat kakak iparku memang sangat buruk, tapi kakakku selalu saja sabar menghadapi sifat buruknya itu. Keluargaku tentu saja tidak tinggal diam akan kejadian itu terutama bapak. Meskipun keluarga kami bukan keluarga yang berada, tetapi orangtua kami tetap membantu mereka saat mereka membutuhkan sesuatu. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mengontrak rumah dekat dengan rumah kami.
Kehidupan mereka akhir-akhir ini selalu saja diwarnai pertengkaran dan itu terjadi terutama pada saat akhir bulan. Orangtua kami sudah bosan mendengar pertengkaran mereka dan juga lelah memberikan nasehat pada mereka. Puncak pertengkaran mereka terjadi beberapa hari lalu dan orangtuaku merasa sakit hati akan ucapan yang dikeluarkan kakak iparku (sebut saja namanya Ina). Ina mencaci-maki orangtua kami tanpa perasaan, bahkan ibuku yang sedang sakit dan mencoba menggendong anaknya ikut dicaci-maki tanpa perasaan. Padahal selama ini kehidupan mereka dibantu orangtuaku semenjak mertua kakakku mengusir mereka. Meskipun bapakku sudah tidak bekerja lagi dan keuangan keluarga hanya dari aku dan suamiku, tapi tetap orangtuaku membantu mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka sebenarnya selalu saja diwarnai pertengkaran, tentunya alasan utamanya adalah masalah ekonomi. Setiap akhir bulan pada saat keuangan sudah mulai menipis, ada saja yang bisa membuat mereka bertengkar. Dan masalah yang kecilpun bisa jadi besar.
Sebenarnya aku kasihan dengan keadaan kakakku, begitu juga dengan orangtua kami. Mereka selalu membantu meskipun sedikit, tapi kakak iparku masih saja suka bersikap kasar terhadap orangtuaku dan tidak bisa menerima kehadiran mereka pada saat orangtuaku datang ke rumah mereka sekadar untuk menengok cucunya.
Buntut dari pertengkaran mereka adalah bapakku menyarankan mereka untuk bercerai kalau rumah tangga mereka hanya diisi dengan pertengkaran semata. Bapak sedih melihat kehidupan anaknya yang selalu saja terlihat salah di hadapan istrinya, padahal kakakku sampai berdagang disela-sela pekerjaan utamanya sebagai usaha sampingan untuk menambah keuangan mereka.
Saat ini aku dan orangtuaku hanya bisa berdoa, semoga mereka berdua diberikan kesadaran atas apa yang mereka lakukan terhadap orangtuaku dan anak mereka. Akibat ulah mereka secara tidak langsung sudah membuat jiwa anak mereka hancur dan trauma. Jujur saja, sebenarnya kami terutama aku amat sedih kalau mengingat anak mereka. Anak yang pintar dan lucu itu harus hancur jiwanya hanya karena emosi orang tuanya yang tak terkendali.
Aku pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan anak, karenanya aku sangat sayang pada keponakanku itu. Apakah mereka harus mengalami hal yang sama sepertiku? Harus kehilangan orang yang dicintai dan sayangi baru mereka sadar kalau emosi hanya akan menghancurkan segalanya? Tuhan bukakanlah pintu hati mereka agar segera sadar akan kekhilafan mereka dan meminta maaf akan kesalahan mereka terhadap orangtuaku. [Elisabeth Wang / Banda Aceh] Sumber: Forum-keluarga